sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Retorika basi hukuman mati dan inkonsistensi pemberantasan korupsi

Wacana hukuman mati untuk koruptor kembali didengungkan. Apakah menimbulkan efek jera?

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Rabu, 18 Des 2019 08:01 WIB
Retorika basi hukuman mati dan inkonsistensi pemberantasan korupsi

Wacana hukuman mati untuk koruptor dilontarkan kembali Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMK Negeri 57, Jakarta, pada 9 Desember 2019.

Di acara yang juga diisi pentas drama “Prestasi Tanpa Korupsi” oleh penampilan Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama, serta pelawak Bedu dan Sogi, seorang siswa bertanya soal kurang tegasnya negara dalam menghukum koruptor.

Siswa tersebut mempertanyakan, mengapa Indonesia tak berani seperti negara maju, yang menghukum mati koruptor.

Lantas, Jokowi mengatakan, aturan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan, asal ada kehendak kuat dari masyarakat.

Menurutnya, penerapan hukuman mati bisa diatur sebagai salah satu sanksi pemidanaan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi lewat mekanisme revisi di DPR.

Perkara hukuman mati sebenarnya tertera di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Pasal 2 ayat 1 di dalam beleid itu disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Sementara di dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Sponsored

Keadaan tertentu yang dimaksud di dalam Pasal 2 ayat 2 adalah kondisi yang bisa dijadikan alasan pemberatan pidana bagi koruptor, yakni tindak pidana dilakukan terhadap dana-dana untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Namun, hingga kini, belum ada pelaku korupsi yang dihukum mati. Vonis terberat adalah kurungan seumur hidup. Hal itu dijatuhkan kepada tiga pelaku tindak pidana korupsi, yakni Adrian Waworuntu, Akil Mochtar, dan Brigjen Teddy Hernayadi.

Pengusaha Adrian Waworuntu terjerat kasus pembobolan Bank BNI sebesar Rp1,2 triliun. Pada 30 Maret 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis penjara seumur hidup.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terlibat kasus jual-beli vonis pilkada. Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis penjara seumur hidup pada 30 Maret 2014.

Sedangkan Brigjen Teddy Hernayadi terlibat korupsi anggaran alat utama sistem senjata (alutsista) pada 2010-2014, seperti pembelian jet tempur F-16 dan helikopter Apache. Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta menjatuhkan hukuman seumur hidup pada 30 November 2016.

Beberapa negara di dunia yang menerapkan hukuman mati untuk koruptor, yakni China, Iran, Irak, Thailand, Myanmar, Maroko, Laos, Korea Utara, dan Vietnam. Di Amerika Serikat, pelaku korupsi dihukum bui minimal lima tahun dan denda US$2 juta.

Di Jerman, koruptor dipenjara rata-rata lima tahun dan wajib mengembalikan uang. Sementara di Korea Selatan dan Jepang, pelaku korupsi akan dipenjara dan dikucilkan oleh masyarakat. Di Indonesia sendiri, koruptor kebanyakan mendapatkan hukuman ringan dan berhak remisi.

Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan murid seusai menyaksikan drama bertajuk Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57 Jakarta, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019). Foto Antara/Aprillio Akbar.

Sulit diterapkan, berkaca negara lain

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, dirinya kenyang menerima pertanyaan dari masyarakat soal hukuman mati untuk koruptor.

“Sebaiknya dijelaskan bagaimana masalah korupsi yang sangat rumit, ketika menjawab pertanyaan serupa,” katanya dalam sebuah diskusi di Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (15/12).

Di dalam diskusi yang sama, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun mengatakan, Presiden Jokowi salah ucap, terkait hukuman mati bagi koruptor.

“Aturan hukuman mati sudah tercantum dalam UU Tipikor dan mayoritas sanksi hukuman koruptor terbilang ringan,” kata Tama di Jakarta Pusat, Minggu (15/12).

Berdasarkan catatan ICW, pada 2018 ada 918 terdakwa kasus korupsi yang divonis satu hingga empat tahun penjara. Sebanyak 180 terdakwa menerima hukuman empat hingga 10 tahun penjara. Hanya sembilan terdakwa yang divonis di atas 10 tahun penjara atau kategori hukuman berat.

ICW pun mencatat, pada 2018 kerugian negara karena korupsi sebesar Rp5,6 triliun. Nilai ini sedikit menurun dibandingkan tahun 2017, sebesar Rp6,5 triliun. Akan tetapi, nyaris dua kali lipat besarnya dibandingkan tahun 2016, sebesar Rp1,4 triliun.

Saut menuturkan, Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor terkait hukuman mati, seakan-akan berjalan di tempat karena persyaratannya begitu kaku. Sehingga, KPK takbisa menggunakan pasal itu lantaran akan menuai polemik dan perdebatan antara penyidik, penuntut, dan pimpinan lembaga antirasuah.

“Jangan sekali-kali memberantas korupsi seolah kita membenci rakyat sendiri, padahal itu salah kita. Tidak bisa begitu,” ujar Saut.

Lebih lanjut, Saut mengatakan, hukuman mati untuk koruptor tak mampu menyentuh akar permasalahan korupsi di Indonesia. Dengan mempersoalkan hukuman maksimal, kata Saut, menandakan pemerintah masih terjebak retorika yang bersifat cari perhatian.

Menurutnya, negara-negara dengan indeks persepsi korupsi (IPK) tinggi tidak lagi membahas hukuman mati, tetapi lebih memperhatikan aspek pencegahan berkelanjutan. Bahkan, dari hal paling sederhana, seperti membiasakan menolak suap.

Merujuk IPK pada 2018, Indonesia ada di peringkat 89 dengan skor 38, sedangkan China ada di urutan 87 dengan skor 39.

Berkaca pada data tersebut, Tama mengatakan, hukuman mati terbukti tak memengaruhi IPK sebuah negara. Posisi China tetap di bawah dalam prestasi pemberantasan korupsi, meski Negara Tirai Bambu itu menerapkan hukuman mati untuk koruptor.

“Sekarang ini, Indonesia sangat terinspirasi dengan adagium China. Padahal kalau dilihat di atas kertas, perhitungan IPK China tidak jauh berbeda dengan Indonesia,” ujar Tama.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan negara-negara IPK tinggi, seperti Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, dan Swedia.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid berpendapat, negara-negara IPK tinggi sebelumnya juga mengalami suatu masa mirip di Indonesia.

“Cuma, sekarang masyarakatnya sudah tidak menolerir korupsi,” ucap Usman di Jakarta Pusat, Minggu (15/12).

Ia menjelaskan, negara-negara yang mempraktikkan hukuman mati terhadap koruptor, lazimnya hanya menyasar oposisi politik, ras minoritas, dan seseorang yang tak punya akses bantuan hukum.

Di dalam diskusi yang sama, anggota DPR dari fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, hukuman berat tak ada korelasinya dengan penurunan angka tindak pidana korupsi. Beberapa koruptor dituntut hukuman maksimal, tetapi tidak memengaruhi IPK.

“Tetapi, bukan berarti KPK gagal. KPK sudah maksimal. Memang masalah ini perlu kita pecahkan bersama,” ujar Supratman di Jakarta Pusat, Minggu (15/12).

Menurut Supratman, di dalam Pasal 100 ayat 1 hingga 5 RKUHP tercantum upaya menghindari vonis hukuman mati, dengan diberi waktu 10 tahun untuk mengubahnya.

Dengan begitu, ujar Supratman, hukuman mati merupakan bagian dari realitas politik yang takbisa dinafikan karena pemerintah dan DPR masih menganggap sebagai cara untuk menekan angka tindak pidana korupsi.

“Apa yang dirancang di RKUPH baru itu lompatan besar, walaupun belum seperti yang diinginkan semua orang,” ujar Supratman.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) didampingi Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Senin (16/12/2019). Foto Antara/M Risyal Hidayat.

Inkonsistensi

Usman mengatakan, hukuman mati tidak akan memberikan efek jera dan tak memengaruhi IPK. “Secara retorika terlihat tegas, tapi secara faktual, kasus Annas Maamun hanya bukti yang kesekian,” ujar Usman.

Annas Maamun merupakan eks Gubernur Riau yang divonis tujuh tahun penjara karena korupsi alih fungsi hutan Riau. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi memberikan pengurangan masa hukuman (grasi) selama setahun.

Tama pun mempertanyakan banyaknya pemberian grasi, bahkan pembebasan bersyarat kepada para koruptor. Ia menekankan pertimbangan aspek keadilan dalam pemberian grasi koruptor, ketimbang pertimbangan politik.

“Ketika Annas Maamun mendapatkan grasi alasannya tua dan sakit, maka pertanyaannya, ada berapa banyak orang yang sudah tua dan masih berada di lapas? Aspek keadilannya di mana? Kalaupun diberikan, harusnya betul-betul melewati pertimbangan serius,” ujar Tama.

Tama juga mengkritik pengabulan keringanan hukuman para koruptor yang mengajukan peninjauan kembali (PK). Berdasarkan catatannya, dari 22 PK para koruptor, 10 di antaranya dikabulkan dengan bentuk keringanan hukuman berupa pengurangan tagihan denda hingga memangkas durasi kurungan.

Tama mencontohkan kasus mantan Direktur Pengelolaan PT Pertamina Suroso Atmoartoyo. Menurutnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan PK dan meniadakan beban uang pengganti sebesar US$190.000.

“Pelaku korupsi diganjar hukuman belasan tahun, betul ada, tetapi itu hitungan jari, yang lain sanksinya ringan. Indonesia inkonsisten ketika membicarakan pidana korupsi. Di situ akar masalahnya, bukan kemudian mengurus mati atau tidak,” tutur Tama.

Selain Suroso, hingga 2019, ada enam terpidana korupsi yang mendapat potongan hukuman dari MA. Idrus Marham, terpidana suap PLTU Riau-1 dipotong masa hukumannya dari lima tahun menjadi dua tahun.

Lalu, M Sanusi, terpidana suap raperda rencana tata ruang kawasan strategis Pantai Utara Jakarta di Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI dikurangi masa hukumannya menjadi tujuh tahun, dari hukuman banding diperberat 10 tahun penjara.

Lantas, ada nama Irman Gusman yang terjerat kasus suap impor gula, dipangkas masa hukuman dari 4,5 tahun menjadi tiga tahun. Kemudian, ada Patrialis Akbar, yang dipotong masa hukuman dari delapan tahun menjadi tujuh tahun.

Lalu, ada Choel Mallarangeng, yang dipotong masa hukuman dari 3,5 tahun menjadi tiga tahun, serta OC Kaligis dari 10 tahun menjadi tujuh tahun.

Selain itu, Tama juga menyinggung penerapan perbedaan pasal terhadap mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.

“Nazaruddin dijerat memakai Undang-Undang Pencucian Uang, sedangkan Setnov tidak. Hak politik (Nazaruddin) dicabut, Rp550 miliar dirampas. Namun, perkara lain tidak,” ucapnya.

Sementara itu, Supratman mengingatkan KPK agar konsisten antara kriteria pelanggaran dan tuntutannya.

“Misalnya kasus korupsi yang terjadi saat gempa di NTB, mengapa tidak dicoba diterapkan hukuman mati atau hukuman maksimal,” ujar Supratman.

Kasus yang disebutkan Supratman menyeret anggota DPRD Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Muhir. September tahun lalu, Muhir ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) jatah proyek rehabilitasi sekolah pascagempa Lombok, sebesar Rp4,2 miliar.

Akan tetapi, Muhir lolos dari hukuman mati karena pertimbangan besaran uang yang dikorupsi. Ia menyelewengkan dana bantuan sebesar Rp30 juta.

Satu dari empat terdakwa kasus suap proyek Dinas PUPR Pandus (kedua kiri) menangis usai berjumpa istrinya di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pontianak di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (25/11/2019). Foto Antara/Jessica Helena Wuysang.

Alternatif selain hukuman mati

Usman menuturkan, hukuman mati malah akan memutus mata rantai petunjuk ketika membongkar kasus kejahatan. Di samping itu, hukuman mati membutuhkan biaya lebih mahal daripada mengurung pelaku korupsi.

“Eksekusi terakhir era Pak Jokowi, berapa biaya yang dikeluarkan? Biaya pengamanan dan segala macamnya itu menilai bahwa hukuman mati sebagai hukuman yang murah. Itu salah,” ucapnya.

Hukuman mati, lanjut dia, juga menghilangkan justifikasi moral Indonesia. Negara, kata dia, bakal kesulitan menemukan landasan untuk membela WNI yang tersangkut vonis mati di luar negeri.

Menurutnya, metode hukuman mati, baik itu dengan cara disuntik, disetrum, dipenggal, atau ditembak, mustahil dilaksanakan tanpa melanggar Konvensi Anti Penyiksaan.

Konvensi ini merupakan sebuah instrumen hukum internasional, yang tujuannya mencegah penyiksaan di seluruh dunia. Konvensi tersebut diadopsi Sidang Majelis Umum PBB melalui resolusi 39/46 pada 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada 26 Juni 1987. Indonesia meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998.

“Penolakan hukuman mati itu bukan penolakan untuk menghukum terpidana korupsi. Menolak hukuman mati karena itu kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia,” tutur Usman.

Usman menyarankan, pelaku korupsi tetap dihukum bui. Sebab, praktik hukuman mati berpotensi diterapkan secara diskriminatif.

Infografik hukuman koruptor. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Dihubungi terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, hukuman mati adalah gambaran berat dari konsekuensi parahnya tindakan korupsi. Maka, kata dia, perlu dipenuhi unsur kondisi tertentu yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.

“Seperti residivis, bencana alam, atau keadaan perang. Kondisi-kondisi ini jarang ditemui,” ujar Fickar saat dihubungi, Selasa (17/12).

Ketimbang menerapkan hukuman mati yang cenderung tidak manusiawi, Fickar menyarankan, koruptor dibebankan dengan pendekatan perampasan aset. Menurut dia, memiskinkan koruptor dengan merampas sebanyak-banyaknya harta kekayaan, lebih menimbulkan efek jera.

Praktiknya, ungkap Fickar, dengan cara menutup semua akses ekonomi pelaku tindak pidana korupsi. Kemudian, tak diperbolehkan memiliki kartu kredit hingga dilarang memimpin perusahaan. Selain itu, hak politik koruptor harus dicabut.

“Hukuman mati tidak menjamin penjeraan. Hukuman mati narkoba tidak menyurutkan pelakunya. Hukuman mati dalam UU Tipikor masih ada, tetapi pendapat saya itu, pemiskinan saja,” tutur Fickar.

Berita Lainnya
×
tekid