sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pertaruhan integrasi lembaga riset dan BRIN di Mahkamah Konstitusi

Mandat integrasi BRIN dan lembaga riset dalam UU Sisnas-Iptek diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Rabu, 01 Sep 2021 17:06 WIB
Pertaruhan integrasi lembaga riset dan BRIN di Mahkamah Konstitusi

Polemik rencana pemerintah mengintegrasikan lembaga riset ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memasuki babak baru. Pertengahan Agustus lalu, dua peneliti resmi mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas-Iptek) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dua pemohon uji materi itu ialah Eko Noer Kristianto dan Heru Susetyo. Eko adalah peneliti madya di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), sedangkan Heru berstatus sebagai anggota Dewan Riset Daerah DKI Jakarta. 

Menurut kuasa hukum para pemohon, Wasis Susetio, keduanya resah dengan rencana pemerintah mengintegrasikan lembaga-lembaga riset dan badan litbang di kementerian dan lembaga pemerintah ke dalam BRIN. Mandat integrasi itu termaktub dalam Pasal 48 UU Sisnas-Iptek dan dimaknai peleburan oleh pemerintah. 

Dalam gugatan tersebut, batu uji yang diajukan Wasis yakni Pasal 28D UUD 1945. Pasal itu menjabarkan pemberian hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, hingga hak untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja

“Ini akan kita bangun argumentasinya, baik itu secara legal standing dihubungkan dengan asas dan juga yurisprudensi dengan yang ada di MK sendiri,” jelas Wasis dalam webinar Alinea Forum bertajuk “Uji Materi Regulasi BRIN,” Selasa (31/8)

Pokok perkara uji materi, kata Wasis, ialah tafsir terhadap  kata “integrasi” di Pasal 48 UU Sisnas IPTEK dan kata “antara lain” pada bagian penjelasan pasal tersebut. Pasal 48 UU Sisnas-Iptek berbunyi, "Untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan serta invensi dan inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional."

Pada bab penjelasan, makna integrasi diuraikan sebagai 'upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi, dan inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.'

Menurut dia, integrasi dimaknai keliru dalam Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekira empat bulan silam. Perpres itu turunan dari UU Sisnas-Iptek. Perpres 33/2021 telah direvisi menjadi Perpres 78/2021 tentang BRIN. Substansi integrasi tidak berubah.

Sponsored

“Nah, dengan demikian, ini yang bermasalah UU (Sisnas IPTEK) atau Perpres (BRIN). Jadi, problem kita adalah pengaburan norma. Kita melihat sebagai alat buktinya bahwa muncul Perpres 33 tahun 2021 di mana lembaga IPTEK yang sudah ada ini dibubarkan," kata dia. 

Secara tersirat, Perpres itu mengamanatkan pengintegrasian terhadap empat lembaga riset, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Balitbang di 48 kementerian dan lembaga juga bakal dibawahi BRIN.  

Selain bertentangan dengan UU Sisnas-Iptek, menurut Wasis, mandat Perpres itu juga keliru lantaran mengakibatkan dua UU yang menjadi dasar pembentukan Lapan dan Batan menjadi tak berlaku. Dua UU yang dimaksud Wasis ialah UU Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan UU Nomor 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan. 

Selain itu, Wasis mengatakan pemerintah juga tidak mengindahkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan saat merilis Perpres BRIN. "Sebuah Perpres kok mencabut juga UU yang menjadi dasar pembentukan Lapan dan Batan,” kata dia. 

Para pemohon, lanjut Wasis, sudah menyerahkan sejumlah alat bukti dalam uji materi itu, semisal risalah rapat pembahasan RUU Sisnas-Iptek dan naskah akademik. Sejumlah saksi juga telah disiapkan, terutama kalangan ahli maupun legislator yang turut terlibat merumuskan regulasi itu.

Wasis mengaku telah menganalisis dokumen akademik UU Sisnas IPTEK setebal 152 halaman. Menurut dia, para perumus UU Sisnas IPTEK hanya menegaskan koordinasi perencanaan program hingga anggaran diperlukan dalam iklim riset dan inovasi dalam negeri. 

"Jelas di sini (naskah akademik),  intensi para perumus pembentukan UU itu bukan untuk membentuk adanya lembaga baru yang mematikan seluruh lenbaga (riset) yang selama ini eksis," kata dia. 

Kejanggalan lainnya, kata Wasis, ialah eksistensi BRIN yang hanya tertulis pada satu pasal di UU Sisnas-Iptek. Idealnya, suatu UU perlu menjabarkan gambaran besar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) bila ingin membentuk satu lembaga baru. 

“Kalau (kehadiran) BRIN ini adalah membubarkan sesuatu, maka tentu akibat dari pada pengaturan ini berimplikasi pada perubahan kondisi dan bagaimana prosesnya. Itu biasanya di peralihan ada berapa lama waktunya melebur. Ternyata di UU ini tidak ada sama sekali ketentuan peralihan,” kata Wasis.

Petugas keamanan melintas di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (23/5)./AntaraFoto

Menolak peleburan 

Mantan Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) Bambang Setiadi menilai persoalan yang ada dalam UU Sisnas IPTEK bukan hanya bertumpu pada Pasal 48 saja. Menurut dia, sebagian besar isi regulasi itu potensial bermasalah. 

Ia mencontohkan upaya membangun iklim inovasi dalam negeri yang jadi tujuan pembentukan UU Sisnas-Iptek. Dari kalkulasinya, setidaknya hanya ada 51 kata inovasi yang tersebar di 30 pasal di UU itu. Namun, tidak dijelaskan rinci bagaimana iklim inovasi itu bakal dilahirkan.

“Pertanyaannya, bagaimana ini (inovasi) diimplementasikan dalam sebuah kerja nyata. Katakanlah, kalau ini dibebankan ke BRIN, seperti apa yang akan dilakukan,” tutur Bambang dalam webinar yang sama.  

Menurut Bambang, DRN telah memberikan sejumlah masukan dalam proses pembentukan regulasi itu. Salah satunya ialah mengganti nama UU menjadi UU Sisnas-Iptek Inovasi. "Kemudian, kata inovasi bukan tersebar di beberapa pasal, tetap menjadi satu bab dan di dalam bab inovasi itu dibahas pembentukan BRIN,” terang Bambang.

Usulan lainnya ialah menempatkan DRN di bawah tanggung jawab Presiden. Dengan begitu, Presiden dapat memastikan setiap pogram riset dan inovasi dapat dijalankan sesuai rencana pemerintah. Namun, UU Sisnas-Iptek malah membubarkan DRN. 

"Apa implikasinya? Seluruh negara itu punya DRN. Bahkan, di Asean saja, sekarang kita yang paling tidak punya DRN. Jadi, kita tidak punya forum,” ucap Bambang.

Mantan Kepala BPPT Marzan Aziz Iskandar meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana melebur lemabaga riset dan badan litbang ke dalam BRIN. Ia pesimistis kegiatan riset dan inovasi dapat berjalan baik bila dikelola oleh BRIN.

“Mungkin potensial terjadi conflict of interest. Sehingga sistem ini tidak bisa berjalan dengan baik. Hasil invensi ini bisa koruptif, ya. Maksudnya, tidak bagus karena tidak ada check and balances. Oleh karena itu, pertimbangan kita untuk menolak menyusun organisasi riset atau lembaga dilebur ke BRIN,” tutur Marzan, Selasa (31/8).

Menurut Marzan, BRIN sebaiknya cukup menempatkan diri sebagai penyusun program, anggaran, dan pengawas saja. Pelaksanaan kegiatan riset dan inovasi tetap dipegang oleh LPNK riset, lembaga litbang, perguruan tinggi, badan usaha, dan lembaga penunjang.

“Lagi pula tidak ada negara lain mulai dari lembaga litbangjirap itu jadi satu lembaga. Itu tidak ada. Paling tidak, mereka membaginya itu academic of sains, academic of engineering. Mereka itu biarkan lembaga riset kecil, tetapi efektif. Sumber daya mumpuni, berkompeten, relevan,” ujar rektor Institut Teknologi Indonesia (ITI) itu.  

Eks Menteri Negara Riset dan Teknologi Rahardi Ramelan mengaku telah meminta Kepala BRIN Laksana Tri Handoko untuk tidak melebur lembaga riset dan badan litbang ke dalam BRIN. Menurut dia, peleburan itu bisa menghancurkan budaya dan tradisi riset yang telah lama terbentuk.

“Bukan hanya budayanya, tetapi DNA pecah karena memotong DNA itu sangat berbahaya. Kita akan mulai lagi dari nol. Start from zero. Terutama ada empat lembaga yang saya soroti, yaitu LIPI, BPPT, LAPAN, dan BATAN. Itu bukan punya lagi budaya dan tradisi, tetapi DNA-nya sudah ada,” tutur Rahardi.

Lebih jauh, Rahardi berharap polemik integrasi BRIN tidak berkepanjangan. Ia khawatir kegaduhan soal itu mengganggu program riset dan inovasi yang telah berjalan. 

Disturbances (gangguan) ini sangat bahaya karena untuk mencapai kembali ekuilibrium yang pernah kita capai butuh puluhan tahun. Itu jangan sampai terjadi, ya,” terang Rahardi.

Ilustrasi riset di bidang medis. /Foto Pixabay

Otonomi lembaga riset

Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro sepakat peleburan lembaga riset ke dalam BRIN melahirkan kemunduran. Menurut dia, lembaga riset dan penelitinya seharusnya dibiarkan otonom. 

“Kalau ingin otonom dan akuntabel yang betul murni, maka memang tidak boleh dikaitkan dengan ASN (para penelitinya). Berikutnya, lembaga yang mempunyai tata kelola baik, good governance, sesuai dengan visi dan misinya,” tutur Satryo, Selasa (31/8).

Menurut dia, lembaga riset harus bebas kepentingan sehingga produk-produk yang dihasilkan benar-benar objektif dan mengutamakan kaidah-kaidah ilmiah. Kemandirian itu, kata dia, tidak mungkin dimiliki lembaga riset dan para penelitinya jika berada di bawah payung BRIN. 

“Dampak seriusnya (BRIN melebur organisasi riset) adalah kita alami setback, dan untuk memulihkan kembali itu hampir tidak mungkin. Karena dengan cara seperti ini, menghilangkan esensi kegiatan riset dan inovasi seperti mandiri, otonomi dalam melaksanakan penelitian, akuntabel,” ujar Satryo.

Ketimbang menjalankan riset, menurut Satryo, BRIN sebaiknya berperan sebagai lembaga pendanaan riset dan inovasi. "Sebagai funding agency dan tidak mengintegtasikan lembaga iptek. BRIN seyogyanya tidak laksanakan kegiatan IPTEK,” imbuh dia. 

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Terpisah, mantan Kepala Badan Litbang Kemenkes (Balitbangkes) Agus Purwadianto mengaku eksistensi BRIN menyebabkan struktur organisasi di Kemenkes perlu diharmonisasi. Ia mencontohkan lahirnya Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) yang diatur dalam Permenkes Nomor 18 tahun 2021 tentang Kemenkes.

BKPK berfungsi untuk menganalisis dan memberikan rekomendasi hasil kebijakan pembangunan kesehatan, pelaksanaan integrasi dan sinergi pencapaian sasaran pembangunan, dan evaluasi serta pelaporan penguatan kebijakan pembangunan kesehatan. 

Agus merasa ada tumpang tindih tugas antara BKPK dengan lembaga litbang yang akan ditarik ke BRIN. Dualisme tugas kelembagaan riset dan inovasi itu membuat peneliti dalam posisi dilematis. Pasalnya, peneliti di sektor kesehatan umumnya punya latar belakang yang beragam, mulai dari ASN, peneliti profesi mandiri, dosen, hingga dokter.

“(Dalam proses peralihan), kalau (peneliti) salah pilih, ya boleh (pindah lagi ke institusi lama). Karena rata-rata peneliti kan tidak paham suprastruktur. Nah, dalam konteks peralihan, harus ada fase transisi untuk pembagian biro kepegawaian. Itu cukup fleksibel. Jadi, jangan kaku,” terang Agus.
 

Berita Lainnya
×
tekid