sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pembatasan akses ke medsos, langkah sia-sia menangkal hoaks?

Meski sudah mengambil langkah membatasi akses ke media sosial pascaaksi 22 Mei, nyatanya hoaks masih tersebar usai kebijakan itu dicabut.

Manda Firmansyah Armidis
Manda Firmansyah | Armidis Jumat, 31 Mei 2019 19:03 WIB
Pembatasan akses ke medsos, langkah sia-sia menangkal hoaks?

Pada Rabu (22/5), pemerintah mengumumkan pembatasan akses sementara ke platform media sosial dan pesan instan untuk menangkal penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, terkait aksi unjuk rasa 21-22 Mei.

Pembatasan akses ke media sosial itu dicabut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada Sabtu (25/5). Meski demikian, kebijakan yang bersifat sementara itu masih dirasakan beberapa warga.

Salah satunya Najib. Mahasiswa asal Ponorogo, Jawa Timur itu terganggu dengan pembatasan akses ke media sosial, terutama WhatsApp, yang tak bisa digunakan optimal.

“Mengeluh sih, bahkan sempat uninstall WhatsApp juga. Tapi, setelah tahu informasi pembatasan akses media sosial, akhirnya sedikit memaklumi,” kata Najib saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (31/5).

Menurut Najib, bila ingin membatasi akses media sosial, pemerintah seharusnya memberikan alasan yang jelas. Jika hanya gara-gara aksi 22 Mei, kata dia, mengapa kebijakan yang diambil tak mempertimbangkan dampak kerugian bagi masyarakat lainnya.

Masak cuma karena aksi 22 Mei, semua warga negara terkena efeknya. Ini tidak baik. Sungguh, otoriter kebijakan negara seperti itu,” ujarnya.

Najib mengatakan, semestinya pemerintah memberitahu kebijakan pembatasan akses ke media sosial sehari sebelumnya. Meski demikian, Najib menuturkan, pembatasan akses ke media sosial itu tetap tak berpengaruh.

Toh, anak-anak milenial sudah paham kegunaan VPN (virtual private network),” tuturnya.

Seorang mahasiswa lainnya, Fuad, juga mengaku terganggu, terutama kegiatan organisasi. “Yang lebih terganggu sih, misalnya, wawancara project-nya kawan saya, yang harus sharing agenda dan informasi kegiatan seni di Surabaya. Kan berbasis Instagram,” ujar Fuad saat dihubungi, Jumat (31/5).

Baihaqi, seorang pengusaha katering di Surabaya pun mengeluhkan pembatasan akses ke media sosial ini. Akibat pembatasan tersebut, Baihaqi sempat miskomunikasi dengan pelanggannya.

“Saya sering delay tanggapi respons customers. Saya harus pakai pulsa reguler, yang artinya juga nambah beban biaya,” katanya saat dihubungi, Jumat (31/5).

Walau pelanggannya sudah memaklumi situasi yang tengah terjadi, Baihaqi tetap merasa tak enak karena tak bisa menyajikan pelayanan maksimal.

“Kalau misalnya alasannya buat membendung berita hoaks sih aku enggak sepakat. Karena pemerintah seharusnya bisa standby menghadapi hoaks demi hoaks yang bermunculan dengan konfirmasi secara realtime,” ujarnya.

Langkah Menteri

Menkominfo Rudiantara (kiri) dan Kepala BIN Budi Gunawan (kanan) menyampaikan perkembangan pascakerusuhan di Jakarta dini hari tadi, di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (22/5). /Antara Foto.

Tak dapat disangkal, penyebaran hoaks memang sangat masif di media sosial. Misalnya saja, pada 26 Mei 2019, Kemenkominfo melaporkan 14 hoaks yang tersebar di media sosial. Enam di antaranya terkait aksi 22 Mei. Pertama, narasi 60 orang meninggal dalam kerusuhan 21-22 Mei di Jakarta, yang beredar di Facebook. Hoaks ini disebar pada 23 Mei 2019.

Kedua, foto masjid yang digambarkan diserang polisi dan Brimob pada 22 Mei. Faktanya, foto tersebut ialah kondisi masjid di Sri Lanka setelah penyerangan pada 13 Mei 2019.

Ketiga, tangkapan layar sebuah situs berita, yang berjudul “Bangga Anaknya Mati Syahid Bela Prabowo, Ayah Farhan Gelar Tumpengan” yang beredar di Facebook. Tangkapan layar ini diunggah pada 22 Mei 2019. Nyatanya, judul berita itu sudah diedit. Judul sebenarnya, “Anaknya Tewas Tertembak, Ayah Farhan: Kita Tidak Radikal.”

Keempat, gambar tangan Jokowi berlumuran darah di sebuah media Australia dengan judul “Bloody Hands”. Gambar itu dikaitkan sang penyebar hoaks dengan aksi 21-22 Mei. Koran Australia itu memang benar-benar ada. Namun, gambar itu terkait dengan eksekusi mati dua warga negara Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran pada 2015 lalu.

Kelima, beredar foto polisi membawa senjata saat pengamanan kerusuhan 21-22 Mei, disanding foto Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang memperlihatkan senjata dalam konferensi pers. Narasi foto itu diberi keterangan, polisi sebagai dalang kerusuhan.

Keenam, beredar sebuah video dengan narasi perempuan pembawa bom di aksi 22 Mei sebagai suruhan capres yang gagal. Perempuan itu memang membawa fake bom seperti petasan, dan berdasarkan pemeriksaan, ia diduga mengalami depresi.

Tersangka penyebar hoaks yang ditangkap pun banyak. Selama sepekan, dari 21 Mei hingga 28 Mei, Direktorat Siber Bareskrim Polri mengamankan 10 tersangka. Tersangka pertama berinisial SDA, yang ditangkap pada 23 Mei. Ia dibekuk lantaran menyebar hoaks polisi asal China masuk ke Indonesia untuk mengamankan aksi 21-22 Mei.

Tersangka terakhir berinisial M, yang ditangkap pada 28 Mei. Ia dibekuk karena menyebar konten ancaman yang ditujukan kepada tokoh nasional.

Di dalam rilis pers yang diterima Alinea.id pada 27 Mei 2019, Menteri Kominfo Rudiantara menyebut ada tiga langkah yang diambil pemerintah karena kegentingan peredaran hoaks. Langkah tersebut, kata Rudiantara, lumrah diambil pemerintah di negara lain untuk mencegah meluasnya kerusuhan.

Langkah pertama, menutup akses tautan konten atau akun yang terindikasi menyebarkan hoaks. Kedua, Kemenkominfo bekerja sama dengan penyedia platform digital untuk menutup akun. Terakhir, membatasi akses terhadap sebagian fitur platfrom digital atau berbagai data.

"Pembatasan akses merupakan salah satu dari alternatif-alternatif terakhir yang ditempuh seiring dengan tingkat kegentingan. Pemerintah negara-negara lain di dunia telah membuktikan efektivitasnya untuk mencegah meluasnya kerusuhan," kata Rudiantara, seperti dikutip dari rilis pers, Senin (27/5).

Menurut Rudiantara, di Sri Lanka pun pemerintahnya menutup akses ke Facebook dan WhatsApp, untuk meredam dampak serangan bom. Sementara, pemerintah Iran pernah menutup akses Facebook pada 2009 setelah pengumuman kemenangan Presiden Ahmadinejad.

Rudiantara juga menyebut, sebelum dan selama pembatasan akses ke media sosial, Kemenkominfo juga menutup ribuan akun media sosial dan situs. Sebanyak 551 akun Facebook diblokir. Lalu, 848 akun Twitter, 640 akun Instagram, 143 akun Youtube, dan masing-masing satu situs serta Linkedin ditutup. Kemenkominfo juga bekerja sama dengan penyedia platform digital.

"Itu juga ditempuh. Misalnya, saya telah berkomunikasi dengan pimpinan WhatsApp, yang hanya dalam seminggu sebelum kerusuhan 22 Mei lalu telah menutup sekitar 61.000 akun aplikasi WhatsApp yang melanggar aturan," ujar Rudiantara.

Efektif mencegah hoaks?

Meski banyak yang mengeluh, Kepala Biro Humas Kemenkominfo Fernandus Setu mengatakan, kebijakan pembatasan akses ke media sosial sudah sesuai Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Merujuk UU ITE tersebut, kata dia, pemerintah punya alasan konstitusional soal kebijakannya mengenai mekanisme regulasi yang ada. Termasuk membatasi atau menutup media sosial, yang punya potensi mengancam kepentingan umum.

Fernandus menyebut, di dalam Pasal 18 ayat 2, konten yang mengandung unsur menimbulkan kebencian dan sentimen suku, agama, ras, antargolongan atau SARA dilarang. Dengan begitu, sambung dia, pemerintah diperbolehkan menutup dan menghentikan akses atas dasar kepentingan umum.

“Dalam UU ITE itu pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, berwenang menutup akses bila konten yang disebar melanggar Pasal 28 ayat 2,” tutur Fernandus.

Fernandus menampik ada pihak yang keberatan dengan langkah yang diambil Kemenkominfo. Langkah tersebut, kata dia, didukung dari kalangan warga.

Menurut Fernandus, selama masa pembatasan akses ke media sosial, penyebaran hoaks ditekan cukup masif. Ia mengklaim, jumlah hoaks bisa berkurang sekitar setengah dari biasanya.

“Biasanya setiap hari itu ada 20 item hoaks yang terverifikasi, pada saat itu hanya ada 10,” kata Fernandus saat dihubungi, Jumat (31/5).

Selain itu, menurut Fernandus, dalam masa pembatasan akses ke media sosial selama empat hari, jumlah pengguna media sosial yang terpapar berita bohong menurun drastis. Sebelum kebijakan pembatasan tersebut, jumlah pengguna media sosial yang terpapar hoaks mencapai 30 juta hingga 40 juta per hari.

“Ada penurunan dari sisi jangkauan penyebaran hoaks sekitar 40%. Waktu dibatasi hanya sekitar 16 juta hingga 18 juta pengguna medsos,” ujar Fernandus.

Akan tetapi, sejak pembatasan dicabut Kemenkominfo, hoaks bukannya tak ada. Penyebarannya tetap eksis, meski memang turun.

“Memang mengalami kenaikan sedikit, tapi jumlahnya tidak sebanyak seperti saat sebelum pembatasan,” kata dia.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (tengah) bersama Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra (kiri) dan Komisioner KPU Ilham Saputra (kanan) menunjukan barang bukti kasus hoaks KPU di Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta, Senin (8/4). /Antara Foto.

Langkah yang sia-sia?

Menanggapi pembatasan akses ke media sosial ini, dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Ade Armando menilai, pemerintah cepat tanggap dalam merespons potensi penyebaran hoaks pascaaksi 22 Mei. Pembatasan ini, menurut Ade, merupakan usaha menangkal peluang terjadinya dampak berantai.

"Berkaca pada tahun 1998, kita pernah punya pengalaman yang sangat buruk. Sebuah aksi kerusuhan disiarkan memicu kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Tapi dulu itu media massa, sekarang media sosial," tutur Ade saat ditemui di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, Jumat (31/5).

Ade menuturkan, dalam situasi genting, media sosial bisa memberikan efek yang sangat berbahaya dan memicu kegaduhan.

"Media sosial itu bisa bohong, bisa ditambah-tambahi, dan bisa sengaja digunakan untuk memprovokasi. Jadi, berita hoaks menyebar, menimbulkan kebencian dan kerusakan di mana-mana, mendingan media sosial dibatasi untuk sementara," ujar Ade.

Sementara itu, analis dan pakar media sosial Ismail Fahmi memandang, usaha pemerintah menangkal hoaks dengan jalan pembatasan akses ke media sosial tak sepenuhnya gagal. Akan tetapi, hal itu kurang maksimal lantaran ada media sosial lain yang masih bisa terakses.

Ismail mengatakan, aplikasi pesan instan WhatsApp paling efektif menekan jumlah hoaks. Sayangnya, media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram tak banyak membantu memberangus masifnya kabar bohong itu.

“Di Twitter, Instagram, dan Facebook tetap sama. Penyebaran materi video foto dan teks di medsos tetap berjalan lancar,” kata Ismail saat dihubungi, Jumat (31/5).

Dari pantauannya, Ismail malah mengatakan, pascapencabutan pembatasan akses ke media sosial, ia melihat penyebaran hoaks makin masif. “Tampak percakapan naik drastis di kanal Whatsapp,” ujar Ismail.

Bagi para penggunanya, mereka mengakali mencari akses media sosial dan menyebarkan informasi bermuatan video dan foto. Saat akses terhambat, beberapa penggunanya menggunakan VPN sebagai jalan pintas untuk mengakses media sosial. Akibatnya, pembatasan yang dilakukan pemerintah menjadi langkah sia-sia.

“Bagi mereka yang perang di Twitter langsung mencari jalan lain seperti VPN itu. Sementara orang yang hanya mengandalkan pada aplikasi WhatsApp tidak mengakses karena sebagian bukan pengguna medsos yang aktif,” kata Ismail.

Berita Lainnya
×
tekid