sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PDIP minta Harun Masiku pulang dari Singapura 

PDIP telah mengimbau Harun Masiku untuk menyerahkan diri ke KPK.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Kamis, 16 Jan 2020 20:23 WIB
PDIP minta Harun Masiku pulang dari Singapura 

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengimbau kepada kadernya Harun Masiku untuk pulang ke Indonesia. Harun merupkan tersangka kasus dugaan suap peralihan anggota DPR RI dari PDIP melalui mekanisme pergantian antarwaktu atau PAW.

Harun disinyalir saat ini tengah berada di Singapura. Dia bertolak tepat dua hari sebelum operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menyasar Komisioner KPU, Wahyu Setiawan atau pada 6 Januari 2020.

Wakil koordinator tim hukum PDIP, Teguh Samudera, mengaku pihaknya telah mengimbau Harun untuk menyerahkan diri ke lembaga antikorupsi. Pasalanya, Harun telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK lantaran perannya sebagai pihak pemberi suap terhadap Wahyu Setiawan.

“Sudah diimbau oleh Pak Sekjen sejak awal supaya menyerahkan diri," kata Teguh saat ditemui di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan, Kamis (16/1).

Saat disinggung upaya tim hukum PDIP untuk membantu KPK guna memulangkan Harun, dia mengaku partainya hanya mengimbau. "Kalau kita diminta untuk bantuan, kami beri imbauan lagi," ucap Teguh.

Menurut dia, tim hukum PDIP tak dapat berbuat banyak untuk mengupayakan kepulangan Harun Masiku. Bahkan, dia menganggap, pihaknya pun tak mempunyai kepentingan untuk menyeret Harun ke KPK.

"Kan enggak ada hubungannya (tim hukum PDIP) dengan Harun. Apa yang bisa kita lakukan? sudah diimbau untuk menyerahkan diri," ujar dia.

Kendati hanya memberi imbauan, Teguh mengklaim, pihaknya akan bersikap kooperatif dalam menyikapi perkara suap yang menjerat sejumlahnya kadernya itu. Bahkan, kata dia, PDIP akan membantu KPK dalam memgusut perkara ini.

Sponsored

"Bukan kooperatif lagi, tetapi men-support. PDIP paling utama dalam upaya memberantas korupsi," katanya.

Sebelumnya, Harun Masiku tercatat telah meninggalkan Indonesia sejak 6 Januari 2019. Dia bertolak ke Singapura melalui Bandar Udara Soekarni-Hatta. Kepergian Harun tepat dua hari sebelum operasi senyap KPK pada Rabu (8/1) siang. Dalam OTT itu, KPK menciduk Wahyu Setiawan dan kader PDIP di antaranya Saeful Bahri dan Agustiani Tio Fridelina.

Dalam perkaranya, Wahyu diduga telah meminta uang sebesar Rp900 juta kepada Harun untuk dapat memuluskan tujuannya. Permintaan itu dipenuhi oleh Harun. Harun memberikan uang suap yang diminta Wahyu secara bertahap dalam dua kali penerimaan, yakni pada pertengahan dan akhir Desember 2019.

Pemberian pertama, Wahyu menerima Rp200 juta dari Rp400 juta yang diberikan oleh sumber yang belum diketahui KPK. Uang tersebut diterimanya melalui Agustiani di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.

Kedua Harun memberikan Rp850 juta pada Saeful melalui seorang stafnya di DPP PDIP. Saeful kemudian memberikan Rp150 juta kepada Doni selaku advokat. Adapun sisanya Rp700 juta diberikan kepada Agustiani, dengan Rp250 juta untuk operasional dan Rp400 juta untuk Wahyu. 

Namun upaya Wahyu menjadikan Harun sebagai anggota DPR pengganti Nazarudin Kiemas yang telah meninggal itu tak berjalan mulus. Hal ini lantaran rapat pleno KPU pada 7 Januari 2020 menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai anggota DPR. KPU bertahan menjadikan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin. 

Meski demikian, Wahyu tak berkecil hati. Dia menghubungi Doni dan menyampaikan tetap berupaya menjadikan Harun sebagai anggota dewan. Itu sebabnya, pada 8 Januari 2020 Wahyu meminta uang dari Harun kepada Agustina. Namun saat hendak menyerahkan uang tersebut kepada Wahyu, penyidik KPK menangkap Agustiani dengan barang bukti Rp400 juta dalam bentuk Dolar Singapura.

Sebagai pihak penerima, Wahyu dan Agustiani disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan Harun dan Saeful selaku pemberi, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Berita Lainnya
×
tekid