sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Presiden Jokowi didesak kembali bentuk TGPF Novel Baswedan

Tim gabungan pencari fakta untuk menyelidiki ulang kasus Novel Baswedan.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Jumat, 17 Jul 2020 11:45 WIB
Presiden Jokowi didesak kembali bentuk TGPF Novel Baswedan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) didesak segera kembali membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) guna menyelidiki ulang kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. TGPF dinilai penting untuk mengungkap siapa sebenarnya dalang di balik penyiraman terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK itu. 

"Presiden harus segera membentuk TGPF untuk menyelidiki ulang kasus Novel Baswedan," kata Tim Advokasi Novel Baswedan, dari ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (17/7).

Permintaann itu dilayangkan lantaran proses penanganan perkara yang menjerat dua aparat kepolisian, yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis, dinilai gagal untuk menegakkan keadilan.

"Penanganan perkara yang dilakukan oleh kepolisian terbukti gagal untuk mengungkap skenario dan aktor intelektual kejahatan ini," terangnya.

Kendati Polri gagal, dia menilai Presiden Jokowi harus bertanggungjawab atas penanganan perkara yang tidak memihak pada korban tindak pidana.

"Kami Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut pertanggungjawaban dari Presiden Joko Widodo selaku kepala negara, karena selama ini mendiamkan citra penegakan hukum dirusak oleh kelompok tertentu," ujar Kurnia.

Setidaknya, terdapat lima alasan proses penegakan keadilan tidak terlihat dalam perkara dua pelaku penyiram air keras Novel. Pertama, skenario penjatuhan hukuman mulai dari dakwaan hingga tuntutan dianggap sukses dijalankan.

"Skenario ini adalah tuntutan yang ringan untuk mengunci putusan hakim. Nyaris tidak ada putusan yang dijatuhkan terlalu jauh dari tuntutan, kalaupun lebih tinggi daripada tuntutan. Misalnya, tidak mungkin hakim berani menjatuhkan pidana 5 tahun penjara untuk terdakwa yang dituntut 1 tahun penjara," tutur Kurnia.

Sponsored

Menurut dia, putusan ringan dijatuhkan agar terdakwa tidak dipecat dari Polri dan menjadi whistle blower atau justice collaborator. "Skenario sempurna ini ditunjukkan oleh sikap terdakwa yang menerima dan tidak banding meski diputus lebih berat dari tuntutan penuntut umum," paparnya.

Kedua, dia menilai, putusan ringan dijatuhkan karena barang dan alat bukti yang dihadirkan di persidangan tidak memiliki keterkaitan serta kesesuaian dengan para terdakwa.

"Dengan demikian, putusan majelis hakim harus dikatakan bertentangan dengan Pasal 183 KUHAP, yang mengamanatkan bahwa hakim harus memiliki keyakinan dengan didasarkan dua alat bukti sebelum menjatuhkan sebuah putusan," ucap Kurnia.

Ketiga, proses persidangan dilaksanakan hanya untuk menguntungkan para terdakwa. Kesimpulan itu diyakini melihat dari dakwaan, proses unjuk bukti, tuntutan Jaksa, dan putusan terhadap terdakwa.

Keempat, putusan ringan dijatuhkan agar terdakwa tidak dipecat dari Polri dan pendampingan hukum oleh Divisi Hukum Polri, yang dinilai adanya konflik kepentingan berhasil dijalankan.

Kelima, proses persidangan dinilai sebagai potret penegakan hukum di Indonesia yang tidak pernah berpihak pada korban kejahatan. Terlebih, korban kejahatan dalam perkara ini adalah aparat penegak hukum di sektor pemberantasan korupsi.

"Maka dari itu, kami meyakini, masa yang akan datang para penegak hukum, khususnya Penyidik KPK, akan selalu dibayang-bayangi oleh teror yang pada faktanya tidak pernah diungkap tuntas oleh negara," tandas Kurnia.

Berita Lainnya
×
tekid