sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Polemik syarat pencalonan anggota DPD, KPU diminta patuhi MK

"Dengan mengikuti putusan MK, maka KPU mematuhi Undang-Undang Dasar."

Rakhmad Hidayatulloh Permana
Rakhmad Hidayatulloh Permana Minggu, 18 Nov 2018 17:40 WIB
Polemik syarat pencalonan anggota DPD, KPU diminta patuhi MK

Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta untuk tetap mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), terkait syarat pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 

MK mengabulkan permohonan permohonan terhadap pengujian pasal 128 huruf I undang-undang Pemilu, sehingga pengurus partai politik (parpol) dilarang menjadi anggota DPD. Namun kemudian, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan uji materi Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018, yang memuat larangan pengurut parpol menjadi calon anggota DPD. 

Gugatan diajukan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO) yang juga kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga memerintah KPU agar mencabut surat keputusan (SK) yang menyatakan OSO tidak memenuhi syarat sebagai caleg DPD.

Peneliti Pusat Studi Konstituti (PUSaKO), Feri Amsari, menyebut polemik ini muncul karena dipicu ketidakpuasan sejumlah partai politik, yang ingin menaruh kadernya di semua lembaga negara.

"Permasalahan yang muncul hari ini dimulai dari ketidakpuasaan partai politik. Partai politik ingin semua oleh calon-calon dari mereka," kata dia dalam acara diskusi bertajuk "Sikap KPU dan Potensi Gangguan Pemilu" di Upnormal Coffee, Jakarta Pusat, Minggu (18/11). 

Menurutnya, masalah ini tak perlu melebar, karena keputusan yang paling konstitusional adalah putusan MK. Sehingga, dia menyarankan agar KPU mematuhi putusan MK. 

"Dengan mengikuti putusan MK, maka KPU mematuhi Undang-Undang Dasar," imbuhnya.

Hal senada juga disampaikan oleh peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bivitri Susanti. Menurutnya, putusan MA dalam polemik syarat calon DPD ini sudah keliru.

Sponsored

"Menurut pandangan kami, MA itu sudah keliru dalam menafsirkan pandangan MK. Karena putusan MK ini sudah jelas sekali pertimbangan hukumnya. Karena MK sudah memprediksi ini akan jadi polemik, dia sudah bilang di poin 3.15 ini berlaku dari sekarang," kata dia. 

Sehingga, lanjut dia, untuk calon anggota DPD yang memenuhi syarat, diberi kesempatan untuk mengundurkan diri dari kepengurusan partai. Namun menurutnya, poin ini tidak digubris oleh OSO. 

"Hanya pak OSO yang kelihatannya tidak setuju. Sehingga memang sengaja tidak mengikuti aturan itu dan malah mengajukan tiga perkara. Satu ke Bawaslu, satu MA judicial review, satu PTUN," kata dia. 

Bivitri juga menduga bahwa ini merupakan siasat OSO selaku ketua umum Hanura, agar bisa lolos ke Senayan. Sebab, kata dia, berbagai survei menunjukkan bahwa partai Hanura diprediksi tak lolos ambang batas parlemen. 

Namun menurutnya ini tak boleh dibiarkan. Bivitri mengatakan, hal ini akan beresiko fatal bagi sistem hukum ketatanegaraan Indonesia. 

"Resikonya sih lebih kepada sistem ketatanegaraan kita. Jadi dengan begitu, ke depannya bisa jadi MA akan selalu malah menginterpretasikan putusan MK, bahkan bisa secara keliru. MK jadi cenderung dipinggirkan," ungkapnya.

Berita Lainnya
×
tekid