sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pansus Papua DPD: Dari dialog yang buntu hingga tudingan jubah elite

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentuk Pansus Papua guna menyelesaikan aneka persoalan di Papua. Kelompok di Papua menolak berdialog.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Jumat, 29 Nov 2019 13:51 WIB
Pansus Papua DPD: Dari dialog yang buntu hingga tudingan jubah elite

Persoalan di Papua masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang jauh dari usai. Setelah kasus rasisme dan pembakaran Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, Agustus lalu, konflik demi konflik rutin menyambangi Bumi Cendrawasih.

Korban berjatuhan. Kemarahan masyarakat Papua kepada pemerintah tersulut. Desakan referendum, tuntutan keadilan, penyelesaian sejarah dan kasus HAM, dan penuntasan kasus rasisme dibalas lewat pendekatan militeristik. Upaya lainnya kini digodok di bawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Tapi bagaimana wujudnya masih belum jelas.   

Berangkat dari hal itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentuk Panitia Khusus (Pansus) Papua. Pansus Papua DPD diharapkan bisa memberikan rekomendasi komprehensif untuk mewujudkan Papua damai dan sejahtera.

Dibentuk awal November 2019, pansus yang beranggotakan 15 orang itu langsung bekerja. Salah satu hasilnya adalah rekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan beberapa hal dalam rangka pembuktian kerja mereka.

Pansus Papua DPD mendorong agar pemerintah menggelar dialog dengan semua elemen kelompok masyarakat Papua. Termasuk kelompok yang dianggap berlawanan dengan pemerintah, seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Pansus Papua DPD juga mendorong agar aparat kepolisian segera membebaskan mahasiswa Papua yang menjadi tahanan politik (tapol). Mereka berharap mahasiswa dapat dibebaskan agar situasi kembali cair.

Menko Polhukam Mahfud MD menghargai rekomendasi Pansus Papua DPD. Namun, Mahfud meminta agar Pansus Papua DPD mengkaji kembali rekomendasi yang mereka berikan: apakah dapat berjalan sesuai rencana tanpa melahirkan situasi yang tidak diinginkan bagi keamanan negara.

"Mereka juga masih perlu presentasi lebih banyak. Ada beberapa konsep yang perlu ditemukan untuk jangka panjang. Konsep yang dijalankan nanti harus dilakukan, selain untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) juga dapat melindungi hak negara," kata Mahfud usai melakukan pertemuan dengan Pansus Papua DPD di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (25/11).

 

Penolakan

Pansus Papua DPD telah bertandang ke Jayapura guna melaksanakan rapat dengar pendapat (RDP) untuk menjaring aspirasi dari segala elemen kelompok di Papua. RDP telah dilakukan pada 27 November dan menghasilkan sepuluh kesimpulan.

Kesimpulan secara garis besar mencakup masalah eksistensi orang asli Papua (OAP) di ranah politik dan segala pembuatan kebijakan di tanah Papua, evaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) yang mementingkan kesejahteran OAP, peninjauan kembali agenda dan program BIN (Badan Intelijen Negara) di Papua, dan mengkaji kembali penataan daerah yang menimbulkan perpecahan.

Kemudian, mempercepat penyelesaian kasus HAM di Papua, mendukung pelurusan sejarah Papua, penyelesaian isu rasialisme, pembebasan aktivis dan mahasiswa Papua, menakar dampak negatif investasi bagi masyarakat Papua ke depan, penguatan partai politik lokal, dan melakukan dialog intensif.

Poin-poin inilah yang menjadi catatan dari RDP perdana Pansus Papua DPD dan beberapa elemen kelompok masyarakat. Sayangnya, kesimpulan ini tidak menyertakan kelompok yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. 

Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menolak diajak berdiskusi. RDP akhirnya hanya dilakukan antara Pansus Papua DPD dan Dewan Adat Papua, pegiat HAM, tokoh politik, dan tokoh agama.

Saat dihubungi reporter Alinea.id, Ketua I KNPB Warpo Sampari Warik Wetipo menegaskan, KNPB dan ULMWP sepakat tidak menghadiri undangan Pansus Papua DPD. Bagi mereka, menghadiri RDP merupakan langkah yang sia-sia.

Warpo menilai kehadiran mereka pada RDP tidak ada gunanya. RDP yang digelar Pansus Papua DPD hanya bentuk kepedulian formalitas seperti yang sering dilakukan sebelumnya.

“Itu sama saja dengan pertemuan 23 kepala suku yang mengatasnamakan masyarakat Papua dan makan-makan dengan Jokowi di Papua. Sama saja, itu kelompoknya sama, mereka sudah dimodifikasi lalu mereka itu hanya ganti jubah,” kata Warpo, Jumat (29/11).

Karena itu, bagi Warpo, RDP Pansus Papua DPD dengan beberapa elemen kelompok masyarakat Papua tidak mewakili suara masyarakat Papua. Mayoritas masyarakat Papua masih menolak berdialog dengan pemerintah sebelum Papua aman dan nyaman.

“Demokrasi orang Papua bukan seperti itu. Itu hanya musyawarah, hanya mufakat, hanya elite-elite saja kumpul, mereka hanya melakukan formalitas saja,” terang dia.

Dia menyebutkan, jika Pansus Papua DPD serius ingin menyelesaiakan persoalah di Papua sebaiknya tidak memaksa masyarakat berdialog dengan pemerintah. Tapi terlebih dahulu menghilangkan segala macam ancaman dan intimidasi yang dirasakan masyarakat.

Selain itu, dia juga menyebutkan beberapa kondisi yang menyebabkan belum bisa dilakukannya dialog. Jika dialog ini hendak dilakukan, kondisi yang disampaikannya harus mendapatkan perhatian dari pemerintah.   

 

Tarik militer dan bebaskan aktivis

Warpo mengklaim, hingga sekarang masyarakat Papua masih dihantui ketakutan. Setiap hari mereka masih melihat segerombolan militer memegang senjata. Karena itu, jelas Wapro, ada baiknya Pansus Papua DPD meminta pemerintah agar menarik seluruh militer, baik yang organik maupun nonorganik.

“Sampai detik ini pengedropan militer masih banyak. Misalkan di Wamena masih ada helikopter di udara. Di Timika ada pengedropan TNI, terus di Jayapura ada pengetatan pengamanan kedatangan Kapolri dan Panglima TNI. Militer bertambah dengan alasan pengamanan dan pengamanan terus,” katanya.

Pihaknya juga baru akan mempertimbangkan berdialog jika Pansus Papua DPD berhasil membebaskan aktivis dan mahasiswa Papua yang masih ditangkap aparat kepolisian dengan sangkaan sebagai separatis. Bagi Warpo, mereka yang ditangkap mempunyai peran penting di mata masyarakat Papua dan patut diikutsertakan jika memang ingin mengadakan dialog.

Para tapol ini mengetahui betul apa yang tengah terjadi di Bumi Cendrawasih. Beda halnya dengan pihak-pihak yang tidak merasakan langsung kegetiran di akar rumput. 

“Mau dialog dengan orang yang tidak paham persoalan, bakalan sama saja jadinya. Ini bisa jadi hanya penggiringan. Nanti mereka yang berdialog mengatasnamakan perwakilan masyarakat Papua dan sudah merasa sah,” papar dia.

Warpo menjelaskan, praktik penyisiran aktivis oleh aparat kepolisian terus terjadi. Ini melahirkan ketakutan bagi aktivis saat menyuarakan aspirasi mereka. Apalagi para aktivis acapkali dilumpuhkan dengan cara ditembak dan ditangkap dengan status Daftar Pencarian Orang (DPO). “Kalau memang DPO, buka saja ke publik siapa namanya. Jadi kita bisa tahu. Jangan menyisir diam-diam,” sambung Warpo.

Lebih jauh, urainya, pelaksanaan dialog harus bersifat terbuka. Mimbar harus disiapkan oleh masyarakat sendiri, dan tempat ditentukan oleh mereka.

Sementara itu, Direktur Eksekutif UNLMWP Markus Haluk menegaskan tidak ingin menjalin dialog dengan pemerintah, jika tidak ada pihak ketiga yang netral. Dialog, kata dia, harus melalui mediasi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB atau negara pihak ketiga yang disepakati.

“Komisaris Tinggi PBB untuk HAM diizinkan terlebih dahulu mengunjungi Papua Barat sesuai dengan seruan yang dibuat 18 negara Pasifik di Forum Kepulauan Pasifik ke-50 pada Agustus 2019,” kata Markus berdasarkan surat terbukanya kepada Pansus Papua DPD.

Mereka juga meminta semua tapol Papua Barat dibebaskan. Tak terkecuali Buchtar Tabuni, Bazoka Logo, Steven Itlay, Surya Anta, Agus Kossay, serta mahasiswa dan siswa yang telah ditangkap selama konflik melawan rasialisme. Selain itu, Markus juga meminta agar pemerintah mencabut semua pembatasan akses media internasional LSM, pekerja kemanusiaan, akademisi, anggota parlemen, pimpinan agama untuk mengunjungi Papua Barat.

Tunggu impelementasi rekomendasi pansus

Bagi Sekretaris Umum II Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Albert Mungguar, Papua bak bara api yang tak kunjung padam. Artinya, jika ingin menyelesaikan persoalan yang terjadi, harus dipindai terlebih dahulu ‘titik api’ atau akar masalah yang ada.

AMP mengapresiasi niat baik Pansus Papua DPD. Namun demikian, pihaknya tidak setuju jika dialog langsung digelar tanpa menyelesaikan masalah yang ada terlebih dahulu.

“Dialog ini mau bicara apa? Selesaikan dulu masalah sosial, ekonomi, dan sejarah di Papua. Militer dipulangkan dulu baru bicara dialog. Itu baru cara demokratis,” terang Albert saat dihubungi.

Albert meminta Pansus Papua DPD membuktikan implementasinya terlebih dahulu segala rekomendasi yang mereka dorong. Salah satunya membebaskan mahasiswa Papua yang ditangkap aparat kepolisian di berbagai wilayah.

Sebagai contoh, kata dia, di Jayapura ada 29 mahasiwa yang menjadi tapol. Mereka ditangkap ketika menjalankan aksi pada 23 September 2019. “Terus pada 29 September hampir 25 orang di Jayapura. Di luar Papua ada tujuh orang di Kalimantan Timur (Kaltim) dan enam orang di Jakarta,” ungkap dia.

Pansus Papua DPD juga harus mendorong pemerintah agar tidak lagi melakukan kriminalisasi terhadap para pejuang rakyat Papua. Padahal, kata dia, mereka semua hanya menyuarakan pendapat di depan umum dan dilindungi oleh Undang-Undang (UU).

Jika langkah ini tidak diambil, Albert pesimistis dialog akan menghasilkan keputusan yang tidak netral. Bagaikan ‘lagu lama’ dari pemerintah Indonesia dalam upaya menyelesaikan masalah di Papua.

“Itu lagu lama. Tadi saya sudah bilang, persoalan tidak diselesaikan, aktor sudah dipegang. Nanti ujung-ujungnya dialog dari elite-elite saja. Elite-elite gereja atau elite-elite adat. Begitu terus,” tegas Albert.

Harapan duduk bersama

Kendati KNPB dan UNLMWP menolak ajakan dialog, Pansus Papua DPD mengapresiasi dua kelompok tersebut. Hal itu lantaran KNPB dan UNLMWP menolak tidak dengan tangan hampa.

Menurut Ketua Pansus Papua DPD Filep Wamafma, di balik penolakan dua kelompok tersebut, mereka telah memberikan catatan lewat surat terbuka kepada Pansus Papua DPD. Setidaknya ada enam poin syarat jika Pansus Papua DPD ingin mengajak KNPB dan UNLMWP ikut duduk bersama

"Saya pikir itu merupakan bagian daripada aspirasi yang hendak kita jadikan sumber atau refrensi dalam mengelola kerja Pansus Papua DPD,” kata Filep saat dihubungi.

Filep masih berharap dua kelompok ini mau duduk bersama membicarakan segala persoalan dari sudut pandang mereka. Pansus Papua DPD sangat serius mendengarkan segala aspirasi dari semua elemen kelompok masyarakat Papua.

Guna mewujudkan target selama enam bulan masa kerja Pansus Papua DPD, ia meminta semua masyarakat Papua dapat mendukung dan ikut berkontribusi. Jika masyarakat dan pemerintah masih mengedepankan ego, ia khawatir yang mereka usahakan menjadi sia-sia.

”Sesungguhnya kami tidak memiliki kepentingan. Kami hanya ingin lebih dekat. Kami hanya ingin menjadi jembatan. Selama ini kami hanya membaca lewat media atau berita, tetapi Pansus Papua DPD sekarang memiliki iktikad mendengarkan aspirasi langsung masyarakat Papua sebenarnya,” terang Filep.

Pemerintah pusat juga wajib mendengarkan aspirasi yang disampaikan KNPB dan UNLMWP. Jangan skeptis dengan dua kelompok yang dianggap berseberangan dengan NKRI, apalagi mereka juga bagian daripada masyarakat Papua.

Bagi Filep, apa yang telah disampaikan oleh KNPB dan UNLMWP merupakan langkah awal dalam menyelesaikan persoalan di Papua. Apa yang disampaikan dua kelompok tersebut bisa menjadi pemantik dalam melahirkan politik jalan tengah, antara pemikiran pemerintah pusat dan Papua itu sendiri.

”Artinya kalau Pansus Papua DPD tidak bisa bertemu dengan dua kelompok ini, berarti yang diberikan kepada kami itu merupakan referensi yang resmi. Walaupun datang dari luar. Kami tetap membawa ini ke rapat paripurna,” tegas dia.

Pansus Papua DPD berjanji akan optimal dalam memainkan perannya sebagai senator. Segala pendekatan, baik itu RDP maupun legal standing secara politik akan mereka dorong agar pemerintah bisa memenuhi kemauan masyarakat Papua yang positif.

Pendekatan kemanusiaan

Ihwal pembebasan tapol aktivis dan mahasiswa, Filep mengaku akan mempertimbangkan masukan itu secara serius. Pansus akan berupaya melalui beberapa hak yang mereka miliki, baik hak berpendapat, hak berpikir, dan lobi-lobi politik.

“Tentu pemerintah memiliki mekanisme sendiri. Artinya negara hukum seperti Indonesia memiliki mekanisme hukum yang patut dihargai. Tetapi kami juga berharap pendekatan hukum atau militer jangan dijadikan sebagai langkah utama dalam menyelesaikan persoalan Papua,” kata dia.

Filep menyarankan pemerintah pusat perlu lebih mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan pendekatan sosial. Semua masyarakat Papua berhak menyatakan pendapatnya di muka umum, dan pemerintah pusat sebaiknya mendengarkan, bukan malah menangkap mereka.

“Misal mahasiswa. Mereka ini generasi yang punya masa depan. Kalau mereka tetap ditahan dalam penjara, tentu akan menjadi generasi yang tidak memiliki masa depan,” sambungnya.

Lebih jauh, Pansus Papua DPD menyatakan, akan melakukan identifikasi masalah dari hasil RDP dengan beberapa elemen kelompok yang sudah terlaksana. RDP yang digelar perdana kemarin hanya sebatas mengumpulkan informasi awal.

“Setidaknya pada pertemuan kemarin kami sudah mendapatkan beberapa gambaran. Nantinya akan menjadi tambahan bahan untuk Pansus Papua melakukan pendalaman. Artinya kami akan melakukan pengkajian lagi apa yang hendak kita kembangkan dalam pertemuan berikutnya,” ujar dia.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid