sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Polemik ragam kebijakan Kemendikbud di masa pagebluk

Kemendikbud menerbitkan sejumlah kebijakan di masa pandemi Covid-19. Apakah efektif?

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Jumat, 14 Agst 2020 14:04 WIB
Polemik ragam kebijakan Kemendikbud di masa pagebluk

Fajarullah harus membagi waktunya antara bekerja dan menemani anaknya yang duduk di bangku kelas satu sekolah dasar selama pembelajaran jarak jauh, sejak pertengahan Maret 2020. Warga Tangerang, Banten berusia 32 tahun itu sehari-hari mencari nafkah sebagai kuli serabutan dan budi daya ikan lele.

“Istri saya juga sering kewalahan,” katanya saat berbincang dengan reporter Alinea.id di Tangerang, Banten, Selasa (11/8).

Ia menyimpulkan, kebijakan belajar dari rumah dengan sistem daring tak efektif. Belum lagi, setiap bulan, Fajarullah harus mengeluarkan uang antara Rp100.000 hingga Rp150.000 untuk kebutuhan kuota internet.

Meski begitu, ia mengaku tetap mendukung kebijakan pemerintah karena pertimbangan keamanan anaknya agar tak tertular SARS-CoV-2 penyebab Coronavirus disease 2019 (Covid-19). “Menurut saya kebijakan itu bagus untuk anak, tapi enggak buat orang tua,” ujarnya.

Aneka kebijakan Kemendikbud

Pembelajaran jarak jauh merupakan salah satu kebijakan yang diambil Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di tengah ancaman Covid-19. Selain itu, ada kebijakan lain di masa pagebluk yang menjadi sorotan, seperti diizinkannya belajar tatap muka di zona kuning dan hijau, kurikulum darurat, dan bantuan operasional sekolah (BOS).

Izin belajar tatap muka di zona kuning dan hijau merupakan hasil dari penyesuaian surat keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Agama (Menag), Menteri Kesehatan (Menkes), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19.

Dalam kanal Youtube Kemendikbud yang diunggah pada 8 Agustus 2020, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menjelaskan, sekolah yang menerapkan belajar tatap muka diharuskan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.

Sponsored

“Masing-masing rombe (rombongan belajar) hanya diperbolehkan maksimal 50% dari kapasitas. Berarti harus melakukan rotasi shifting semua sekolah ini, dan juga tidak ada lagi aktivitas kantin, berkumpul, ekstrakulikuler yang akan ada risiko interaksi antara masing-masing rombe,” kata Nadiem.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan Program dan Kebijakan Pendidikan Tinggi bertajuk Merdeka Belajar: Kampus Belajar di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (24/1/2020). Foto Antara/Aprillio Akbar.

Menurut Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ainun Na’im, selain persetujuan komite sekolah dan wali murid, sekolah di zona kuning dan hijau baru bisa dibuka atas persetujuan dari pemerintah daerah.

“Namun, hal ini bukan merupakan kewajiban atau paksaan, melainkan pilihan,” katanya dalam taklimat secara daring, Senin (10/8).

Ainun mengidentifikasi, dalam kebijakan itu, 43% siswa dan guru yang ada di zona kuning dan hijau bisa melakukan tatap muka. Sedangkan 57% masih ada di zona merah dan oranye.

Sementara itu, juru bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyebut, jika sekolah ada yang teridentifikasi tak aman atau risiko daerah menjadi tinggi, pemerintah daerah wajib menutup kembali sekolah itu.

“Proses tersebut harus dilakukan secara bertahap dengan evaluasi yang baik,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (11/8).

Terkait kurikulum darurat, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno menuturkan, kebijakan tersebut sejalan dengan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.

Menurut dia, guru tak diwajibkan menuntaskan kurikulum. Sekolah pun memiliki tiga opsi, yakni tetap mengacu pada kurikulum nasional, menggunakan kurikulum darurat, atau melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. Ia mengatakan, sudah ada sekolah yang membuat kurikulum mandiri berdasarkan kebutuhan dan hanya mengambil materi yang esensial.

Di samping itu, Totok menjelaskan, Kemendikbud juga membuat materi ajar dalam bentuk modul, yang lebih mudah dipahami dan berbasis kegiatan. Ia menyebut, modul dibuat usai survei terhadap peserta didik yang kesulitan belajar mandiri melalui buku teks. Modul itu juga dipersiapkan untuk guru dan bisa dimanfaatkan orang tua murid. Harapannya, melalui modul, aktivitas belajar dapat disesuaikan dengan minat siswa.

“Jadi harapannya seperti itu, tapi kalau mau seperti modul itu sebagai metode belajar berbasis aktivitas boleh-boleh saja. Kalau ingin mengembangkan sendiri boleh,” ucapnya saat taklimat dengan wartawan secara daring, Senin (10/8).

Perihal BOS afirmasi dan BOS kinerja, Kemendikbud memutuskan juga bisa dimanfaatkan sekolah swasta. BOS difokuskan untuk sekolah yang paling terdampak pandemi.

Total anggaran BOS sebesar Rp3,2 triliun. Anggaran sebesar itu disiapkan untuk 56.115 sekolah di 32.321 desa/kelurahan. Selain untuk membayar guru honorer, dana BOS pun bisa dimanfaatkan untuk mendukung pembelajaran jarak jauh, seperti membeli paket data.

Pelajar mengerjakan tugas sekolah yang diberikan guru secara daring di rumahnya, Muntung, Candiroto, Temanggung, Jateng, Selasa (7/4/2020). Foto Antara/Anis Efizudin.

Mengatasi segala masalah

Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, pembelajaran jarak jauh yang sudah berlangsung lebih dari empat bulan harus dievaluasi. Hetifah mengakui banyak keluhan, seperti akses internet, keterbatasan gawai, dan mahalnya biaya kuota internet.

“Terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan, negara belum berhasil memberikan solusi bagi masalah yang telah muncul sejak awal PJJ (pembelajaran jarak jauh) ini dilaksanakan,” katanya saat dihubungi, Senin (10/8).

Hetifah mengatakan, dari paparan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Juli lalu, terdapat 12.548 desa/kelurahan yang belum terjangkau internet 4G. Sebanyak 9.113 desa/kelurahan ada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

“Dari semua wilayah Indonesia, hanya 49,33% yang telah mendapatkan jaringan 4G, 44,35% mendapat jaringan 3G, dan 68,54% yang telah mendapat jaringan 2G,” tuturnya.

“Artinya, terdapat 31,46% luas wilayah Indonesia yang belum mendapatkan akses internet sama sekali.”

Perihal kebutuhan gawai, Hetifah menyarankan pemerintah melakukan pengadaan ponsel sederhana untuk siswa dan guru yang membutuhkan. Hetifah pun mengungkapkan, terdapat evaluasi terkait metode belajar melalui TVRI.

Pertama, materi tayangan yang belum sesuai kurikulum. Kedua, singkatnya waktu penayangan dan cakupan materi. Ketiga, tak tersedia tayangan ulang. Terakhir, terbatasnya materi yang hanya disiapkan untuk tiga bulan.

Sementara itu, pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengingatkan, dalih izin belajar tatap muka berdasarkan zona penyebaran Covid-19 tak bisa digunakan. Ia mengatakan, tak ada jaminan sebuah wilayah memiliki risiko rendah dari Covid-19.

“Karena ada pergerakan orang,” ujarnya saat dihubungi, Senin (10/8).

Jika dipaksakan ingin membuka sekolah, Pandu menyarankan pemerintah harus benar-benar siap dan dapat menerima konsekuensinya. Pandu mengatakan, sebaiknya pemerintah tak menggunakan sudut pandang wilayah yang dianggap risiko rendah, tetapi menganggap semua wilayah zona merah.

Bila semua dianggap zona merah, kata Pandu, pemangku kebijakan akan sangat hati-hati dalam mengizinkan sekolah kembali menerapkan belajar tatap muka.

“Bagaimana membuka proses belajar mengajar di daerah merah? Apa yang harus dilakukan? Kalau enggak boleh, ya sudah enggak boleh semua,” ujarnya.

Petugas mengukur suhu tubuh murid saat memasuki sekolah di tengah pandemi coronavirus baru (Covid-19). Foto Antara/Fauzan.

Menurutnya, pemerintah harus belajar dari negara lain sebelum mengizinkan pembukaan sekolah. Korea Selatan, Israel, dan Prancis, tutur Pandu merupakan negara-negara yang akhirnya menutup kembali sekolah karena terjadi penularan virus pada siswa dan guru.

“Banyak negara yang sudah benar-benar kasusnya mendekati zero. Dan itu kan hijau, tidak ada garansi. Makanya belajarlah dari negara itu. Itu bukan zona. Artinya, kita perlu kewaspadaan tinggi,” katanya.

Kalau masih ingin tetap diizinkan belajar mengajar tatap muka, Pandu menyarankan, pemerintah menggunakan metode kombinasi tatap muka dan jarak jauh. Ia menuturkan, tatap muka bisa dilakukan hanya dua kali dalam seminggu dengan durasi paling lama tiga jam.

Dihubungi terpisah, pengamat pendidikan Budi Trikorayanto mengatakan, wajar jika pembelajaran jarak jauh banyak evaluasi karena diterapkan mendadak. Belajar di rumah, sebut Budi, juga terkesan membosankan karena menggunakan metode real time melalui aplikasi video. Jika cara yang digunakan memanfaatkan rekaman video dengan guru digital, Budi mengatakan, bisa lebih mengasyikan dan menggugah eksplorasi peserta didik.

“Dan orang tua bisa ikut. Misalnya orang tua bisanya pagi atau malam, dia bisa mendampingi anaknya,” ucapnya saat dihubungi, Senin (10/8).

Melalui model pembelajaran seperti itu, guru pun bisa lebih cepat mengunggah atau memperbarui materi pelajaran. Guru juga tak perlu repot ceramah setiap hari di depan laptop. Metode tersebut, ungkap Budi, bisa pula menghemat paket data.

Terlepas ada tidaknya pandemi, menurut Budi, saat ini memang sudah waktunya Indonesia menerapkan pembelajaran jarak jauh karena sudah masuk edukasi 4.0 yang berbasis teknologi.

Selain metode yang ada perlu disempurnakan, menurutnya, pihak sekolah, guru, murid, dan orang tua harus dipersiapkan bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi juga mental. Guru yang terbiasa mengajar tatap muka, perlu mendapatkan pelatihan.

“Mereka biasa ngajar, tapi belajar susah. Jadi, menerima satu perubahan baru, itu yang paling susah menerima, ya guru,” ujarnya.

Budi menyebut, gawai bukan halangan dalam penerapan pembelajaran jarak jauh. Menurutnya, hal itu bisa diatasi dengan memanfaatkan fasilitas pembelajaran yang disiarkan TVRI, radio, bahkan materi dapat dikirim melalui jasa ekspedisi.

Terkait dana BOS yang dapat dimanfaatkan untuk pembelian paket data, Budi mengatakan, hal itu bisa berimbas pada kebutuhan lainnya. “Bukan tak mungkin guru honorer yang menuai dampaknya,” ujar dia.

Infografik kebijakan Kemendikbud. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Ia mencontohkan, bila di satu sekolah ada 100 murid yang membutuhkan Rp150.000 per bulan untuk paket data, maka dana BOS yang dikucurkan mencapai Rp15 juta per bulan. Sedangkan beberapa sekolah ada yang memiliki siswa 100 lebih, bahkan ribuan. Berpijak dari situ, Budi menyarankan pemerintah mengalokasikan dana di luar BOS untuk menunjang pembelajaran jarak jauh.

“Pemerintah bisa juga menyediakan voucher atau kartu yang khusus untuk paket data belajar yang tidak bisa digunakan, misalnya untuk main game,” katanya.

Mengenai kinerja Mendikbud Nadiem, Budi berpendapat, ia terlalu akomodatif. Menurut dia, kebijakan pendidikan tak bisa dipukul rata. Sebab, butuh kebijakan berbeda, tergantung kondisi wilayah.

“Standar nasional tak layak untuk digunakan,” ucapnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid