sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rapatkan barisan, JGR: Pembangkangan sipil dibutuhkan

Jejaring Gerakan Rakyat tetap akan turun aksi tolak UU Ciptaker.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 12 Okt 2020 14:36 WIB
Rapatkan barisan, JGR: Pembangkangan sipil dibutuhkan

Perwakilan Jejaring Gerakan Rakyat (JGR) Nining Elitos mengatakan, akumulasi kemarahan rakyat sipil akibat ketidakpercayaan terhadap Pemerintah dan DPR RI akhirnya meledak ketika Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Cipker) disahkan.

Menurutnya, pembahasan regulasi ‘sapu jagat’ ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan menafikan asas partisipasi publik. Pengesahan Omnibus Law UU ini dinilai terburu-buru.

“Pada titik ini pembangkangan sipil dibutuhkan untuk menegaskan suara kemarahan dan ketidakpercayaan rakyat,” ujar Nining dalam keterangan pers virtual, Senin (12/10).

Jejaring Gerakan Rakyat tetap akan turun aksi unjuk rasa ke jalan untuk memberikan tekanan politik kepada rezim dan negara. Aksi unjuk rasa terus dilakukan hingga dicabutnya Omnibus Law UU Cipker.

Pihaknya juga akan membangun persatuan gerakan rakyat akar rumput nasional untuk menguatkan barisan perlawanan dan pembangkangan sipil yang lebih besar dan masif.

Penguatan gerakan rakyat akar rumput, jelas dia, akan meningkatkan posisi tawar di hadapan publik. Jejaring Gerakan Rakyat juga bakal melakukan koordinasi, konsolidasi, dan membentuk perlawanan dengan berbagai macam taktik dalam menolak Omnibus Law UU Cipker ini hingga batal. Perlawanan akan dilakukan berdasarkan kekhususan wilayah masing-masing.

Terakhir, Jejaring Gerakan Rakyat menyerukan perlawanan atas tindakan kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, teror dan pembungkaman kebebasan berbicara dan berserikat. Selain itu, menuntut perlawanan terhadap pengerahan kekuatan berlebihan dalam penanganan-penanganan aksi langsung di jalanan, di kampus, dan di kawasan industri yang dilakukan negara terhadap rakyat sipil.

Untuk diketahui, Jejaring Gerakan Rakyat terdiri dari Aliansi Rakyat Bergerak (ARB); Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK); Gerakan Rakyat Makassar (GERAM); Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) Jawa Timur; Gerakan Suara Tuntutan Rakyat (GESTUR) Jambi; Fraksi Rakyat Indonesia (FRI); Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI); Buruh Riau Bersatu (BRB); Akumulasi Kemarahan Buruh & Rakyat (AKBAR) Sumatera Utara; Paramedis Jalanan; Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD); Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA); serta GEGER Banten.

Sponsored

Kajian Komnas HAM

Pengesahan UU Ciptaker oleh DPR pada Senin (5/10) telah memicu gelombang protes di berbagai daerah. Dari organisasi masyarakat lintas agama, serikat buruh, hingga kalangan akademisi menyatakan menolaknya.

Berdasarkan kajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terdapat beberapa alasan RUU Ciptaker layak disetop, yaitu:

Pertama, prosedur perencanaan dan pembentukannya tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang diatur Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kedua, terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior bahwa hukum yang tinggi (lex superior) mengesampingkan hukum yang rendah (lex inferior).

Ketiga, akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan eksekutif, sehingga berpotensi memicu penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Keempat, akan ada UU superior serta menimbulkan kekacauan tatanan dan ketakpastian hukum saat UU Ciptaker disahkan.

Lalu, kemunduran atas kewajiban negara dalam memenuhi hak pekerjaan dan penghidupan yang layak serta mengakibatkan pelanggaran kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.

Keenam, pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat karena pembatasan hak berpartisipasi dan atas informasi.

Ketujuh, relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi/lembaga pengawas kebijakan terkait.

Kedelapan, kemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak kepemilikan tanah melalui perubahan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Selanjutnya, kemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan, ketimpangan akses, dan kepemilikan sumber daya alam (SDA). Terakhir, politik penghukuman dalam UU Ciptaker bernuansa diskriminatif.

Berita Lainnya
×
tekid