sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Proses, metode, dan substansi RUU Ciptaker dinilai bermasalah

Rapat pembahasan RUU ciptaker sering tertutup, akomodir pengusaha.

Fathor Rasi
Fathor Rasi Rabu, 07 Okt 2020 15:26 WIB
Proses, metode, dan substansi RUU Ciptaker dinilai bermasalah

Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) menilai Omnibus Law Rangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang baru disahkan DPR bersama Pemerintah cacat dan bermasalah.

"RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya. Pembahasan yang terus berlangsung selama pandemi dan dilakukan tanpa partisipasi publik yang maksimal, hanya semakin menunjukkan bagaimana tidak pedulinya DPR terhadap suara dan masukan publik," kata PUKAT UGM dalam rilisnya dikutip Rabu, (7/10).

Selain itu, proses pembentukan RUU Cipta Kerja berlangsung cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik. "DPR dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan RUU kontroversial ini di tengah kondisi masyarakat yang tengah berjuang di tengah pandemi Covid-19. Omnibus Law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil," bebernya.

Lembaga yang concern dalam isu korupsi ini juga telah mengkaji RUU Cipta Kerja dilihat dari kaca mata isu korupsi, pemerintahan, dan kaidah formil pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Empat catatan

PUKAT UGM kemudian menyampaikan sejumlah catatan terkait RUU tersebut, yaitu:

Pertama, RUU Ciptaker ini dinilai tidak memenuhi asas keterbukaan, sebagaimana diatur dalam pembentukan peraturan, mulai sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan.

"Sementara pada penyusunan RUU Cipta Kerja ini, perkembangan draft pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses publik. Selain itu, rapat-rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sering kali berlangsung tertutup," bebernya.

Sponsored

Pada sisi lain, proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja dinilai kental dengan partisipasi dan perlibatan pengusaha.

"Hal ini membuka celah masuknya kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, yakni pengusaha," terangnya.

Catatan berikutnya, RUU Cipta Kerja dianggap tidak mencerminkan simplifikasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.

"Pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dilatarbelakangi oleh realitas kondisi perundang-undangan saat ini. Regulasi yang tumpang tindih ditengarai mengakibatkan kinerja birokrasi yang tidak efisien dan berbeli-belit. Hal itu pula yang kemudian dianggap sebagai penyebab munculnya ruang-ruang korupsi," lanjutnya. 

PUKAT menilai, cita-cita simplifikasi dan harmonisasi peraturan kemudian dicoba untuk diwujudkan dengan RUU Cipta Kerja ini.

"RUU ini membutuhkan ratusan peraturan pelaksana. Jumlah itu belum termasuk dengan potensi kelahiran 'anak-anak' peraturan pelaksana di bawahnya. Justru peraturan-peraturan di bawah Undang-undang merupakan peraturan yang rawan untuk 'diselundupkan' oleh kepentingan karena minimnya kewajiban transparansi dan partisipasi publik dalam perumusannya," urainya.

Ketiga, RUU Cipta Kerja dinilai banyak menumpukkan kewenangan Pemerintah Pusat. Sebagai contoh, jelas PUKAT UGM, pengaturan kewenangan Pemerintah terkait persetujuan substansial semakin menandakan kekuasaan tertumpuk pada Pemerintah Pusat.

"Banyaknya pemberian kewenangan kepada Pemerintah Pusat di dalam Rancangan UU Cipta Kerja rentan terhadap potensi tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Apa yang terjadi di masa Orde Baru seharusnya cukup untuk menjadi pembelajaran bagi pembentuk undang-undang untuk menghindari pola pembagian kekuasaan yang demikian," paparnya.

Catatan keempat, terkait dengan potensi penyalahgunaan wewenang pada ketentuan diskresi RUU Cipta Kerja dengan menghapus persyaratan yang sebelumnya terdapat dalam UU Administrasi Pemerintahan, sehingga dinilai membuat lingkup diskresi menjadi sangat luas dan rentan terhadap penyalahgunaan. 

"Apalagi jika mencermati bahwa Indonesia belum memiliki pedoman yang jelas dalam menentukan batasan diskresi. Secara teori, diskresi sebenarnya tidak dibatasi oleh peraturan perundangan karena hakikat diskresi adalah kewenangan yang bebas. Sayangnya, pasal ini seperti cek kosong sehingga menyebabkan cakupan diskresi menjadi sangat lebar dan tanpa ada mekanisme pengawasan yang memadai," pungkasnya.

Diketahui, DPR mempercepat rapat paripurna dan masa reses yang semula dijadwalkan Kamis (8/10). Namun, rapat paripurna secara mendadak dimajukan ke Senin (5/10).

Dalam rapat itu, DPR mengesahkan sejumlah RUU, salah satunya RUU Cipta Kerja yang banyak ditolak oleh elemen masyarakat, baik organisasi agama nasional, hingga buruh.

Berita Lainnya
×
tekid