sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pemprov DKI Jakarta didesak sikapi bahaya pencemaran udara

Aktivis komunitas pejalan kaki Alfred Sitorus menantang pemerintah provinsi DKI Jakarta berani mengambil kebijakan yang tidak populis.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 28 Jun 2019 22:17 WIB
Pemprov DKI Jakarta didesak sikapi bahaya pencemaran udara

Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) merekomendasi pembaruan standar pengukur baku mutu kualitas udara Jakarta. Kebijakan itu dapat dilakukan melalui penetapan tolok ukur tingkat pencemaran udara di wilayah DKI Jakarta sesuai ketentuan WHO.

“Pemerintah kita sangat konservatif dalam pencegahan pencemaran udara, juga terlalu menggunakan prinsip kehati-hatian,” ujar Ahmad Safrudin selaku Direktur Eksekutif KPBB di Jakarta, Jumat (28/6).

Terdapat lima parameter pencemaran udara menurut WHO, yaitu kadar partikel debu atau PM, ozon, nitrogen dioksida, hidrokarbon, dan karbon monoksida. Untuk parameter kadar partikel debu, standar baku mutu udara Jakarta ditentukan sebesar 50 ug/m³. Hal ini melebihi ambang baku mutu udara yang ditentukan Badan Kesehatan Dunia atau WHO yaitu 20 ug/m³.

Dia menyarankan perubahan ambang baku mutu yang mendekati atau bahkan sesuai standar WHO tersebut. Ini penting dilakukan dalam menjamin kesehatan dan kualitas hidup warga ibu kota.

Pada Januari hingga Juni 2019, kualitas udara rata-rata di DKI Jakarta pada PM 2.5 mencapai 60 ug/m³.

Menurut Safrudin, ini termasuk berbahaya bagi kesehatan warga. Sayangnya, pemerintah berdalih kondisi kota baik-baik saja. Padahal pencemaran udara dapat memberikan efek buruk terutama bagi anak-anak, yang rentan mengakibatkan munculnya flek pada paru-paru.

“Baku mutu kualitas udara Jakarta sudah out of date. Namun masyarakat sipil kebanyakan dan pemerintah menganggap angka ini masih sedang,” ujar Safrudin. Standar baku mutu kualitas udara yang baik menurut WHO adalah PM 2.5 sebesar 10-35 ug/m³.
 
Dampak buruk bagi kesehatan

Kualitas udara Jakarta yang sangat tercemar sangat berbahaya bagi potensi munculnya gangguan kesehatan. Berdasarkan penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan KPBB, diketahui pada 2018 terdapat 1,4 juta penduduk Indonesia menderita asma, sedangkan 373 ribu orang mengidap pneumonia.

Sponsored

Terkait hal itu, anggota KPBB sekaligus pegiat Komunitas Pejalan Kaki Alfred Sitorus berpendapat pemerintah provinsi DKI Jakarta harus segera mengambil kebijakan yang prolingkungan, meskipun tidak populis.

Langkah itu dapat dimulai dengan upaya merevisi peraturan pemerintah di bidang lingkungan hidup yang terkait standar baku mutu kualitas udara. Hal itu perlu dilanjutkan dengan kebijakan efisiensi energi, pengurangan emisi dan efek rumah kaca, juga pengembangan fasilitas armada transportasi yang bebas bahaya jelaga.

“Saya kira selama kebijakan pemerintah masih populis, selama itu pula akan hanya jalan di tempat,” ucap Alfred.

Penyediaan kendaraan ramah lingkungan yang meminimalkan penggunaan bahan bakar bertimbel pun, mesti segera diwujudkan. Alfred dan Safrudin sepakat Pemprov DKI Jakarta harus menerapkan langkah konkret tanpa ragu akan kemungkinan dikritik masyarakat.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, salah satu upaya mengurangi polusi udara di Ibu Kota, dengan mengadakan penataan transportasi. "Kota harus cepat mengentaskan pengintegrasian transportasi," kata Anies di Gedung DPRD DKI, Jakarta, Rabu (26/6).

Jika berhasil diwujudkan, ia optimistis kualitas udara di Jakarta dapat kembali seperti 1998.Di mana pada saat itu, separuh penduduk Jakarta gunakan kendaran umum. 

Berita Lainnya
×
tekid