sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Romahurmuziy tak terima disebut mantan Ketum PPP

Romahurmuziy menyebut penangkapan dirinya serangan politik terhadap PPP.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Senin, 23 Sep 2019 14:42 WIB
Romahurmuziy tak terima disebut mantan Ketum PPP

Terdakwa kasus suap pengisian jabatan di lingkungan Kemenag Provinsi Jawa Timur, Romahurmuziy keberatan dengan penulisan status pekerjaannya sebagai mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu disampaikan Romahurmuziy, saat menanggapi surat dakwaan yang disusun jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (23/9). 

"Saya jelas bukanlah pegawai negeri. Saya juga bukan penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)," ujar Rommy dalam sidang eksepsi. 

Rommy mengatakan, penangkapan terhadap dirinya merupakan sebuah serangan politik terhadap PPP. Apalagi, Rommy dibekuk KPK pada 15 Maret 2019 atau sebulan menjelang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.

Dalam nota eksepsinya, Rommy juga keberatan atas dakwaan penuntut umum KPK yang menyangkakan dirinya bersama Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin telah menerima uang sebesar Rp325 juta karena mengintervensi pemilihan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jatim.

Dia menilai, JPU KPK keliru telah mencatutkan kata intervensi dalam surat dakwaannya. Sebagai anggota Komisi XI DPR RI, Rommy merasa tidak memliki otoritas untuk mengintervensi dalam menempatkan Haris Hasanuddin sebagai Kakanwil Jawa Timur.

"Komisi XI DPR RI membidangi ekonomi, keuangan, dan perbankan, sementara Kemenag adalah mitra kerja Komisi VIII DPR RI. Selama saya menjadi anggota DPR RI sejak 2009 hingga 2019 juga tidak pernah menjadi anggotanya (VIII)," kata dia.

Sebagai Menag, menurut Rommy, Lukman tidak harus tunduk terhadap perintah setiap anggota DPR RI. Lukman hanya memiliki atasan tunggal, yakni Presiden Joko Widodo. Karena itu, dia menilai diksi 'intervensi; dalam surat dakwaannya JPU tidak masuk akal. 

Rommy juga merasa surat dakwaanya telah disusupi sejumlah fakta fiktif dan tidak didukung oleh dua alat bukti yang cukup. Dia mencontohkan, saat Haris Hasanuddin mendatangi rumahnya di kawasan Condet, Jakarta Timur pada 17 Desember 2018 guna menyerahkan uang.

Sponsored

"Peristiwa itu fiktif, atau pengakuan sepihak Haris Hassanudin karena pada pagi sampai sore tanggal 17 Desember, saya mengisi kuliah umum di beberapa kampus di Malang. Dan, dilanjutkan pada 18 Desember, saya menjadi tuan rumah kegiatan Presiden di Pondok Pesantren Bahrul Ulum. Semua terekam di berbagai akun media sosial," ucapnya.

Dalam nota eksepsinya, Rommy juga merasa keberatan atas hilangnya peran Gubernur Jawa Timur Khofifah Indarparawansa dan Ketua PP Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (NU) KH Asep Saifuddin Halim. Padahal, menurut dia, usulan pencalonan Haris sebagai Kakanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur bersumber dari dua tokoh tersebut.

Bahkan, sambung Rommy, Asep Saifuddin telah berulang kali menghubunginya untuk menanyakan nominasi Haris dalam bursa pencalonan Kakanwil Provinsi Jawa Timur.

Rommy juga keberatan dituding menerima uang sebesar Rp250 juta dari Haris Hasanuddin pada 6 Februari 2019. Menurut dia, uang tersebut telah dikembalikan melalui Sekretaris DPW PPP Jawa Timur Norman Zein Nahdi pada 28 Februari 2019.

"Hanya 22 hari atau kurang 30 hari uang itu sudah dikembalikan. Hal ini secara tidak langsung telah diakui penyidik dengan adanya penyitaan dari Norman Zein, bukan dari saya. Dengan demikian, secara yuridis dakwaan kepada saya semestinya gugur," ujar Rommy.

Dalam kasus ini, Rommy didakwa bersama Menag Lukman telah menerima uang sebesar Rp325 juta dari Haris. Rommy juga didakwa telah menerima uang sebesar Rp91,4 juta dari eks Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi. Uang itu disinyalir diberikan supaya Rommy dapat mempengaruhi proses pencalonan keduanya dalam seleksi jabatan Kemenag Jawa Timur.

Sebelumnya, Haris dan Muafaq telah diadili majelis hakim Pengadilan Tipikor. Haris dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim, sedangkan Muafaq Wirahadi, divonis hukuman 1 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim.

Berita Lainnya
×
tekid