sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Putusan sidang etik Firli bukti lemahnya Dewas KPK

ICW beri 5 catatan putusan Dewas KPK kepada Firli Bahuri.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Kamis, 24 Sep 2020 16:11 WIB
Putusan sidang etik Firli bukti lemahnya Dewas KPK

Putusan sanksi ringan berupa teguran tertulis dua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Ketua KPK Firli Bahuri dipertanyakan Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan ada lima catatan terkait itu.

Pertama, alasan Dewas KPK yang menyebut Firli tidak menyadari pelanggaran yang telah dilakukan dianggap tidak masuk akal. Sebab, sebagai Ketua KPK semestinya memahami dan melaksanakan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Apalagi tindakan Firli itu juga bersebrangan dengan nilai integritas yang selama ini sering dikampanyekan oleh KPK, salah satunya tentang hidup sederhana," kata Kurnia dalam keterangannya, Kamis (24/9).

Kedua, Dewas KPK dinilai tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan. Pada 2018, ICW melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.

Atas laporan tersebut, September 2019 KPK menyatakan Firli terbukti melanggar kode etik, bahkan saat itu dijatuhkan sanksi pelanggaran berat.

"Sementara dalam putusan terbaru, Dewan Pengawas menyebutkan bahwa Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik," ucapnya.

Ketiga, Dewas KPK disebut abai dalam melihat tindakan Firli saat menumpang helikopter sebagai rangkaian atas berbagai kontroversi yang sempat dilakukan.

Hal itu, imbuh Kurnia, merujuk pada tidak dilindunginya pegawai saat diduga disekap ketika ingin melakukan penangkapan sampai pada pengembalian "paksa" Kompol Rossa Purbo Bekti.

Sponsored

Keempat, putusan terhadap Firli dianggap sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk. Sebab, katanya, sanksi ringan bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis. 

"Jika dilihat ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020, praktis tidak ada konsekuensi apa pun atas sanksi ringan, hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri," jelasnya.

Terakhir, putusan tersebut dianggap menunjukkan lemahnya peran Dewas KPK dalam mengawasi etika pimpinan pegawai lembaga antisuap. Sebab, jelasnya, kasus Firli semestinya didalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut.

"Dewas berhenti pada pembuktian, bahwa menaiki helikopter merupakan bagian dari pelanggaran etika hidup sederhana," ucapnya.

Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri dinyatakan bersalah oleh Majelis Etik Dewan Pengawas KPK. Ketua Majelis Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, Firli terbukti melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf n dan pada Pasal 8 ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas Nomor 02 Tahun 2020.

"Menghukum terperiksa (Firli) dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis dua, yaitu agar terperiksa tidak mengulangi lagi perbuatannya," kata Tumpak saat membacakan putusan.

Atas putusan tersebut, Firli meminta maaf kepada masyarakat Indonesia. Lebih lanjut, dia juga menyatakan menerima putusan tersebut.

"Pada kesempatan hari ini saya memohon maaf kepada seluruh masyarkat Indonesia yang mungkin tidak nyaman dan saya nyatakan putusan saya terima. Saya pastikan saya tak akan mengulangi," kata Firli.

Sidang itu terkait laporan Masyarakat AntiKorupsi Indonesia (MAKI), terhadap Firli kepada Dewas KPK karena menggunakan helikopter saat perjalanan dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan, untuk kepentingan pribadi. Perilaku tersebut dianggap melanggar kode etik, khususnya bergaya hidup mewah.

Berita Lainnya
×
tekid