sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perjanjian MLA disinyalir tidak menjamin pengembalian aset

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, menekankan pengembalian aset, bukan hanya sekadar menindak pelaku korupsi.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 14 Feb 2019 16:01 WIB
Perjanjian MLA disinyalir tidak menjamin pengembalian aset

Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) Indonesia-Swiss disinyalir tidak menjamin pengembalian aset negara.

Praktisi Hukum Pemulihan Aset Paku Utama, menjelaskan MLA dan perjanjian MLA sebenarnya berbeda. 

"MLA merupakan bantuan hukum timbal balik, sesuai dengan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006," jelas dia di Jakarta, Kamis (14/2).

Merujuk pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, tanpa perjanjian MLA, Indonesia sesungguhnya tetap dapat mengirim permintaan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan terduga pelaku perampasan aset negara.

Sementara perjanjian MLA adalah bentuk kerja samanya, sehingga perjanjian MLA tidak menjamin pengembalian aset negara yang disimpan di Swiss. Tanpa perjanjian MLA Indonesia-Swiss pun, penegak hukum sebenaranya bisa mengadakan penyelidikan dan mengusut tuntas aset negara yang dialihkan koruptor ke Bank Swiss.

"Ada atau tidak adanya perjanjian, apa bisa dilakukan? Tentu bisa. Ini bukan opini, karena ada dasar hukumnya," tutur Paku Utama.

Paku Utama merujuk dari kasus mantan presiden Kamerun yang hasil korupsinya disimpan di Swiss. Swiss sempat menolak permintaan pengembalian aset negara. 

Apalagi Swiss merupakan negara yang tidak memiliki sumber daya alam, dan mengandalkan sektor perbankan. Sehingga seringkali enggan menerima ajakan untuk mengusut tuntas kasus pencucian uang, dan juga melakukan asset recovery.

Sponsored

Swiss yang enggan membuka kerahasiaan perbankannya, akhirnya menyerah, setelah Kamerun mengadukannya ke Forum Internasional.

Ada baiknya apabila Indonesia meminta bantuan dari negara lain, terlebih dahulu melengkapi data, sehingga tidak mempersulit kerja penegak hukum negara yang dimintai bantuan.

Disamping itu, Paku Utama juga menekankan upaya memperkuat jejaring antar penegak hukum, KPK, Kejaksaan, maupun kepolisian.

"Harus membangun jejaring ke seluruh dunia, misalnya, KPK Indonesia membangun jejaring dengan KPK Malaysia atau KPK Singapura," imbuh Paku Utama.

Akan tetapi, aspek terpenting, yang bahkan lebih penting dari melengkapi berkas dan memperkuat jejaring adalah terkait negoisasi.

"Investigasi harus kuat, jaringan luas, dan juga kemampuan negosiasi," terang Paku.

Sementara Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, menekankan pengembalian aset, bukan hanya sekadar menindak pelaku korupsi.

Adnan memberi catatan kritis untuk skenario penegak hukum yang masih rapuh pondasinya. Penegak hukum harus meletakkan strategic asset recovery dan pemiskinan sebagai prioritas.

"Pelaku korupsi yang ditangkap, ketika masuk penjara masih bisa berfoya-foya. Bahkan bisa menyuap sipir, kepala lapas, dan pergi menyewa hotel. Mereka tidak dimiskinkan karena penegak hukum hanya mengejar pelaku. Sepanjang pelaku ditangkap, misinya dianggap selesai," tuturnya.

Itulah sebabnya, perjanjian ini dinilai tidak dapat menjawab keseluruhan frustasi masyarakat terkait aset negara yang disimpan para koruptor di bank Swiss.
Oleh karena itu, tantangannya bukan pada Swiss, melainkan integritas penegak hukum Indonesia.

Berdasarkan hasil pemantauan ICW terkait kasus korupsi 2018, ada kecenderungan penegak hukum kurang berintegritas. Terbukti dengan pelbagai kasus korupsi yang dijerat hanya dengan pasal pidana korupsi, dan tidak termasuk pasal lainnya, terutama pasal pencucian uang.

"Padahal KPK masih gencar melakukan OTT, namun masih ada saja pelaku korupsi tertangkap, lagi dan lagi. Koruptor tidak jera dengan hukuman pidana, akhirnya muncul ide koruptor dihukum mati," ujar Adnan.

Seperti diketahui, Indonesia telah menandatangani perjanjian MLA yang memungkinkan bantuan hukum timbal balik dalam ranah hukum pidana dengan Swiss.

Perjanjian MLA dengan Swiss merupakan yang ke-10, setelah sebelumnya menandatangani perjanjian MLA dengan Australia, Hong Kong, China, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, Iran, serta beberapa negara Asean lainnya.

 

Berita Lainnya
×
tekid