sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Polisi virtual, perlukah polisi mengurusi medsos?

Polisi virtual bakal mengutamakan mediasi ketimbang pendekatan hukum pidana dalam menyelesaikan kasus.

Ayu mumpuni Marselinus Gual
Ayu mumpuni | Marselinus Gual Sabtu, 27 Feb 2021 12:49 WIB
Polisi virtual, perlukah polisi mengurusi medsos?

Polisi virtual bentukan Polri mulai resmi beroperasi, Ahad (21/2) lalu. Dalam operasi perdananya, ada belasan akun media sosial "bermasalah" jadi sasaran. Kepada belasan akun itu, kepolisian mengirimkan teguran digital. 

"Guna menghindari proses hukum lebih lanjut diimbau untuk segera melakukan koreksi pada konten media sosial setelah pesan ini Anda terima. Salam presisi," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono saat membacakan salah satu isi surat teguran dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (24/2) lalu.

Polisi virtual diluncurkan Polri sebagai upaya mencegah maraknya laporan dugaan pelanggaran hukum berbasis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di dunia siber Indonesia. 

Ide pembentukan polisi virtual dikemukakan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat memimpin rapat pimpinan Polri, pekan lalu. Tujuannya untuk mengurangi kriminalisasi akibat pasal-pasal karet dalam UU ITE sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Sebagai aturan pelaksana, Kapolri telah mengeluarkan Surat Edaran nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif tertanggal 19 Februari 2021.

SE tersebut berisi 11 poin pedoman yang perlu dipatuhi anggota Polri dalam menangani kasus-kasus UU ITE. Salah satunya ialah meminta penyidik mengutamakan mediasi dan menjadikan pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium) dalam kasus-kasus dugaan pelanggaran di jagat maya.

Polisi virtual, kata Argo, sudah mulai memantau Facebook, Twitter, dan Instagram. Tercatat sudah ada 12 akun medsos yang diperingatkan melalui pesan langsung (direct message) karena konten yang mereka buat potensial diperkarakan. 

"Jadi, biar masyarakat paham yang ditulis melanggar pidana atau tidak. Ada lagi contoh (konten), 'Jabatan dua periode, berhasil menguras anggaran.' Sama. Kita kirim pendapat ahli ada, peringatan ada," kata Argo. 

Sponsored

Meskipun pedoman kerja yang dikeluarkan Kapolri itu tergolong baru, tidak ada pelatihan khusus untuk polisi virtual. Yang menjadi polisi virtual, kata Argo, ialah personel unit siber Bareskrim yang selama ini bertugas mengawasi jagat maya. 

"Enggak (menambah personel). Kan sudah ada dan cukup, ya. Mereka kan juga sudah terbiasa melakukan penindakan siber. Jadi, sudah memiliki kemampuan, ya," imbuh Argo. 

Dalam menjalankan tugasnya, Argo menjelaskan, personel polisi virtual tidak bisa bertindak sembarangan. Saat mengirimkan notifikasi dugaan pelanggaran, misalnya, kepolisian terlebih dahulu berkonsultasi dengan pakar hukum atau ahli bahasa. 

"Kalau ngeyel gimana? Kita kirim lagi pemberitahuan. Kalau tidak mengindahkan apa yang kita sampaikan, misal, yang dituju atau orang itu yang dirugikan bikin laporan, ya, kita lakukan mediasi. Kalau tidak bisa, kita proses. Semuanya ada tahapan," kata dia. 

Kadivhumas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono (kiri) saat memberikan keterangan kepada wartawan. /Foto Humas Mabes Polri.

Pro-kontra polisi virtual 

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengapresiasi langkah Polri membentuk polisi virtual. Dengan mengedepankan pendekatan preemtif dan preventif, ia berharap  angka kriminalisasi berbasis UU ITE bisa ditekan. 

"Dengan demikian, lewat edukasi, masyarakat akan menjadi paham dan menekan jumlah konflik serta pelaporan," kata Poengky saat dihubungi Alinea.id, Rabu (24/2).

Menurut Poengky, sebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial merupakan konsekuensi logis dari meningkatnya penggunaan media sosial di Tanah Air. 

Berdasarkan data Indonesian Digital Report (IDR) 2020, sebanyak 175,4 juta warga Indonesia tercatat menggunakan internet dari total populasi sebanyak 272,1 juta jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 160 juta jiwa merupakan pengguna media sosial aktif.

Menurut IDR 2020, rerata warga Indonesia mengakses internet selama sekitar 7 jam 59 menit per hari. Setengah dari waktu itu dihabiskan pengguna untuk berselancar di berbagai platform media sosial.

Sayangnya, menurut Poengy, peningkatan pengguna medsos itu justru tak diiringi kedewasaan saat berselancar di ruang maya. Di sisi lain, kebanyakan penyidik juga masih menjadikan hukum pidana sebagai alat utama dalam penegakan hukum. 

"Akibatnya, justru muncul banyak kasus saling lapor dengan tudingan penghinaan atau pencemaran nama baik. Banyaknya pengaduan tadi ditindaklanjuti dan tetap diproses sehingga memunculkan kritik kriminalisasi," kata Poengky.

Pendapat berbeda diutarakan peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto. Menurut dia, Polri gagal fokus seandainya mengoperasikan polisi virtual untuk mengatasi pelanggaran UU ITE di dunia maya.

"Karena humor, sarkasme, dan satire itu pun juga bisa dikatakan hoaks (jika mengacu pada UU ITE)," kata Bambang saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (24/2).

Bambang pesimistis Polri bakal benar-benar melibatkan pakar pidana, ahli bahasa, serta ahli informasi dan teknologi (IT) dalam menggarap kasus. Apalagi, proses penyidikan dalam kasus-kasus dugaan pelanggaran UU ITE kerap tidak transparan. 

"Makanya, daripada rancu dan ditafsir polisi sendiri, sebenarnya harus clear di UU ITE. Makanya, kalau menekankan itu, UU ITE harus clear dulu," katanya.

Meskipun sempat direvisi Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016, UU ITE kerap dianggap dipenuhi pasal karet. Isi pasal yang dipersoalkan semisal delik kesusilaan dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE dan delik ujaran kebencian dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE. 

Delik kesusilaan pernah digunakan untuk memidana Baiq Nuril Maknun, guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Baiq dilaporkan karena menyebarkan rekaman suara bosnya, Kepala SMAN 7 Mataram. Padahal, isi rekaman itu bernuansa pelecehan seksual terhadap Baiq oleh sang bos. 

Delik ujaran kebencian juga tercatat telah berulang kali digunakan untuk memidana para pengkritik pemerintah atau lembaga negara. Terbaru, penggebuk drum Superman is Dead (SID) Jerinx dilaporkan dan kini dibui lantaran menyebut Ikatan Dokter Indonesia sebagai "kacung WHO". 

Karena itu, ketimbang mengurusi medsos, Bambang meminta polisi fokus memberantas kejahatan-kejahatan di jagat maya. Ia mencontohkan kejahatan investasi bodong dengan skema ponzi yang hingga kini masih marak.

"Kenapa dibiarkan ngurus hal-hal yang tidak substansial? Ujaran-ujaran kebencian, hoaks, dan sebagainya kan relatif hanya sensasional saja," jelas Bambang.

Warga melewati mural (lukisan dinding) komik antihoaks di Kampung Hepi, Joho, Manahan, Solo, Jawa Tengah, Selasa (7/4).Foto Antara/Maulana Surya/foc.

Batasi kewenangan polisi virtual

Supaya tak malah menimbulkan persoalan, peneliti Setara Institute Halili Hasan meminta Polri mendeskripsikan tugas dan fungsi polisi virtual secara lebih terperinci. Ia khawatir kehadiran polisi virtual malah membatasi kebebasan bereskpresi di dunia maya.

"Kalau polisi virtual ini kemudian menyerempet juga urusan pembatasan atau restriksi atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, menurut saya, ini akan kontraproduktif dengan situasi demokrasi kita yang belakangan sudah mengalami regresi," ujar Halili kepada Alinea.id, Kamis (25/2).

Untuk meminimalisasi kriminalisasi, Halili meminta para personel polisi virtual ditingkatkan kapasitasnya supaya tidak mudah "diperdaya". Menurut dia, kasus-kasus dugaan pelanggaran terhadap UU ITE kerap lolos ke meja hijau karena polisi kurang bijak menyikapi laporan yang masuk.

"Tetapi, sekali lagi, polisi virtual itu harus dicegah dari perluasan mandat, otoritas, fungsi yang restriktif bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi juga," kata dia.

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo

Polisi virtual, lanjut Halili, juga harus dipastikan tidak digunakan kepentingan politik rezim penguasa, semisal diperintahkan membatasi narasi-narasi yang berkembang di media sosial atau memata-matai warganet tertentu. "Seharusnya ada pengaturan lebih tegas," kata dia.

Selain definisi yang tegas terkait tugas kepolisian di ruang maya, Halili mengatakan harus ada aturan yang jelas untuk memproses polisi virtual yang menyelewengkan wewenangnya, semisal menggarap kasus berbasis pesanan. "Perlu ada mekanisme punishment untuk ini," kata Halili. 

Di tengah maraknya hoaks dan ujaran kebencian di dunia maya, Halili mengatakan, kehadiran unit seperti polisi virtual adalah sebuah keniscayaan. Pasalnya, hoaks dan ujaran kebencian tak hanya jadi "racun" di dunia maya saja, namun juga merusak kohesi sosial di dunia nyata. 

"Intinya, demokrasi digital kita dalam kerangka pengaturan untuk mewujudkan tertib sosial, social order. Oleh karena itu, saya kira polisi virtual ini harus kita apresiasi, sepanjang dia berfungsi untuk melakukan pencegahan atas terjadinya begitu banyak potensi pidana melalui dunia maya," kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid