sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pemerintah didesak tarik pidana khusus dari RKUHP

Aliansi ini menganalisis paling tidak empat tindak pidana khusus akan terganggu jika dimasukkan ke RKUHP.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Minggu, 03 Jun 2018 21:17 WIB
Pemerintah didesak tarik pidana khusus dari RKUHP

Aliansi nasional reformasi KUHP menggelar jumpa pers hari Minggu (3/6) di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan. Aliansi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pesaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat ini menilai pemerintah tak perlu tergesa-gesa untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Aliansi ini menganalisis paling tidak empat tindak pidana khusus akan terganggu jika dimasukkan ke RKUHP. Keempat jenis tindak pidana khusus tersebut adalah narkotika dan psikotropika, lingkungan hidup, korupsi, dan pelanggaran HAM berat.

Alviana, Pelaksana Advokasi Hukum Pesaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI) mengatakan narkotika sebagai tindak pidana khusus tidak bisa dimasukkan ke KUHP. "Jika KUHP diterapkan, hanya ada pendekatan hukuman untuk menangani NAPZA, yang sudah terbukti gagal di banyak negara," ujarnya.

Pendekatan pidana, menurut Alviana, hanya akan mengganggu pekerjaan yang sudah dilakukan oleh lembaga dan kementerian terkait, serta masyarakat sipil, utamanya ke persoalan penanganan pengguna narkoba.

Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia mengatakan penerapan RKUHP hanya akan menghambat penuntasan kasus pelanggaran HAM yang efektif. "Dari namanya saja sudah berubah menjadi tindak pidana berat, bukan pelanggaran HAM berat," keluh Putri.

Penetapan RKUHP, menurut Putri, juga akan menutup jalan bagi dituntaskannya kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. "Dalam RKUHP ada asas untuk tidak dipidana dua kali. Kemudian, ancaman hukuman yang tadinya minimal 10 tahun, maksimal 25 tahun, turun menjadi minimal 5 tahun," jelas Putri.

Lalola Easter, Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan jika RKUHP hanya akan mementahkan lagi sifat pengkhususan yang ada di undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pada draf per tanggal 8 Maret 2018, Lalola mengatakan jika penjatuhan pidana denda pada tipikor menjadi sangat rendah dibandingkan dengan Undang-undang Tipikor. 

"RKUHP juga tidak mengenal bentuk pidana tambahan seperti uang pengganti, padahal mekanisme pidana tambahan harus dilihat sebagai upaya pemulihan aset negara," terang Lalola.

Sponsored

Aliansi sepakat jika masing-masing tindak pidana khusus tersebut harus diatur secara spesifik di luar pembahasan RKUHP. "RKUHP ini sebenarnya untuk kepentingan siapa? Jangan-jangan nanti rakyat lagi yang dirugikan," kata Lalola.

Berita Lainnya
×
tekid