sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dirjen Dikti sebut Permendikbud Ristek 30/2021 pisahkan norma susila

Peraturan Mendikbud ini penekanannya adalah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi.

 Siti Nurjanah
Siti Nurjanah Senin, 29 Nov 2021 09:05 WIB
Dirjen Dikti sebut Permendikbud Ristek 30/2021 pisahkan norma susila

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menuai beberapa  pro dan kontra.

Padahal, Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Nizam mengungkapkan, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini, merupakan upaya pemerintah dalam memperjelas landasan hukum mengenai kekerasan seksual yang masih ‘abu-abu’ dalam lingkungan perguruan tinggi.

“Jadi Peraturan Mendikbud ini penekanannya adalah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Sama sekali tidak mengatur susila atau tentang norma etika, karena itu ada ranahnya sendiri,” ungkap Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Nizam, dalam diskusi mengenai Apa dan Bagaimana Permendikbud Ristek 30/2021? pada Minggu (28/11).

“Area ‘abu-abu’ itu, kami hilangkan. Agar jelas apa itu yang dimaksud dengan kekerasan seksual dan harus dicegah, ditangani ketika terjadi dan tidak ada lagi area yang ‘abu-abu’,” imbuhnya.

Namun begitu, Ketua Dewan Penasehat Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Jawa Tengah Gunarto mengungkapkan, Permendikbud Ristek Nomor 30/2021 ini masih perlu mengalami revisi di beberapa pasal.

Dalam pemaparannya, Gunarto menjelaskan tentang beberapa resistensi Permendikbud Ristek Nomor 30/2021 dari Persyarikatan Muhammadiyah yang sebaiknya lebih akomodatif terhadap publik tertutama berbagai unsur penyelenggara pendidikan tinggi, merumuskan kebijakan dan peraturan, bahkan mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permendikbud Ristek Nomor 30/2021, agar secara materil tidak terdapat norma yang bertentangan dengan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Rebuplik Indonesia 1945.

“Yang kedua dari Komisi X DPR, yaitu perlunya revisi terbatas terkait definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud Ristek Nomor 30/2021. Kemudian revisi terbatas terkait Pasal 5 Ayat 2B yang berbunyi memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban. Diksi tanpa persetujuan korban harus dihilangkan,” Gunarto pada kesempatan yang sama.

“Artinya semua perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja, baik tanpa persetujuan maupun persetujuan korban itu termasuk dalam pelanggaran kekerasan seksual,” tambahnya.

Sponsored

Gunarto juga mengungkapkan, Permendikbud Ristek Nomor 30/2021 harus dicabut dan segera direvisi karena sejalan dengan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Rebuplik Indonesia Tahun 1945. Di mana, dalam pasal itu menugaskan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, serta akhlak mulia, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Kemudian saya mengambil dari teori Rosccode Pound untuk melihat atau mengkritisi Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Ada 3 golongan yang dilindungi secara seimbang untuk mewujudkan keadilan dalam pembuatan hukum, khususnya kebijakan publik yang diatur di dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021,” ucapnya.

Tiga golongan yang dimaksud yaitu, kepentingan umum yang meliputi negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat, kepentingan masyarakat yang meliputi kepentingan kedamaian dan ketertiban, lingkungan lembaga-lembaga sosial, pencegahan kemerosotan akhlak, hak, dan kesejahteraan sosial. Kemudian, kepentingan pribadi yang meliputi kepentingan individu, keluarga, dan hak milik.

“Beberapa substansi pasal-pasal yang bermasalah, yang pertama adalah filosofi Permendikbud Ristek Nomor 30/2021, kekerasan seksual dikecualikan kalau disetujui oleh korban. Ini yang menjadi masalah,” katanya.

Gunarto memaparkan, bahwa hal tersebut terjadi pada Pasal 5 Ayat (2) huruf b huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dimana selalu mencantumkan kalimat “tanpa persetujuan korban”, yang berarti selama hal-hal yang dipaparkan dalam pasal tersebut dilakukan dengan persetujuan korban, maka hal tersebut tidak termasuk kekerasan seksual. Begitu pula dengan Pasal 5 ayat (3) yang dianggap tidak relevan.

“Rekomendasi perbaikan Permendikbud Ristek Nomor 30/2021, yang pertama adalah perubahan filosofi Permendikbud Ristek Nomor 30/2021 dari diksi kekerasan seksual dikecualikan kalau disetujui oleh korban menjadi diksi kekerasan seksual adalah pelanggaran, walaupun mendapat persetujuan dari korban tetap saja menjadi kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (2). Sehingga Pasal 5 Ayat (2) huruf b huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, semuanya diksi ‘tanpa persetujuan korban’ harus diperbaiki. Kemudian, Pasal 5 Ayat (3) dihapus karena sudah tidak relevan,” tegasnya.

Selain hal itu, Sekretaris Universitas Indonesia Agustin Kusumayati memperkuat, pemaparan tersebut dalam segi kesehatan.

“Seperti yang kita ketahui, definisi sehat itu tidak hanya meliputi fisik dan mental, tidak hanya sekedar tidak sakit dan tidak cacat, tetapi juga harus sejahtera fisik, mental, dan sosial. Sehingga ketika kita berbicara sejahtera secara sosial, disitu pasti ada values, ada nilai-nilai,” ungkap Agustin Kusumayati mantan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI.

Merujuk pada definisi kesehatan tersebut, Agustin Kusumayati menjelaskan, definisi tersebut juga berlaku pada kesehatan reproduksi yang dalam hal ini meliputi fungsi, sistem, serta proses reproduksi. 

“Jadi kalau kita bicara proses reproduksi, ya dari hal-hal seperti itu harus ditata, harus dibuat sehat. Jadi tidak bisa tiba-tiba ujungnya nanti sehat, tetapi prosesnya itu tidak kita tangani dengan baik. Ketika kita bicara mengenai proses bagaimana bisa sehat, itu ada social well-being yang berarti di situ ada values,” tegasnya.

“Sekali lagi saya tegaskan, kalau kita bicara tentang konsen, persetujuan, tidak ada paksaan misalnya dalam hal ini, maka itu kaitannya dengan definisi kekerasan tidak berkaitan dengan definisi boleh tidak boleh, baik buruk, apa lagi halal dan haram. Namun, sesuatu yang diangkap bukan kekerasan, bukan berarti dia boleh, saya rasa seharusnya itu juga diatur (dalam Permendikbud Ristek 30/2021) dan ditanamkan ketika kita ingin mempromosikan kegiatan untuk pencegahan seksual. Karena values itu harus masuk disana, harus ikut ditanamkan, kalau tidak bisa salah arah,” imbuhnya.

Berita Lainnya
×
tekid