sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Aktivis soroti Perkap No. 3 tahun 2019, bikin polisi tak independen

Sejumlah regulasi perlu dievalusi guna memberikan ruang dukungan terhadap para pembela HAM yang kerap tertimpa kriminalisasi.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Minggu, 08 Des 2019 19:30 WIB
Aktivis soroti Perkap No. 3 tahun 2019, bikin polisi tak independen

Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnama Sari, menyoroti Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 3 Tahun 2019 yang dianggap membuat aparat kepolisian tidak independen dalam menjalankan tugasnya.

Menurut dia, regulasi tersebut tidak berpihak terhadap perjuangan hak asasi manusia (HAM). Pasalnya, dalam aturan tersebut salah satu aturan yang termaktub menyatakan bahwa kepolisian bisa memberi pengamanan kepada objek vital nasional dan objek tertentu. 

“Tapi objek tertentu itu kan sangat luas maknanya, bisa dengan korporasi. Terus bentuk pengamanan itu dituangkan dalam kontrak kerja sama dengan korporasi. Inilah yang menjadi pintu masuk bagi polisi memberikan pengamanan terhadap perusahaan-perusahaan," kata Era di Jakarta pada Minggu (8/12).

Karena itu, Era menilai sejumlah regulasi perlu dievalusi guna memberikan ruang dukungan terhadap para pembela HAM yang kerap tertimpa kriminalisasi. Sebab, kata dia, belum ada satu putusan pengadilan terkait peradilan pelaku penyerangan pembela HAM. 

“Hingga saat ini, tidak ada keputusan pengadilan yang dapat kita baca dan analisis menyangkut serangan terhadap pembela HAM, baik kawan NGO maupun petani yang membela hak-hak manusia," tutur Era.

Lebih lanjut, Era mengatakan, sebagian besar pelaporan atas tindakan kriminalisasi terhadap pembela HAM tak pernah diproses oleh aparat kepolisian. Menurutnya, tindakan itu disebabkan karena tidak independennya Korps Bhayangkara dalam menindaklanjuti suatu pelaporan kasus.

“Kalau dilihat pola kasus terancamnya pembela HAM, ada kriminalisasi terhadap aktor yang memperjuangkan hak agraria, dan kriminalisasi terhadap penyampaian kebebasan berpendapat di medsos ketika sedang mengkritik pemerintah. Sebagian besar kasus-kasus kriminalisasi ini tidak pernah diproses. Jangankan diproses, diterima saja tidak," ujar Era.

Koalisi masyarakat sipil untuk perlindungan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) mencatat terdapat 73 kasus pelanggaran yang menimpa pembela HAM dalam rentang waktu Januari 2014 hingga November 2019.

Sponsored

Koalisi tersebut terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial, Setara Institute, Amnesty International Indonesia (AII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII).

Ainul Yaqin, Kepala Badan Advokasi YPII yang juga salah satu anggota koalisi, mengatakan bentuk pelanggaran yang paling dominan menimpa pembela HAM yakni kriminalisasi dengan 31 kasus. Adapun pelaku yang paling banyak melanggar hak pembela HAM ialah aparat kepolisian dengan 27 kasus.

“Sejauh ini, tak terdapat upaya serius dari negara, terutama dari aparat kepolisian dalam mengungkap kasus kekerasan terhadap pembela HAM di Indonesia, sehingga pola kekerasan terhadap pembela nyaris sama dan terus berulang,” kata Ainul.

Dia menyebut, bentuk kriminalisasi yang acap terjadi seperti intimidasi, kekerasan berkedok kriminal dengan pelaku orang tak dikenal, pembajakan akun media sosial atau telepon genggam, upaya kriminalisasi yang dipaksakan terhadap pembela HAM.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid