sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pembatasan akses ke medsos, langkah sia-sia menangkal hoaks?

Meski sudah mengambil langkah membatasi akses ke media sosial pascaaksi 22 Mei, nyatanya hoaks masih tersebar usai kebijakan itu dicabut.

Manda Firmansyah Armidis
Manda Firmansyah | Armidis Jumat, 31 Mei 2019 19:03 WIB
Pembatasan akses ke medsos, langkah sia-sia menangkal hoaks?

Efektif mencegah hoaks?

Meski banyak yang mengeluh, Kepala Biro Humas Kemenkominfo Fernandus Setu mengatakan, kebijakan pembatasan akses ke media sosial sudah sesuai Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Merujuk UU ITE tersebut, kata dia, pemerintah punya alasan konstitusional soal kebijakannya mengenai mekanisme regulasi yang ada. Termasuk membatasi atau menutup media sosial, yang punya potensi mengancam kepentingan umum.

Fernandus menyebut, di dalam Pasal 18 ayat 2, konten yang mengandung unsur menimbulkan kebencian dan sentimen suku, agama, ras, antargolongan atau SARA dilarang. Dengan begitu, sambung dia, pemerintah diperbolehkan menutup dan menghentikan akses atas dasar kepentingan umum.

“Dalam UU ITE itu pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, berwenang menutup akses bila konten yang disebar melanggar Pasal 28 ayat 2,” tutur Fernandus.

Fernandus menampik ada pihak yang keberatan dengan langkah yang diambil Kemenkominfo. Langkah tersebut, kata dia, didukung dari kalangan warga.

Menurut Fernandus, selama masa pembatasan akses ke media sosial, penyebaran hoaks ditekan cukup masif. Ia mengklaim, jumlah hoaks bisa berkurang sekitar setengah dari biasanya.

“Biasanya setiap hari itu ada 20 item hoaks yang terverifikasi, pada saat itu hanya ada 10,” kata Fernandus saat dihubungi, Jumat (31/5).

Sponsored

Selain itu, menurut Fernandus, dalam masa pembatasan akses ke media sosial selama empat hari, jumlah pengguna media sosial yang terpapar berita bohong menurun drastis. Sebelum kebijakan pembatasan tersebut, jumlah pengguna media sosial yang terpapar hoaks mencapai 30 juta hingga 40 juta per hari.

“Ada penurunan dari sisi jangkauan penyebaran hoaks sekitar 40%. Waktu dibatasi hanya sekitar 16 juta hingga 18 juta pengguna medsos,” ujar Fernandus.

Akan tetapi, sejak pembatasan dicabut Kemenkominfo, hoaks bukannya tak ada. Penyebarannya tetap eksis, meski memang turun.

“Memang mengalami kenaikan sedikit, tapi jumlahnya tidak sebanyak seperti saat sebelum pembatasan,” kata dia.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (tengah) bersama Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra (kiri) dan Komisioner KPU Ilham Saputra (kanan) menunjukan barang bukti kasus hoaks KPU di Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta, Senin (8/4). /Antara Foto.

Langkah yang sia-sia?

Menanggapi pembatasan akses ke media sosial ini, dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Ade Armando menilai, pemerintah cepat tanggap dalam merespons potensi penyebaran hoaks pascaaksi 22 Mei. Pembatasan ini, menurut Ade, merupakan usaha menangkal peluang terjadinya dampak berantai.

"Berkaca pada tahun 1998, kita pernah punya pengalaman yang sangat buruk. Sebuah aksi kerusuhan disiarkan memicu kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Tapi dulu itu media massa, sekarang media sosial," tutur Ade saat ditemui di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, Jumat (31/5).

Ade menuturkan, dalam situasi genting, media sosial bisa memberikan efek yang sangat berbahaya dan memicu kegaduhan.

"Media sosial itu bisa bohong, bisa ditambah-tambahi, dan bisa sengaja digunakan untuk memprovokasi. Jadi, berita hoaks menyebar, menimbulkan kebencian dan kerusakan di mana-mana, mendingan media sosial dibatasi untuk sementara," ujar Ade.

Sementara itu, analis dan pakar media sosial Ismail Fahmi memandang, usaha pemerintah menangkal hoaks dengan jalan pembatasan akses ke media sosial tak sepenuhnya gagal. Akan tetapi, hal itu kurang maksimal lantaran ada media sosial lain yang masih bisa terakses.

Ismail mengatakan, aplikasi pesan instan WhatsApp paling efektif menekan jumlah hoaks. Sayangnya, media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram tak banyak membantu memberangus masifnya kabar bohong itu.

“Di Twitter, Instagram, dan Facebook tetap sama. Penyebaran materi video foto dan teks di medsos tetap berjalan lancar,” kata Ismail saat dihubungi, Jumat (31/5).

Dari pantauannya, Ismail malah mengatakan, pascapencabutan pembatasan akses ke media sosial, ia melihat penyebaran hoaks makin masif. “Tampak percakapan naik drastis di kanal Whatsapp,” ujar Ismail.

Bagi para penggunanya, mereka mengakali mencari akses media sosial dan menyebarkan informasi bermuatan video dan foto. Saat akses terhambat, beberapa penggunanya menggunakan VPN sebagai jalan pintas untuk mengakses media sosial. Akibatnya, pembatasan yang dilakukan pemerintah menjadi langkah sia-sia.

“Bagi mereka yang perang di Twitter langsung mencari jalan lain seperti VPN itu. Sementara orang yang hanya mengandalkan pada aplikasi WhatsApp tidak mengakses karena sebagian bukan pengguna medsos yang aktif,” kata Ismail.

Berita Lainnya
×
tekid