sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Polemik kata kafir dan makna kerukunan umat beragama

Penyebutan kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Rabu, 06 Mar 2019 17:59 WIB
Polemik kata kafir dan makna kerukunan umat beragama

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat pada 27 Februari hingga 1 Maret 2019 menghasilkan beberapa rekomendasi.

Rekomendasi tersebut dipaparkan di Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah (peraturan), Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah (tematik), dan Bahtsul Masail Waqiiyyah (aktual). Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah mengusulkan agar NU tak lagi menyebut kafir bagi warga negara yang tak memeluk agama Islam.

Penyebutan kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis. Untuk itu, mereka mengusulkan untuk diganti dengan istilah muwathinun atau warga negara.

Hal ini sempat memancing pro-kontra. Front Pembela Islam (FPI) menganggap, kata kafir bukanlah ujaran kebencian, dan tidak diskriminatif.

Menyambut baik

Usulan NU itu disambut baik penganut agama lain. Guru seni rupa yang juga salah seorang penganut Katolik Ping Setiadi sangat mengapresiasi rekomendasi NU tersebut. Menurutnya, NU seakan menjadi jembatan bagi jalinan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

“Sepakat dengan NU, kata kafir cukup menyakitkan bagi nonmuslim, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. NU memiliki empati terhadap kami kaum minoritas,” katanya ketika dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (5/3).

Lebih lanjut, Ping mengatakan, dalam kitab perjanjian Lama yang merupakan turunan Taurat, kata kafir memang ditemukan. Namun, dalam teologi Katolik, kata tersebut tidak lagi digunakan.

“Dalam khotbah, kami menggunakan istilah saudara kami Muslim, saudara kami Hindu, saudara kami Buddha, dan seterusnya untuk menyebut mereka yang berbeda keyakinan,” tuturnya.

Selain Ping, Ketua Suka Duka Hindu Dharma Jakarta Made Sudharta pun menyambut positif usulan NU itu.

“Itu bagus untuk menjaga kerukunan antarumat beragama,” kata Sudharta ditemui di sela-sela prosesi Tawur Agung Kesanga menyambut Hari Raya Nyepi di Pura Aditya Jaya, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (6/3).

Ia mengatakan, dalam ajaran agama Hindu tidak mengenal kata kafir, serta tidak pula menggunakannya untuk menyebut orang yang berada di luar keyakinan mereka.

Presiden Joko Widodo didampingi Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) KH Ma'ruf Amin (kiri) Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar (ketiga kiri) pada pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2). (Antara Foto).

Tak ada lagi di Katolik

Sementara itu, Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis atau yang dikenal dengan Franz Magnis-Suseno menuturkan, kata kafir tak lagi dipakai dalam gereja Katolik.

Ketentuan itu, menurut Franz Magnis, sudah berlaku sejak Konsili Ekumenis Vatikan II pada 1962-1965, dan tertuang dalam dokumen Nostra Ætate (Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen).

“Tidak melihat orang beragama lain jauh dari atau di luar kasih Ilahi, mengakui bahwa di agama-agama lain ada yang benar dan suci harus dihormati oleh Umat Katolik,“ kata rohaniawan Katolik dan budayawan Indonesia tersebut saat dihubungi, Selasa (5/3).

Menurutnya, hasil Konsili Vatikan II itu menelurkan poin-poin paling krusial dalam sejarah gereja Katolik dan untuk toleransi antarumat beragama. Hasil Konsili Vatikan II, membawa perubahan besar dalam doktrin gereja Katolik.

Selain itu, kata Franz Magnis, Konsili Vatikan II juga mengakhiri permusuhan panjang antara Katolik dan Protestan, yang sudah terjadi selama 500 tahun, serta mengakui Protestan dan Ortodoks sebagai saudara.

“Dan tak kalah penting, Nostra Ætate menyatakan hormatnya terhadap agama-agama lain, khususnya umat Katolik diarahkan untuk menghormati dan menghargai umat Islam yang percaya pada Allah yang Esa,” katanya.

Makna kafir

Menurut Asghar Ali Engineer di dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan (2009), terminologi kafir tidak hanya bermakna ketidakpercayaan dalam hal keyakinan. Namun, lebih jauh lagi, sebuah penolakan terhadap penghapusan tatanan masyarakat yang eksploitatif untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Asghar menarik makna kafir dalam perspektif ekonomi-politik, sesuai dengan semangat pembebasan yang dibawa Islam.

Di sisi lain, menurut Ketua Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Abdul Mustaqim, kata kafir dalam Islam harus dilihat dalam dua hal, yakni teologis dan sosiologis-politis.

Dalam hal teologis, penggunaan kata kafir, menurut Mustaqim, hanya berlaku untuk kalangan Muslim. Hal ini terkait dengan ajaran tauhid, setiap Muslim wajib mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan dalam hal sosiologis-politis, kata Mustaqim, umat Islam tak perlu menyebut semua yang berada di luar keyakinan yang dianutnya dengan sebutan kafir atau nonmuslim. Dimensi keagamaan, menurutnya, tidak hanya berkaitan dengan ketuhanan, tetapi juga hubungan antarsesama umat beragama.

“Nabi tidak pernah menyebut kafir untuk orang Yahudi dan Nasrani ketika periode Madinah, beliau menyebut ummatan wahidah (umat yang satu) atau ahlul kitab,” tutur penulis buku Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi, Pendekatan Sosio Historis Kontekstual (2001) bersama Said Agil Husin Munawwar ini, ketika dihubungi, Selasa (5/3).

Menurut dia, kata kafir berasal dari kata kufur. Kata ini digunakan untuk menyebut para petani di Arab yang bekerja dengan cara menutupi setiap benih yang ditanamnya dengan tanah.

Seiring waktu, kata kafir dimaknai sebagai orang yang menutupi kebenaran Tuhan. Akan tetapi, kata Mustaqim, terminologi kafir memiliki berbagai jenis dan definisi. Kata tersebut tak hanya disematkan bagi kalangan nonmuslim saja.

“Kafir al ni`mah (mengingkari nikmat) adalah sebutan untuk orang-orang yang mengingkari nikmat Tuhan. Kalangan Muslim bisa saja masuk kafir golongan ini,” ujarnya.

Selanjutnya, ia mengatakan, tidak menyebut orang-orang nonmuslim dengan sebutan kafir bukan berarti mengingkari surat Al-Kafirun.

“Kita mengakui ada orang kafir, tapi dalam konteks sosial-politik, sebaiknya sebut saja dengan muwathinun atau warga negara,” kata dia.

Hal senada dikatakan pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, Husein Muhammad. Menurutnya, penggantian kata kafir untuk menyebut nonmuslim merupakan keputusan penting yang diambil NU dalam konteks Indonesia.

"Kata kafir itu memiliki makna yang peyoratif dan diskriminatif, untuk itu dalam konteks bermasyarakat ia harus dimaknai ulang sesuai dengan kondisi sosialnya,’’ katanya ketika dihubungi, Senin (4/3).

Husein mengatakan, kata kafir harus dikembalikan ke dalam makna hakikinya, yakni orang yang mengingkari atau menolak kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Baginya, hal ini harus dilakukan untuk menjauhkan kata tersebut dari pelabelan terhadap sesuatu yang berada di luar keyakinan agama tertentu.

“Hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan biarkan menjadi pilihan individu. Menyoal benar atau tidak serahkan kepada Tuhan,” kata Komisioner di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) ini.

Lebih lanjut, Husein melihat terminologi kafir untuk menyebut nonmuslim berlaku bagi negara yang sistem politiknya bertumpu pada teokrasi, bukan hukum dan suara rakyat. Istilah kafir, menurut dia, tidak relevan diterapkan dalam negara-bangsa.

Berita Lainnya
×
tekid