Perppu Covid-19 dianggap sebagai kediktatoran dalam konstitusi
Pemohon uji materi Perppu Covid-19 mencontohkan dengan Pasal 28.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dianggap sebagai bentuk kediktatoran dalam konstitusi.
Seorang pemohon uji materi Perppu Covid-19, Dewi Anggarani, mencontohkannya dengan Pasal 28. Ketentuan itu dinilainya menyebabkan kewenangan presiden berlebih, bahkan absolut dan berpotensi sewenang-wenang.
"Berdasarkan hal tersebut menunjukkan, bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2020 lebih mencerminkan constitutional dictatorship dibandingkan merespons keadaan daruruat kesehatan," ujarnya dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (28/4).
Kecuriagaannya dipertebal dengan minimnya penanganan pandemi berbasis Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. "Lahirnya Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru menentukan pengenyampingan undang-undang tertentu," ucap Dewi.
Di sisi lain, dirinya curiga Perppu Covid-19 sengaja diterbitkan karena pemerintah memahami akan terjadi krisis ekonomi. Regulasi itu dibutuhkan agar ada legitimasi untuk mengeluarkan anggaran besar. Sayangnya, lazim diiringi kasus korupsi.
"Ini terjadi pada krisis 1998 dan krisis 2008. Bailout 2020 yang sudah diumumkan pemerintah saat ini jauh lebih besar dari sebelumnya, sehingga pengawasan terhadap penggunaan anggaran tersebut sudah selayaknya diperketat," katanya.
"Bahkan, setiap orang yang melakukan korupsi atas keuangan sehubungan dengan penanganan pandemi Covid-19 selayaknya dihukum seberat-beratnya, termasuk kemungkinan hukuman mati sesuai undang-undang," sambungnya.
Dewi melanjutkan, klausul defisit anggaran tanpa batas dalam Perppu Covid-19 berlaku hingga tiga tahun nanti. Ini dianggap tak mencerminkan adanya kepentingan yang memaksa. Sehingga, batasan tersebut harus disikapi sebagai tindakan berbahaya karena menggunakan kesempatan di tengah pandemi.
"Yang patut dicurigai demi kepentingan para sekelompok pribadi tertentu tersebut dalam Perppu Keuangan Negara, khususnya dihubungkan dengan pasal kekebalan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Perppu Keuangan Negara. Dengan demikian, masyarakat patut curiga terhadap itikad pembuatan materi seperti ini," imbuh dia.
Baginya, presiden tak memiliki hak mengeluarkan perppu sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945. Alasannya, tiada alasan mendasar dan kondisi sekarang tak dikategorikan kegentingan yang memaksa.
"Saat ini tidak ada kondisi yang dikategorikan kegentingan yang memaksa. Hanya ada ancaman virus corona. Apakah ancaman virus corona telah dapat ditafsirkan presiden sebagai hal ihwal kegentingan memaksa? Dalam upaya penanganan virus Covid-19 telah ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sehingga tidak sepatutnya dikeluarkan perppu yang juga menangani Covid-19," urainya.

Asa bebas corona di Kampung Tangguh Jaya
Rabu, 27 Jan 2021 17:00 WIB
Paylater bergairah, pasar multifinance kian meriah
Selasa, 26 Jan 2021 16:36 WIB