sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Polisi terindikasi langgar HAM tangani aksi 22 Mei

"Ada indikasi pelanggaran HAM dengan korban dari berbagai kalangan."

Armidis
Armidis Minggu, 26 Mei 2019 16:35 WIB
Polisi terindikasi langgar HAM tangani aksi 22 Mei

Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatakan, ada indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam tindakan aparat keamanan, terhadap massa yang berunjuk rasa di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurutnya, ada berbagai bentuk kekerasan yang terjadi selama penanganan demonstrasi pada 21-24 Mei 2019 di Jakarta.

"Ada indikasi pelanggaran HAM dengan korban dari berbagai kalangan. Mulai dari tim medis, jurnalis, penduduk setempat, peserta aksi, dari berbagai usia," kata Asfinawati di gedung YLBHI Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (26/5).

Asfin menyayangkan pendekatan represif yang digunakan aparat kepolisian dalam menangani aksi demonstrasi tersebut. Padahal, kata dia, prinsip praduga tak bersalah harus menjadi dasar bagi kepolisian saat melaksanakan tugas pengamanan.

Institusi penegak hukum, tambah Asfin, menjalankan tugas sesuai tupoksinya masing-masing. Polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, peradilan sebagai pemutus, serta rumah tahanan sebagai penghukum. Dalam praktiknya, Asfin menilai polisi kerap memegang dua fungsi sekaligus sebagai pengaman atau penyidik dan sekaligus menjadi penghukum. 

"Tidak boleh dalam satu institusi menjalankan dua fungsi. Misalnya penyidik sekaligus sebagai penghukum," kata Asfin.

Untuk diketahui, terjadi aksi demonstrasi dalam skala besar yang berpusat di depan kantor Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu). Demonstrasi yang  terjadi sejak 21 sampai 24 Mei 2018, merupakan  bentuk penolakan terhadap hasil pemilu yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum.

Empat korban diduga ditembak

Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, jumlah korban meninggal dalam aksi 21-24 mei sebanyak delapan orang dan 737 korban mengalami luka-luka. Selain itu, ada korban anak hilang yang ditampung oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di rumah aman Kementerian Sosial sebanyak 52 anak.

Sponsored

Data yang dikeluarkan Dinas Kesehatan Jakarta sama dengan laporan sementara sejumlah ormas sipil terdiri dari YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty Internasional, LBH Pers, LBH Jakarta, dan Lokataru Foundation.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andrayani mengatakan, ada empat korban yang meninggal lantaran ditembak dalam aksi demonstrasi tersebut. Adapun empat korban meninggal lainnya belum terverifikasi penyebabnya.

"Data korban ada delapan korban meninggal. Empat sudah terverifikasi penyebab kematiannya, selebihnya belum terverifikasi penyebab kematian tersebut," kata dia di tempat yang sama.

Sulitnya akses

Kepala advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora mengatakan, pegiat HAM mengalami kesulitan dalam mengakses data-data korban. Pihak rumah sakit sangat tertutup untuk memberikan informasi mengenai korban yang tengah ditangani.

Padahal data itu sangat diperlukan baik dalam rangka melakukan advokasi hukum, maupun bagi keluarga korban. Masyarakat, sambung Nelson, juga mengalami kesulitan untuk memastikan apakah keluarganya menjadi korban. 

"Waktu itu LBH Jakarta menerjunkan tim kecil dari tanggal 22, datang ke Tanah Abang. Kita menemukan fakta bahwa rumah sakit tertutup akses informasi siapa yang dirawat dan kemudian menyulitkan banyak orang, kecuali RS Tarakan," kata Nelson.

Selain itu, Nelson menambahkan, ada banyak kekerasan dengan variasi beragam yang terjadi sepanjang aksi demonstrasi di depan Bawaslu. Dia menyebut, ada banyak video kekerasan di media sosial yang membuktikan hal tersebut.

"Perlakuan tidak manusiawi bagi orang yang sudah ditangkap. Minimal ia dipentung, ada juga dipukul, ditendang. Itu tidak boleh dilakukan. Orang yang sudah menyerah tidak boleh dipukul lagi," kata dia. 

Berita Lainnya
×
tekid