sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Psikolog: Jangan buru-buru beraktivitas kembali di sekolah

Pemerintah menerapkan new normal pada awal Juni 2020.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Senin, 01 Jun 2020 13:30 WIB
Psikolog: Jangan buru-buru beraktivitas kembali di sekolah

Psikolog sekaligus Koordinator Divisi Pencegahan pada Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Ruhui Rahayu Kalimantan Timur (Kaltim), Siti Mahmudah Indah Kurniawati, menyarankan, pihak terkait tak terburu-buru menerapkan belajar di sekolah saat tatanan normal baru (new normal).

"Juli nanti masuk tahun ajaran baru dan ada wacana peserta didik akan kembali ke sekolah dengan penerapan new normal dalam skenario protokol Covid-19. Namun, apakah anak-anak bisa mematahui protokol ini?" ucapnya di Kota Samarinda, Senin (1/6).

Dirinya mengungkapkan, menerima puluhan pesan singkat melalui surat elektronik (surel), WhatsApp, dan pesan langsung (direct message/DM) via Instagram mengenai kegelisahan orang tua terkait kembali ke sekolah, beberapa hari terakhir. Sejumlah orang tua, dalam pesan itu, mengaku cemas kala kegiatan belajar mengajar (KBM) diadakan lagi di fasilitas pendidikan.

Ada beberapa hal yang dipertanyakan. Bagaimana kesiapan anak-anak, berapa lama waktu belajar, risiko yang akan dihadapi, apakah anak-anak bisa saling kerja sama untuk menghindari penularan coronavirus baru (Covid-19), kebijakan sekolah untuk mencegah munculnya klaster baru, dan efektivitas protokol kesehatan, misalnya.

Pun apabila mengacu definisi normal baru, imbuh Siti, merupakan skenario mempercepat penanganan Covid-19 dalam aspek kesehatan dan sosial ekonomi. Implementasinya ujuga dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional.

"Artinya, untuk dunia pendidikan tentunya diperlukan kajian mendalam terkait kesiapan ini karena menyangkut hak hidup anak-anak usia sekolah maupun prasekolah," jelas pendiri Biro Psikologi Inka Alzena ini.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada tiga indikator penerapan normal baru di tengah pandemi. Pertama, tak menambah atau memperluas penularan.

Kedua, menggunakan indikator sistem kesehatan terkait seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas sistem kesehatan dalam merespons untuk pelayanan Covid-19. Terakhir, dengan surveilans atau menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah berpotensi menularkan SARS-CoV-2 atau tidak sehingga perlu dilakukan tes masif.

Sponsored

Hal ini, sambung Siti, tentu menjadi pertimbangan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, khususnya untuk membuka kembali aktivitas pembelajaran di sekolah.

Pertimbangan lainnya, anak-anak tidak kebal dengan Covid-19 karena perkembangan penyebarannya mulai menyisir pada anak-anak. Itu seperti disampaikan Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Bhakti Pulungan. 

Berdasarkan data IDAI, 584 anak-anak positif Covid-19 dan hampir 3.400 berstatus pasien dalam pengawasan (PDP). Kemudian, kematian PDP sebanyak 129 jiwa dan positif 14 kasus.

Temuan tersebut menunjukkan, angka kesakitan dan kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia tinggi. Juga membuktikan kelompok anak-anak rentan.

"Ini tentunya menjadi bahan pertimbangan mendasar jika akan membuka kembali pembelajaran di sekolah pada pertengahan Juli mendatang," terangnya.

Dirinya mengingatkan, hak anak berupa perlindungan dan pemenuhan kebutuhan harus tetap dipenuhi saat pandemi. Hak untuk hidup, kesehatan, tumbuh dan berkembang, serta berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, contohnya.

"Dalam menghadapi pandemi Covid-19, orang tua atau orang dewasa harus memastikan anak-anak tetap terlindungi. Anak-anak rentan mengalami perlakuan salah, eksploitasi, bahkan kekerasan selama pandemi berlangsung," tuturnya. (Ant)

Berita Lainnya
×
tekid