sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Polemik kata kafir dan makna kerukunan umat beragama

Penyebutan kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Rabu, 06 Mar 2019 17:59 WIB
Polemik kata kafir dan makna kerukunan umat beragama

Makna kafir

Menurut Asghar Ali Engineer di dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan (2009), terminologi kafir tidak hanya bermakna ketidakpercayaan dalam hal keyakinan. Namun, lebih jauh lagi, sebuah penolakan terhadap penghapusan tatanan masyarakat yang eksploitatif untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Asghar menarik makna kafir dalam perspektif ekonomi-politik, sesuai dengan semangat pembebasan yang dibawa Islam.

Di sisi lain, menurut Ketua Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Abdul Mustaqim, kata kafir dalam Islam harus dilihat dalam dua hal, yakni teologis dan sosiologis-politis.

Dalam hal teologis, penggunaan kata kafir, menurut Mustaqim, hanya berlaku untuk kalangan Muslim. Hal ini terkait dengan ajaran tauhid, setiap Muslim wajib mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan dalam hal sosiologis-politis, kata Mustaqim, umat Islam tak perlu menyebut semua yang berada di luar keyakinan yang dianutnya dengan sebutan kafir atau nonmuslim. Dimensi keagamaan, menurutnya, tidak hanya berkaitan dengan ketuhanan, tetapi juga hubungan antarsesama umat beragama.

“Nabi tidak pernah menyebut kafir untuk orang Yahudi dan Nasrani ketika periode Madinah, beliau menyebut ummatan wahidah (umat yang satu) atau ahlul kitab,” tutur penulis buku Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi, Pendekatan Sosio Historis Kontekstual (2001) bersama Said Agil Husin Munawwar ini, ketika dihubungi, Selasa (5/3).

Menurut dia, kata kafir berasal dari kata kufur. Kata ini digunakan untuk menyebut para petani di Arab yang bekerja dengan cara menutupi setiap benih yang ditanamnya dengan tanah.

Sponsored

Seiring waktu, kata kafir dimaknai sebagai orang yang menutupi kebenaran Tuhan. Akan tetapi, kata Mustaqim, terminologi kafir memiliki berbagai jenis dan definisi. Kata tersebut tak hanya disematkan bagi kalangan nonmuslim saja.

“Kafir al ni`mah (mengingkari nikmat) adalah sebutan untuk orang-orang yang mengingkari nikmat Tuhan. Kalangan Muslim bisa saja masuk kafir golongan ini,” ujarnya.

Selanjutnya, ia mengatakan, tidak menyebut orang-orang nonmuslim dengan sebutan kafir bukan berarti mengingkari surat Al-Kafirun.

“Kita mengakui ada orang kafir, tapi dalam konteks sosial-politik, sebaiknya sebut saja dengan muwathinun atau warga negara,” kata dia.

Hal senada dikatakan pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, Husein Muhammad. Menurutnya, penggantian kata kafir untuk menyebut nonmuslim merupakan keputusan penting yang diambil NU dalam konteks Indonesia.

"Kata kafir itu memiliki makna yang peyoratif dan diskriminatif, untuk itu dalam konteks bermasyarakat ia harus dimaknai ulang sesuai dengan kondisi sosialnya,’’ katanya ketika dihubungi, Senin (4/3).

Husein mengatakan, kata kafir harus dikembalikan ke dalam makna hakikinya, yakni orang yang mengingkari atau menolak kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Baginya, hal ini harus dilakukan untuk menjauhkan kata tersebut dari pelabelan terhadap sesuatu yang berada di luar keyakinan agama tertentu.

“Hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan biarkan menjadi pilihan individu. Menyoal benar atau tidak serahkan kepada Tuhan,” kata Komisioner di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) ini.

Lebih lanjut, Husein melihat terminologi kafir untuk menyebut nonmuslim berlaku bagi negara yang sistem politiknya bertumpu pada teokrasi, bukan hukum dan suara rakyat. Istilah kafir, menurut dia, tidak relevan diterapkan dalam negara-bangsa.

Berita Lainnya
×
tekid