sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PP hadiah Rp200 juta bagi pelapor korupsi berpotensi timbulkan masalah

PP ini dinilai dapat menimbulkan kelompok masyarakat yang sengaja mencari keuntungan dengan melaporkan kasus korupsi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 13 Okt 2018 06:53 WIB
PP hadiah Rp200 juta bagi pelapor korupsi berpotensi timbulkan masalah

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018, yang mengatur pemberian kompensasi bagi masyarakat yang melaporkan kasus korupsi. Nominal Rp200 juta pun dipasang dalam PP tersebut, sebagai nilai maksimal yang dapat diterima pelapor kasus korupsi.

Hanya saja, kehadiran PP tersebut dipandang dapat memicu ketidakstabilan hukum di Indonesia. Menurut Sekjen PPP Arsul Sani, PP tersebut dapat memunculkan banyak kelompok masyarakat, yang menjadikan PP tersebut menjadi ladang mencari keuntungan.

"PP ini bisa melahirkan kelompok LSM yang bergerak di bidang korupsi, yang dasarnya tak jelas, tak seperti ICW lah. Kelompok ini nanti bisa memanfaatkan ini, ini harus lebih lanjut diatur," kata Arsul di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (12/10).

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin tersebut, juga mengatakan, PP tersebut belum menjamin keselamatan bagi masyarakat yang melaporkan kasus korupsi. Sebab laporan yang dibuat masyarakat, bisa saja justru mengancam keselamatan diri atau orang-orang dekatnya.

Arsul menjelaskan, saat ini UU yang ada baru mengakomodasi perlindungan bagi saksi dan korban, yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Karenanya ia menyarankan agar perlindungan keselamatan bagi para pelapor kasus korupsi, juga turut menjadi perhatian dengan payung hukum yang jelas.

Asrul menyarankan, sebaiknya pemerintah lebih fokus terhadap revisi UU Tipikor yang kini masih mengalami tarik ulur. Menurutnya UU itu lebih penting karena akan banyak mengatur pidana korupsi, termasuk tindak pidana korupsi di sektor swasta.

"Mending fokus kepada revisi UU Tipikor, karena apa, UU ini belum mengatur mengenai praktek korupsi di sektor swasta," pungkasnya.

Senada dengan Arsul, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pemberian kompensasi bagi para pelapor kasus korupsi dapat beresiko menimbulkan masalah baru. Terutama jika dalam pelaksanaannya, tidak dimbangi dengan integritas para penegak hukum dan juga budaya hukumnya.

Sponsored

Ia berpandangan, pemberlakuan aturan ini harus diiringi penguatan dalam sistem pengawasan. Ini dinilai penting untuk menghindari adanya pemufakatan jahat antara penegak hukum dan para pelapor, karena tergiur imbalan Rp200 juta tersebut.

"Jadi pengawas di masyarakat harus kuat. Sebenarnya kan korupsi terjadi karena lemahnya pengawasan, karena yang diawasi juga kadang terlibat dalam korupsi. Intinya ini membutuhkan pengawasan juga bagi penegak hukum, yang menentukan laporan itu diterima atau tidak perlu diawasi," katanya.

pp Nomor 43 Tahun 2018 diteken Presiden Joko Widodo dan diundangkan oleh Kementerian hukum dan HAM pada 18 September 2018 lalu. Aturan pemberian kompensasi Rp200 juta bagi pelapor kasus korupsi, tercantum dalam pasal 17 ayat 2.

"Besaran premi yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)."

Berita Lainnya
×
tekid