sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

RUU Omnibus Law Cipta Kerja dorong krisis pangan

RUU Omnibus Law Ciptake jadi karpet merah investasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan.

Fathor Rasi
Fathor Rasi Rabu, 08 Jul 2020 12:57 WIB
RUU Omnibus Law Cipta Kerja dorong krisis pangan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dalam jangka panjang dinilai akan mendorong terjadinya krisis pangan, khususnya pangan laut yang merupakan sumber protein hewani yang dibutuhkan oleh berbagai elemen masyarakat.

“RUU ini disusun dan dibahas bukan untuk melindungi masyarakat dan keberlanjutan sumber daya alam Indonesia. Sebaliknya, RUU disusun untuk memanjakan kepentingan oligarki di Indonesia yang telah lama menguasai proses pembuatan kebijakan di negara ini,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dalam keterangan tertulis, Rabu (8/7).

Atas dasar itu, KIARA menggelar kampanye penolakan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan cara menjajakan ikan-ikan yang telah lama mati dan memiliki bau yang tidak sedap. 

"Bau ikan-ikan ini merupakan simbol kuatnya bau busuk oligarki yang berada di balik penyusunan dan pembahasan RUU Cipta Kerja,” jelasnya.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sambung aktivis perikanan ini, memiliki banyak kecacatan, baik dari aspek formil maupun materil. Secara hukum, RUU ini dinilai bertentangan dengan Konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945. 

Tak hanya itu, RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga dinilai memiliki bahaya jika disahkan karena hanya memberikan karpet merah kepada investasi, khususnya investasi asing yang akan mengeksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan.

“Pada titik inilah, nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir tidak lepas dari ancaman RUU ini,” tambahnya.

Susan menjelaskan, diantara dampak yang akan dialami oleh masyarakat pesisir jika RUU ini disahkan adalah sebagai berikut: 

Sponsored

Pertama, nelayan-nelayan kecil maupun nelayan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 gross tonnage serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dipaksa harus mengurus perizinan perikanan tangkap. 

"Tak hanya itu, rancangan omnibus law menyamakan nelayan kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar, yakni nelayan yang menggunakan perahu di atas 10 gross tonnage. Dengan disamakannya posisi nelayan kecil dengan nelayan besar, maka kewajiban perlindungan yang harus diberikan oleh negara kepada nelayan menjadi hilang," urainya.

Kedua, lanjut dia, RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). 

"Dalam praktiknya, RZWP3K tidak menempatkan nelayan serta perempuan nelayan sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Tak hanya itu, RUU Omnibus Law juga hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan oligarki, investor asing, dan para pebisnis skala besar," pungkasnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid