sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Polemik mata pelajaran sejarah dan mendesaknya rekonstruksi

Draf penyederhanaan kurikulum bocor. Sejarah disebut hanya jadi mata pelajaran pilihan di SMA dan dihapus di SMK. Seberapa penting?

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Senin, 21 Sep 2020 16:16 WIB
Polemik mata pelajaran sejarah dan mendesaknya rekonstruksi

Sebuah draf berjudul Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional yang dikeluarkan Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi perbincangan hangat dalam diskusi virtual bertajuk “Matinya Sejarah: Kritik terhadap Rancangan Kurikulum 2020”, yang diadakan Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada Kamis (17/9).

Di dalam draf itu disebutkan, mata pelajaran sejarah hanya menjadi bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di kelas X dan mata pelajaran pilihan di kelas XI dan XII. Sedangkan di SMK, dinyatakan tak ada mata pelajaran sejarah. Hal ini kemudian menjadi polemik.

Iman Zanatul Haeri, guru sejarah di Madrasah Aliyah Al-Tsaqafah, Jakarta Selatan, yang menjadi salah seorang peserta diskusi mengaku geram melihat struktur kurikulum yang ada di dalam draf tersebut. Sebab, katanya, mata pelajaran sejarah awalnya wajib di kurikulum 2013 dan berstatus peminatan untuk jurusan IPS.

“Dalam draf itu yang wajib jadi pilihan, yang peminatan menjadi hilang,” kata dia saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (18/9).

Herry Anggoro Djatmiko, guru sejarah di Madrasah Aliyah Subhanah, Batang, Jawa Tengah menilai, bila sejarah dijadikan mata pelajaran pilihan di SMA, maka membuat siswa lebih cenderung memilih belajar sejarah dari media sosial, yang sulit dibuktikan kebenarannya. Sebab, interaksi dengan guru di sekolah semakin sedikit.

"Mereka akan lebih mudah menerima informasi yang banyak di media sosial, tanpa mendapatkan gambaran lain dari para guru," ujar Herry saat dihubungi, Jumat (18/9).

Herry juga mengaku belum optimal memberikan materi yang komprehensif kepada siswanya, meski dalam kurikulum 2013 memberi jatah empat jam untuk sejarah peminatan dan tiga jam untuk sejarah wajib.

Sementara, Iman mengungkapkan, akan ada akibat buruk bila siswa kurang mendapat pelajaran sejarah di sekolah. Siswa, kata dia, tak akan mendapat pengalaman dan pelajaran dari cerminan masa lalu.

Sponsored

Lebih jauh, Iman berpandangan, jika sejarah menjadi mata pelajaran pilihan di jenjang menengah atas, maka berdampak pula terhadap pendapatan guru. Terutama yang statusnya masih honorer, yang dibayar per jam mengajar.

"Kalau jam mengajarnya enggak ada, ya enggak ada pemasukan. Untuk guru PNS khawatir sertifikasi sulit turun. Standar untuk sertifikasi kan harus mengajar 24 jam dalam seminggu," ucapnya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menyampaikan paparan dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/1/2020). Foto Antara/Dhemas Reviyanto.

Kronologi dan bantahan Kemendikbud

Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Sumardiansyah Perdana Kusuma, yang terlibat dalam tim penyusun capaian pembelajaran sejarah, penyederhanaan kurikulum menyebut, sejak awal ada kejanggalan dalam proses penyederhanaan kurikulum. Sebab, struktur kurikulum tak pernah dibicarakan kepada semua tim penyederhanaan kurikulum. Namun, tiba-tiba keluar opsi sejarah menjadi mata pelajaran pilihan di SMA dan dihapus di SMK.

"Jujur kami kecolongan," ujarnya saat dihubungi, Sabtu (19/9).

Menurut dia, awalnya rencana penyederhanaan kurikulum dimulai sejak Februari 2020 untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Dari informasi yang diterima Sumardiansyah, Maret atau April 2020 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim akan meluncurkan penyederhanaan kurikulum secara bertahap.

Namun, karena pandemi, pembahasan penyederhanaan kurikulum sempat terhenti. Selain itu, Nadiem juga meminta semua tim fokus terlebih dahulu untuk penyederhanaan kompetensi dasar karena pembelajaran jarak jauh menuntut ada perampingan.

"Setelah penyederhanaan KD (kompetensi dasar) kami rapat-rapat. Sempat tahu sih kita menteri bakal me-launching penyederhanaan kurikulum di ajaran baru Maret 2021," katanya.

Ia sempat meminta gambaran struktur kurikulum yang bakal diluncurkan itu untuk mencocokan jam belajar. Akan tetapi, tak pernah diberikan pihak Kemendikbud. Akhirnya, sebuah draf penyederhanaan kurikulum berlabel rahasia itu bocor, dengan sejarah di SMA sebagai mata pelajaran pilihan dan SMK bakal dihapus.

"Kami bisa mengatakan draf yang muncul kemarin beredar itu memang masuknya untuk eselon 1 dan 2," katanya.

Ia pun sempat mengkonfirmasi soal kebenaran draf itu ke pihak Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud. Mereka membenarkan rencana mengalihkan sejarah sebagai mata pelajaran pilihan.

"Saya tanya ini kapan dikajinya, kok tiba-tiba sudah beredar. Saya tanya ke mereka, tapi saya tidak mendapatkan jawaban komprehensif," ujar dia.

“Kami tahunya sejarah itu tetap ada di kelas X, XI, dan XII. Naskah capain pembelajaran yang kami susun juga skenarionya untuk kelas X, XI, dan XII.”

Seorang pengunjung tengah melihat koleksi Museum Sejarah Jakarta, Jumat (8/2/2019). Alinea.id/Annisa Saumi.

Sumardiansyah menilai, struktur kurikulum yang dibentuk di dalam draf penyederhanaan kurikulum sangat terburu-buru dan terkesan dikejar target. Sejak menjadi anggota dari tim penyusunan capaian pembelajaran sejarah, yang menjadi bagian perumus penyederhanaan kurikulum, ia tak pernah mendengar soal kabar sejarah bakal dijadikan mata pelajaran pilihan, apalagi dihapus.

"Meski itu wewenang pejabat eselon 1 dan 2, kami belum pernah masuk ke pembahasan itu," ujarnya.

Setidaknya, ia mengatakan, ada tiga poin yang membuatnya keberatan atas isi draf struktur kurikulum yang beredar. Pertama, mata pelajaran sejarah yang semula berstatus wajib dikurikulum 2013 dialihkan menjadi pilihan.

Kedua, digabungnya sejarah dalam rumpun ilmu sosial alias IPS. Hal ini, kata dia, membuat pembelajaran sejarah tidak optimal karena harus berbagi waktu dengan ilmu sosial lainnya. Ketiga, menghilangkan mata pelajaran sejarah dari SMK. Padahal, menurut Sumardiansyah, siswa SMK butuh bekal sejarah agar tidak dieksploitasi industri ketika masuk dunia kerja.

Namun, rumor menjadikan mata pelajaran sejarah sebagai pilihan di SMA dan penghapusan di SMK itu dibantah Kemendikbud. Menurut Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud Evy Mulyani, pihaknya tak akan menghapus mata pelajaran sejarah dari kurikulum pendidikan.

“Tidak ada perubahan apa pun terkait mata pelajaran sejarah,” katanya saat dihubungi, Minggu (20/9).

Melalui kanal YouTube Kemendikbud, yang diunggah pada 20 September 2020, Mendikbud) Nadiem pun menampik isu itu. Ia menegaskan, tak ada sama sekali kebijakan atau rencana menghapus mata pelajaran sejarah dalam kurikulum nasional.

“Isu ini keluar karena ada presentasi internal yang keluar ke masyarakat dengan salah satu permutasi penyederhanaan kurikulum,” kata Nadiem.

Ia melanjutkan, terdapat puluhan versi draf penyederhanaan kurikulum yang masih harus melewati tahapan focus group discussion (FGC), termasuk tahapan uji publik yang belum tentu bisa mencapai final. Ia pun menegaskan, penyederhanaan kurikulum tak akan dilakukan hingga tahun 2022.

Ketika dikonfirmasi mengenai rencana menjadikan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran pilihan di jenjang pendidikan menengah atas, Evy berkelit.

“Semua sama dengan apa yang sudah berjalan selama ini,” tuturnya.

Meski Nadiem sudah membantah penghapusan mata pelajaran sejarah, tetapi wacana ini terlanjur menjadi bola liar, terkait apakah ke depan mata pelajaran ini menjadi sekadar pilihan di SMA atau hilang sama sekali di SMK.

Rekonstruksi sejarah lebih mendesak

Koleksi patung para perumus teks proklamasi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Jumat (8/2/2019). Alinea.id/Annisa Saumi.

Menyikapi hal tersebut, Ketua Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Humaidi menolak keras bila Kemendikbud ingin menjadikan sejarah sebagai mata pelajaran pilihan di SMA. Alasannya, membuat siswa tak utuh dalam memahami sejarah Indonesia.

"Ketika sejarah yang sebenarnya ruh dari fundamen penting ini dilupakan, hanya dijadikan suatu pilihan, dengan demikian kita tidak punya cara bagaimana menjadikan anak didik itu sadar akan sejarah bangsanya sendiri," ujarnya saat dihubungi, Sabtu (19/9).

Bila hanya dijadikan pilihan di SMA, ia khawatir banyak siswa yang tak punya nalar kritis dalam menyikapi narasi sejarah. Akibatnya, akan mudah terjebak dalam narasi sejarah yang ditabur “bumbu” di media sosial, seperti narasi dalam film “Jejak Khilafah di Nusantara”.

Humaidi memandang, narasi sejarah dalam film itu bisa menyesatkan siswa jika tak dibekali fakta sejarah yang proporsional. Sehingga, Humaidi menilai penting mata pelajaran sejarah dijadikan pelajaran wajib di SMA.

"Ketika hanya dijadikan pilihan, lalu guru sejarah tidak diberikan porsi untuk menjelaskan bagaimana kondisi yang sebenarnya, ini berbahaya bagi bangunan kebangsaan kita," tuturnya.

Ia pun menilai, menghapus mata pelajaran sejarah dari SMK merupakan sikap yang kurang arif. Sebab, meski dipersiapkan untuk terjun ke dunia kerja, siswa SMK berhak dibekali ilmu sejarah agar mereka punya kesadaran peran dan fungsi kelas sosial. Humaidi mendorong pemerintah agar tak hanya melihat sejarah sebagai mata pelajaran formalitas belaka, tetapi dijadikan cermin untuk menghadapi tantangan di masa datang.

Sementara itu, pengamat pendidikan dari Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan Andreas Tambah mendukung kebijakan Kemendikbud jika ingin menjadikan mata pelajaran sejarah sebagai pilihan di SMA.

"Karena ini sebuah langkah untuk mengurangi beban peserta didik di dalam menghadapi mata pelajaran. Materi pelajaran kita itu terlampau banyak," katanya ketika dihubungi, Jumat (18/9).

Ia yakin, pemerintah tak ceroboh dalam membuat kebijakan. Andreas pun paham, rencana ini bakal membuat guru-guru sejarah gelisah. Namun, ia melihat, dialihkannya mata pelajaran sejarah menjadi pilihan di SMA, tak serta merta diikuti dengan pengurangan guru sejarah.

"Dulu ada PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kebudayaan Jakarta) yang dialihkan. Tapi kan guru-gurunya tetap masih terpakai. Masih juga mendapat sertifikasi," ujarnya.

Menurut Andreas, ada hal yang lebih mendesak dari sekadar berdebat terkait porsi mata pelajaran sejarah di jenjang pendidikan menengah atas, yakni perihal rekonstruksi sejarah Indonesia. Selama ini, kata dia, sejarah masih belum berimbang untuk dipelajari ke peserta didik.

"Sejarah kita banyak yang sumbernya enggak jelas. Sejarah kita perlu dibenahi," ucapnya.

Andreas melihat pula narasi sejarah yang penuh kepentingan rezim. Sehingga tak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Ia mencontohkan peristiwa G30S.

"Kan korbannya dan saksi hidupnya masih ada yang hidup. Ini dibetulkan dulu supaya jangan menyimpang. Sejarah mengenai G30S itu hanya satu sisi. Dari sisi yang lain belum diungkap," ujarnya.

Ia mendorong pemerintah untuk merekonstruksi sejarah yang jujur dan proporsional agar tak menjadi beban yang berlarut-larut. Jika tidak begitu, ia khawatir sejarah yang salah dan terus menerus diajarkan bisa menimbulkan kesalahan yang berkelanjutan.

Andreas menilai, bila materi sejarah sudah berimbang, masyarakat bisa tanpa beban mempelajari sejarah. Bahkan, tak perlu lewat bangku sekolah formal.

"Cari sejarah yang benar-benar paling mendekati kebenaran, seimbang, dan proporsional dari berbagai pihak. Tidak ada pihak yang dirugikan dan yang diuntungkan," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid