sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pemerintah: UU Cipta Kerja tak bisa rampas tanah rakyat

Tak ada pasal dalam UU Cipta Kerja yang membenarkan pemerintah rampas tanah rakyat.

Fathor Rasi
Fathor Rasi Kamis, 08 Okt 2020 20:24 WIB
Pemerintah: UU Cipta Kerja tak bisa rampas tanah rakyat

Staf Khusus dan Jubir Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), T. Taufiqulhadi menepis tudingan pengamat dan politisi yang menyebut ada pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), yaitu Pasal 121 bahwa pemerintah dapat dengan sewenang-wenang merampas tanah atau rumah warga negara.

"Pernyataan para pengamat dan politisi seperti itu sangat tendensius dan bermaksud buruk. Karena tidak ada pasal dalam UU Cipta Kerja yang membenarkan pemerintah merampas tanah-tanah rakyat," ajar Taufiqulhadi dalam keterangannya, Kamis (8/10).

Dia menegaskan, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam Pasal 121 UU Cipta Kerja sama sekali tidak mengubah makna dan cara penguasaan oleh pemerintah dari UU sebelumnya, yaitu UU No 2 Tahun 2012.

"Jika memang ada perubahan, itu hanya penyesuaian istilah saja. Dalam UU Cipta Kerja, jika ada lahan dan rumah rakyat yang besertifikat akan ditetapkan untuk kepentingan umum, maka sebelum rencana pembangunan fasilitas umum itu dilaksanakan, maka akan dilangsungkan konsultasi publik terlebih dahulu," jelasnya.

Dijelaskan Taufiqulhadi, dalam konsultasi tersebut harus semua pihak sepakat. Jika masyarakat pemilik lahan atau rumah yang bersertifikat itu belum sepakat, maka tidak boleh pemerintah membangun proyek umum apapun di atas lahan rakyat tersebut.

"Dalam proses konsultasi publik tersebut, pemerintah juga akan menggunakan appraisal independen, sehingga praktek pengadaan tanah untuk kepentingan akan terselenggara sangat fair. Harga tanah, bangunan, tanan tumbuh, penghasilan pemilik tanah, jika ada warung misalnya, akan dinilai secara sangat adil oleh appraisal independen tadi," urainya.

Negara, sambung dia, tidak akan mendegradasi praktik yang telah berlangsung. "Sekarang harga tanah yang dibayar berkisar antara dua hingga empat kali harga pasar. Inilah yang memungkinkan kita membangun tol, pelabuhan, bandara, kereta api dan berbagai infrastruktur lain tanpa gejolak dan tanpa penolakan. Justru UU No. 2 Tahun 2012 sering cenderung menimbulkan masalah," paparnya.

Karena, lanjut dia, dalam UU tersebut dikenal dengan istilah ganti rugi.  "Rakyat tidak mau rugi. Seharusnya rakyat haus  ganti untung. Rakyat menjadi pesimis dengan penggunaan istilah ganti rugi ini. Kini penamaan-penamaan dalam pasal UU Cipta Kerja kita sesuaikan untuk menghindari pesimisme rakyat. Kalau soal penitipan uang ganti rugi di pengadilan, itu disebut konsinyiasi," terangnya.

Sponsored

Masalah konsinyiasi, jelas Taufiqulhadi, telah diatur dalam Pasal 42  KUH Perdata. Konsinyiasi dalam dalam UU itu dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang sedang beperkara.

"Misalnya, jika harga tanah sudah disepakati, tetapi di atas objek tanah yang sama terjadi  klaim tumpang tindih di antara warga. Maka klaim tumpang tundih tersebut harus diselesaikan di pengadilan. Agar pembangunan fasilitas umum bisa terus dijalankan, maka UU mengharuskan pemerintah menitipkan uang di pengadilan (konsinyiasi). Jadi konsinyiasi itu adalah melindungi kepentingan masyarakat," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid