sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rencana kembalinya KKR, antara lagu lama atau harapan baru

Jangan sampai rencana pembentukan KKR hanya sebatas pernyataan di depan media yang keluar secara instan.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Jumat, 15 Nov 2019 19:40 WIB
Rencana kembalinya KKR, antara lagu lama atau harapan baru

Pemerintah berencana menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Rencana tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Terkait hal ini, Campaign Manager Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri angkat bicara. Puri mengatakan, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan sebelum pemerintah merencanakan hal tersebut, agar KKR tidak lagi menjadi sia-sia.

"Sebelum dimunculkan lagi KKR, kita harus meruntutkan lagi apa yang dimaksud dengan pengungkapan kebenaran. Sebenarnya penting bertanya kepada Menko Polhukam ihwal konsep yang ingin ditawarkan kepada publik. Terutama kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM terkait dengan hakikat pengungkapan kebenaran," jelas Puri saat dihubungi Alinea.id, Jumat (15/11).

Itulah sebabnya ada baiknya pemerintah tidak asal membentuk KKR, namun juga paham hakikat daripada kebenaran atas penuntasan pelanggaran HAM. Bagi Puri, di level pemerintah hal tersebut masih terbilang abu-abu.

Pemerintah harus menyadari penuntasan pelanggaran HAM, tidak boleh menyingkirkan hak korban menempuh jalur akuntabilitas yang lain. Artinya, praktek pengungkapan kebenaran tidak mesti menghapus hak korban atau keluarga korban untuk bisa menempuh jalur hukum lain.

Bahkan, lanjut Puri, dokumen yang muncul dari hasil pengungkapan kebenaran bisa digunakan sebagai bagian dari penuntutan, tetapi bukan berarti hadirnya KKR secara tidak langsung mematahkan bagian-bagian akuntabilitas yang lain. 

"Kalau kita melihat sejarah di Amerika latin atau di Afrika, kecuali Afrika Selatan, proses akuntabilitas itu menempatkan perdamaian dan keadilan. Jadi meskipun prosesnya cukup panjang, memakan waktu lama. Mereka membentuk Komisi Kebenaran tetapi hasil output dari komisi tersebut bisa digunakan untuk masuk, memasuki fase agenda akuntabilitas yang lain, yakni agenda peradilan," papar Puri.

Oleh karena itu, Puri mendorong agar pemerintah terlebih dahulu duduk bersama guna menyamakan persepsi hakikat pengungkapan kebenaran HAM. Dalam hal Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menko Polhukam, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Jaksa Agung perlu segera berkoordinasi.

Sponsored

Jangan sampai rencana pembentukan KKR hanya sebatas pernyataan di depan media yang keluar secara instan. Harus ada substansi atau proyeksi ke depan yang jelas dalam proses rencana menghidupkan kembali KKR.

Hal berikutnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengikutsertakan penyintas atau keluarga korban pelanggaran HAM. Mendengarkan aspirasi penyintas atau korban pelanggaran HAM sangatlah penting.

"Tahun kemarin keluarga korban sudah bertemu dengan Pak Jokowi. Pertanyaannya adalah apakah momentum itu apakah hanya sekadar menjadi bagian dari sejarah atau bisa digunakan sebagai alat ukur (substansi kembalinya KKR) ternyata presiden telah mendengar suara korban? Suara mereka itu apa? Apakah ada lanjutan dari pertemuan itu?," papar Puri.

Sebaiknya, hasil pertemuan Presiden Jokowi dan keluarga korban pelanggaran HAM juga digunakan sebagai refrensi. Jangan sampai suara keluarga atau korban pelanggaran HAM yang ada kian meredup sehingga tidak tersedia ruang akuntabilitas.

Lebih jauh, Puri berharap, keberadaan KKR juga dapat terintegrasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Semuanya dilakukan agar penuntasan dan perlindungan setiap pelanggaran HAM dapat berjalan efektif.

"Indonesia sudah punya UU Nomor 26 Tahun 2000. Yang kita tahu, sepanjang 20 tahun hanya ada tiga pengadilan HAM, termasuk dua pengadilan adhoc yang dibentuk. Tapi ternyata masih belum bisa memastikan, bahwa pelaku itu tereksekusi. Semua pelaku di tingkat banding itu lepas," ungkap Puri.

Lagu lama

Saat dihubungi terpisah, orang tua korban kasus pelanggaran HAM 1998, Maria Catarina Sumarsih tegas menentang rencana pembentukan KKR kembali. Menurut dia, sebenarnya mudah bagi pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Misalkan saja dengan mengikuti mekanisme yang ada dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Jika serius melindungi dan mengungkapkan pelanggaran HAM, pemerintah hanya perlu mengikuti mekanisme yang sudah termaktub di dalam regulasi tersebut. 

"Komnas HAM melakukan penyelidikan, kemudian Kejaksaan Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan ke tingkat penyidikan. Kalau terbukti, maka DPR membuat surat rekomendasi kepada presiden agar menghadirkan keputusan presiden (Kepres) tentang pembentukan pengadilan adhoc. Jadi Jokowi tinggal memberikan tugas ke Jaksa Agung untuk menindaklanjuti penyelidikan dari Komnas HAM," urai Sumarsih.

Sumarsih malah curiga, rencana pemerintah kembali menghidupkan KKR untuk melindungi para pelanggar HAM. Maksudnya hanya untuk menghindar dari pembentukan pengadilan HAM adhoc.

Oleh sebab itu, ia mengatakan rencana ini seperti 'lagu lama', selalu didengungkan seolah berpihak kepada keluarga dan korban HAM, namun prakteknya tetap akan sama saja hasilnya.

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, akan berkoordinasi dengan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju terkait rencana menghidupkan kembali KKR. 

"Akan kami rencanakan. Dulu kita punya Undang-Undang (UU) KKR, tetapi dibatalkan MK dengan catatan harus segera diperbaiki," papar Mahfud di Kememko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (14/11).

KKR pernah terbentuk dan tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi. Namun pada 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut UU tersebut. 

Mahfud menerangkan, saat itu beberapa poin dalam UU KKR telah diperbaiki. Hanya saja pada kesempatan tersebut, beberapa menteri belum menemui kesepakatan yang mengikat final 

Berangkat dari itu, pemerintah akan melakukan koordinasi dengan jajaran menteri KIM Jokowi-Ma'ruf Amin untuk kembali membahasnya.

"Sekarang kami koordinasikan lagi. Agar bisa menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah-masalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu," terang dia.

Berita Lainnya
×
tekid