sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Saat Pemda mengorek anggaran untuk bayar THR

Sejumlah Pemda kesulitan membayar THR yang saat ini nilainya lebih besar ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Robi Ardianto Gema Trisna Yudha
Robi Ardianto | Gema Trisna Yudha Selasa, 05 Jun 2018 14:48 WIB
Saat Pemda mengorek anggaran untuk bayar THR

Sejumlah Pemerintah Daerah (Pemda) kelimpungan memenuhi kebijakan Pemerintah Pusat tentang pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2018. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, THR tahun ini jauh lebih 'gemuk' ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Bersamaan dengan pembayaran THR, juga dilakukan pembayaran gaji ke-13.

Adapun kebijakan tersebut dipayungi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2018 tentang pemberian THR kepada PNS, prajurit TNI, anggota Kepolisian, pensiunan, dan penerima tunjangan. Dengan peraturan tersebut, THR yang diterima para abdi negara akan sama besarannya dengan satu kali gaji penuh yang diterima perbulan, mencakup gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan tambahan, dan tunjangan kerja. 

Selain angka yang berbeda, THR juga dialokasikan kepada pensiunan dan penerima tunjangan. Hal ini jelas berbeda dengan pembayaran THR di tahun-tahun sebelumnya. 

Selain itu, dalam Surat Mendagri No. 903/3387/SJ tgl 30 Mei 2018, disebutkan dana THR dan gaji ke-13 bersumber dari APBD. Namun, tak semua daerah menganggarkan alokasi THR dan gaji ke-13 dalam APBD-nya. 

Hal ini sebetulnya telah diantisipasi dengan pengiriman surat yang diteken Mendagri Tjahjo Kumolo tersebut. Dalam poin 6 surat itu, dijelaskan bahwa Pemda dapat melakukan penggeseran anggaran dari nomenklatur lain untuk dialokasikan kepada anggaran THR dan gaji ke-13. Pada poin 7, disebutkan perubahan tersebut cukup dilakukan dengan mengubah penjabaran APBD TA 2018, tanpa menunggu Perubahan APDB TA 2018.

Hanya saja, Pemda tak serta merta dapat mengimplementasikan arahan tersebut. Terlebih jika APBD-nya memiliki angka yang terbatas.

Hal demikian terjadi di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Dikutip Antara, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tabalong, Yuzan Noor mengatakan, pihaknya kesulitan memenuhi pembayaran THR bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di wilayah tersebut. 

"Ada tambahan komponen dalam THR berupa tunjangan daerah padahal anggaran yang tersedia tak termasuk komponen ini," katanya.

Sponsored

Yuzan menjelaskan, hanya menyediakan THR sebesar gaji pokok seperti tahun-tahun sebelumnya. Ia menambahkan dalam satu bulan, pemerintah daerah mengalokasikan Rp 8,5 miliar untuk tunjangan daerah ASN. Dengan peraturan Pemerintah Pusat saat ini, harus mencari tambahan Rp 17 miliar lagi untuk THR dan gaji ke-13.

Di Banten, Pemda setempat juga masih belum mendapat solusi dana yang akan digunakan untuk membayar THR. Menurut Sekretaris Daerah (Sekda) Banten Ranta Soeharta, Pemprov Banten kemungkinan akan mengambil pos anggaran dari masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) hingga anggaran Tak Terduga (TT). Namun, alokasi dari TT dianggap rawan karena Banten merupakan daerah yang rawan bencana.

"Kami masih rapat-rapat untuk bahas ini. Besok juga masih akan dibahas, belum ada keputusan diambil dari pos anggaran apa," kata Ranta.

Hal berbeda terjadi di Kota Depok. Kepala Badan Keuangan Daerah (KBD) Kota Depok, Nina Suzana, mengatakan tak memiliki kendala untuk penyediaan dana THR dan gaji ke-13. Ia mengakui nilai dana THR yang telah dianggarkan hanya mencakup gaji pokok. Meski demikian, pihaknya dapat memenuhi kekurangan tersebut.

"Kami cukup, bisa memenuhinya dengan diambil dari akres gaji 2,5%. Akres itu persediaan untuk kenaikan pangkat, kenaikan gaji, itu memenuhi," kata Nina pada Alinea (5/6).

Dia menyebut, total dana yang akan dikucurkan Pemkot Depok mencapai Rp 28 miliar. Dana tersebut akan mulai dicairkan mulai Rabu (6/6) kepada 6.736 orang ASN.

Kebijakan politis

Kebijakan perubahan nilai THR ini dinilai berlebihan dan mencederai semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Terlebih, keputusannya dilakukan di tengah jalan sehingga tak masuk dalam rancangan APBD. 

Menurut direktur riset demokrasi dan isu politik Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, kebijakan ini sangat politis dan pemerintah terlalu show off dengan kebijakan populis. Kesan dadakan dari kebijakan pemberian THR ini juga, dinilai Dedi tidak melalui kajian panjang.

Selain itu, pemerintah juga membuka celah pelanggaran karena mengizinkan Pemda untuk mengotak-atik APBDnya.

"Ketika kebijakan ini dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah, yang notabene tidak ada dalam mata anggaran sebelumnya, bisa jadi akan ada pelanggaran penggunaan anggaran daerah, dan ini bisa masuk dalam platform korupsi, karena penggunaan anggaran yang tidak sesuai koridor," kata Dedi.

Namun menurut Direktur Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, di tahun politik seperti saat ini, segala kebijakan pemerintah dapat ditafsirkan sebagai kebijakan politik. Padahal, kata dia, pemberian THR merupakan hal lumrah yang sudah ada sejak era pemerintahan sebelumnya.

"Kalau pun itu tulus akan tetap dipandang oleh banyak orang sebagai kebijakan politik. Saya meyakini, siapapun yang menjadi pemimpin akan melakukan hal yang sama, yang penting kebijakan tersebut tidak melanggar UU," kata Karyono kepada Alinea.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid