sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rapid test: Cara kilat tak akurat lacak penularan Covid-19

Pemerintah mengambil opsi rapid test atau tes cepat untuk melacak penularan Covid-19. Apakah efektif?

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 26 Mar 2020 06:13 WIB
Rapid test: Cara kilat tak akurat lacak penularan Covid-19

Pemerintah memilih opsi rapid test (tes cepat) untuk melacak penularan coronavirus jenis baru atau Covid-19. Rencananya, pemerintah akan mengimpor sebanyak 1 juta alat rapid test. Akan tetapi, saat ini baru menyediakan 125.000 alat rapid test yang akan dibagikan ke seluruh Indonesia.

Rapid test pertama dilakukan di Jakarta Selatan pada Jumat (20/3), sebagai wilayah yang tingkat penularannya besar. Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, rapid test di Jakarta Selatan berhasil menjaring beberapa orang yang dinyatakan positif terjangkit Covid-19. Namun, lebih banyak ditemukan kasus yang negatif.

Rapid test ini merupakan langkah awal untuk secepat mungkin mendeteksi persebaran coronavirus dalam masyarakat. Ini baru tahap screening,” kata Yuri saat konferensi pers di Gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Senin (23/3).

Yuri mengatakan, seseorang yang dinyatakan negatif tidak ada jaminan mereka tak akan tertular coronavirus. Metode yang mengambil sampel darah seseorang ini diperlukan beberapa hari lagi untuk dites ulang, memastikan apakah seseorang tertular atau tidak.

Pemeriksaan lebih akurat dilakukan dengan metode polymerase chain reaction (PCR), yang mengambil sampel lendir seseorang. Jika hasilnya positif, pasien akan dirujuk ke fasilitas kesehatan untuk diisolasi.

Terbatas, hanya yang prioritas

Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menunjukkan hasil tes cepat (rapid test) pendektesian COVID-19 kepada orang dalam pengawasan (ODP) di Bogor, Jawa Barat, Minggu (22/3/2020). Foto Antara/Yulius Satria Wijaya.

Dalam konferensi pers di Gedung BNPB, Jakarta, Selasa (24/3), Yuri menuturkan, rapid test diprioritaskan melacak penularan Covid-19 di lingkaran terdekat, yang berinteraksi langsung dengan pasien positif coronavirus.

Sponsored

“Maka bagian dari penelusuran, keluarga yang tinggal serumah dengan pasien itu harus kita periksa semua,” ujar Yuri.

“Kalau dalam perjalanan selama sebelum dinyatakan positif coronavirus, pasien itu ternyata ada riwayat bepergian ke tempat bekerja, maka lingkungan kerja juga akan kita lakukan pemeriksaan.”

Prioritas selanjutnya, kata Yuri, untuk tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19. Termasuk petugas rumah sakit, seperti resepsionis.

“Mereka tergolong kelompok yang rentan terinfeksi Covid-19,” kata Yuri.

Yuri menerangkan, jika ketersediaan alat rapid test makin banyak, maka bukan tidak mungkin prioritas pemeriksaan dapat berbasis kewilayahan. Tes masif berbasis kewilayahan itu bisa dilakukan di berbagai fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, laboratorium kesehatan, dan rumah sakit.

Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo, tak mustahil rapid test dilakukan di seluruh wilayah Indonesia untuk memeriksa orang dalam pengawasan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP). Kata dia, orang yang dites pun tak mengeluarkan biaya.

“Gratis. Ini program pemerintah hanya untuk orang tertentu saja, tidak semua orang ya,” ujar Agus saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (24/3).

Agus mengatakan, alat rapid test akan didistribusikan ke berbagai wilayah di Indonesia yang sudah ada kasus positif coronavirus. Implementasinya, kata dia, tergantung dinas kesehatan setempat.

Akan tetapi, tak semua pemerintah daerah mempersiapkan rapid test. “Belum ditetapkan (rencana rapid test),” ujar juru bicara Pemda Yogyakarta, Berty Murtianingsih saat dihubungi, Senin (23/3).

Padahal di Yogyakarta, berdasarkan data laporan media harian Covid-19, per 25 Maret 2020, sudah ada 17 orang terjangkit Covid-19, dua di antaranya meninggal dunia. Di provinsi ini juga tercatat ada 845 ODP dan 90 PDP.

Di wilayah Jakarta juga tak semua dilakukan rapid test. Misalnya di Jakarta Barat, yang berdasarkan situs web corona.jakarta.go.id per 24 Maret 2020 memiliki 88 pasien positif coronavirus, belum ada tindakan tes masif.

“Mohon maaf sampai saat ini di wilayah Jakarta Barat belum ada rapid test Covid-19,” tutur anggota Gugus Tugas Covid-19 Jakarta Barat, Dika Isnaini saat dihubungi, Selasa (24/3).

Pemprov Jawa Barat lebih sigap melakukan rapid test. Berdasarkan laporan media harian Covid-19, Jawa Barat menjadi episentrum kedua coronavirus, setelah Jakarta. Per 25 Maret 2020, ada 73 orang positif Covid-19, 10 di antaranya meninggal dunia.

Melalui akun Instagram-nya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menginformasikan, pada Rabu (25/3) dilakukan rapid test untuk ribuan warga di 27 kota/kabupaten se-Jawa Barat.

Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Berli Hamdani mengatakan, rapid test ini menyasar kelompok orang dengan risiko tertular paling tinggi, meliputi kategori A, B, dan C. Kategori A adalah ODP, PDP, serta orang-orang yang pernah berinteraksi dengan mereka. Di samping itu, petugas kesehatan di rumah sakit rujukan termasuk kategori ini.

Kategori B adalah orang-orang dengan profesi yang rawan tertular Covid-19. Sedangkan kategori C meliputi warga dengan keluhan gejala mirip terjangkit coronavirus.

Rapid test terarah secara masif, bukan massal. Ini bukan sensus. Jadi, tidak untuk semua orang,” ujar Berli saat dihubungi, Rabu (25/3).

Ia menuturkan, pelaksanaan rapid test di Jawa Barat dilakukan dengan cara pintu ke pintu, tes masif di rumah sakit, dan drive-through. Pelaksanaan rapid test ini, ujar Berli, merupakan instruksi Presiden Joko Widodo, yang implementasinya diserahkan ke pemerintah daerah.

“Jumlah kit rapid test yang telah disiapkan sekitar 15.000. Sudah dilakukan tes se-Jabar,” ucapnya.

Petugas medis mengecek kesehatannya dengan mengambil sampel darah dengan metode rapid test (pemeriksaan cepat) di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (25/3/2020). Foto Antara/Fakhri Hermansyah.

Pilihan yang sia-sia?

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany menegaskan, rapid test punya beberapa kelemahan. Ia mengakui, hasil rapid test bisa keluar dengan cepat, tetapi cuma mampu mendeteksi keberadaan virus di dalam tubuh manusia yang sudah terinfeksi lewat dari tujuh hari.

Rapid test, tutur Hasbullah, juga punya risiko kesalahan diagnosis sebesar 5%. Selain itu, Indonesia juga belum mampu memproduksi alat rapid test.

Hasbullah mengatakan, metode PCR memang lebih akurat ketimbang rapid test. Namun, harga pemeriksaan PCR terbilang mahal.

“Sekali periksa PCR dipungut biaya Rp1 juta hingga Rp1,5 juta. Bisa dibayangkan jika dihitung untuk 264 juta penduduk Indonesia, bisa habis berapa triliun itu,” ujar Hasbullah saat dihubungi, Senin (23/3).

Menghindari pengeluaran yang besar itu, menurut Hasbullah, menjadi alasan mengapa pemerintah memilih metode rapid test dan menetapkan skala prioritas untuk orang-orang di wilayah berisiko tinggi penularan coronavirus.

“Enggak ada alternatif lain. Ibarat kita mau perang, kita harus cerdas dalam membombardir musuh. Kalau sudah terlihat, boleh dibombardir dengan rapid test, walau pun tidak akurat,” ucapnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari UI Riant Nugroho menilai, rapid test tak bisa dilakukan untuk semua wilayah Indonesia lantaran terbatasnya petugas medis.

Rapid test secara massal pun tidak mungkin diberlakukan karena justru akan menyebabkan potensi penularan baru,” katanya saat dihubungi, Senin (23/3).

Dihubungi terpisah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan menilai rapid test tak terlalu diperlukan. Sebab, tes masif itu hanya berguna untuk tindakan pencegahan dini.

“Itu bukan solusi karena tidak memberi jaminan. Setelah pemeriksaan rapid test, seseorang yang dinyatakan negatif pun masih harus dites lagi, melakukan physical distancing, dan mengisolasi diri,” kata dia saat dihubungi, Rabu (25/3).

Seseorang yang dinyatakan positif coronavirus, kata dia, akan menjalani tes dengan metode PCR untuk memastikan kembali tes sebelumnya. Di sisi lain, Satria yakin pemerintah tak punya anggaran untuk pengadaan alat rapid test guna melacak persebaran coronavirus di seluruh wilayah Indonesia.

Infografik rapid test. Alinea.id/Hadi Tama.

Anggaran untuk rapid test pun, sebut Satria, sia-sia karena proses pemeriksaannya tidak bisa secara massal. Senada dengan Riant, Satria bilang, pengumpulan massa untuk melaksanakan rapid test justru hanya akan meningkatkan potensi penularan Covid-19. Satria menyarankan, bila tetap melaksanakan rapid test, sebaiknya dilakukan dari pintu ke pintu.

Lebih lanjut, Satria mengemukakan, Indonesia bisa mencontoh Inggris dan Belanda dalam melacak penyebaran coronavirus. Dua negara itu membiarkan penduduknya terpapar Covid-19, agar tercipta banyak individu yang punya antibodi natural.

Meski diakui, cara itu memang berisiko besar lantaran belum ada bukti penelitian orang yang sudah tertular coronavirus, selanjutnya akan kebal terhadap virus mematikan itu.

Herd immunity atau imunitas kelompok. Tidak ada rapid test (di Inggris dan Belanda),” ujar Satria.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid