sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pemerintah disebut ambil jalan pintas susun RUU Cipta Kerja

Pemerintah tidak menganalisis permasalahan secara menyeluruh.

Valerie Dante
Valerie Dante Sabtu, 22 Feb 2020 20:13 WIB
Pemerintah disebut ambil jalan pintas susun RUU Cipta Kerja

Pakar hukum tata negara, Bvitri Susanti, menilai pemerintah telah mengambil jalan pintas dalam menyusun RUU Cipta Kerja demi mempercepat upaya memudahkan iklim investasi dan usaha.

"Ibaratnya menghindari ganjil-genap, pemerintah ingin cari jalan pintas tapi malah muter-muter dan kena macet," tutur dia dalam diskusi 'Mengapa Galau pada Omnibus Law?' di The Maj, Jakarta, pada Sabtu (22/2).

Bvitri menjelaskan, pada masa konsepsi awal RUU Cipta Kerja pada akhir Oktober 2019, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI menyebut bahwa RUU tersebut bertujuan untuk kemudahan berusaha dan kemajuan iklim investasi asing di dalam negeri.

Pemerintah, jelasnya, ingin mendorong pertumbuhan ekonomi hingga menyentuh 5,7%. Menurut pemerintah, RUU tersebut juga dapat mendorong upaya agar Indonesia tidak terjebak dalam middle income trap.

Dia menilai, pemerintah mengambil jalan pintas karena tidak menganalisis permasalahan ekonomi secara menyeluruh.

"Menurut analisis pemerintah, regulasi yang tumpang tindih menjadi titik permasalahan lambatnya pertumbuhan ekonomi dan aliran investasi. Mereka bilang hal itu akan diatasi oleh RUU Cipta Kerja. Tapi, apakah betul-betul sudah dianalisa dengan benar?" ujar Bvitri.

Bvitri menambahkan, pemerintah menyalahkan regulasi tanpa menganalisa kapasitas kelembagaan yang masih berantakan. Selain itu, pemerintah berasumsi RUU tersebut akan menjamin peningkatan pertumbuhan ekonomi, tanpa menyediakan data untuk mendukung klaim itu.

"Ada asumsi pertumbuhan ekonomi akan tinggi. Pemerintah mau ambil jalan pintas padahal belum ada analisis menyeluruh soal kapasitas kelembagaan," sambung dia.

Sponsored

Dia menegaskan, seharusnya pemerintah menganut evidence-based policy making atau pembuatan kebijakan yang didasarkan pada data dan bukan asumsi semata.

"Asumsi pertumbuhan ekonomi ini tidak ada datanya. Selain itu, pendekatan pemerintah hanya mau investasi meningkat, tapi RUU itu justru meminggirkan sejumlah aspek seperti lingkungan dan HAM," kata Bvitri.

"Hal ini akan membuat pondasi hukum sangat rapuh," imbuhnya.

Sementara itu, perwakilan Ombudsman RI Alamsyah Saragih menilai bahwa RUU Cipta Kerja lahir dari keinginan pemerintah untuk mengalahkan tujuh "setan" investasi yakni infastruktur buruk, kerumitan perizinan, biaya logistik tinggi, hambatan pembebasan lahan, sistem pengupahan buruh, kesiapan angkatan kerja baru, dan subsidi energi yang salah sasaran.

"Tampaknya pemerintah sudah frustrasi dan butuh ide yang out of the box, makanya RUU Cipta Kerja ini digodok dengan cepat, tertutup, dan terburu-buru," jelas dia.

Proses penyusunan tidak transparan

Bvitri menuturkan bahwa proses penyusunan RUU Cipta Kerja sangat tidak partisipatif dan transparan. Proses legalisasi, jelasnya, dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, kemudian pengesahan.

"Partisipasi dan transparani, yang merupakan logika dasar berdemokrasi, seharusnya sudah dimulai pada tahap penyusunan," ungkap dia.

Menurutnya, praktik yang keliru dari segi proses penyusunan pasti akan berimplikasi pada substansi RUU itu.

"Dengan cara penyusunan yang seperti itu, maka tidak kaget ada kontroversi di tengah masyarakat dan banyak yang menentang RUU ini," tambahnya.

Senada dengan Bvitri, Direktur Eksekutif WALHI Nur Hidayati mengatakan bahwa penyusunan RUU Cipta Kerja sama sekali tidak memberikan hak mendasar yakni akses terkait informasi dan partisipasi dalam proses penyusunannya.

Pemerintah, menurutnya, tidak bisa menjustifikasi diri dengan mengatakan bahwa mereka membatasi akses-akses tersebut demi mempercepat proses penyusunan RUU itu.

"Praktik seperti ini tidak boleh diterima dan dinormalkan," tegas Hidayati.

Berita Lainnya
×
tekid