sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Peretasan jadi ancaman Pemilu

Masalah peretasan dan disinformasi masih menjadi ancaman serius dalam keamanan siber atas proses kepemiluan. 

Robi Ardianto
Robi Ardianto Kamis, 06 Des 2018 15:21 WIB
Peretasan jadi ancaman Pemilu

Keamanan siber dalam penyelenggaraan pemilu 2019 sangat penting diperhatikan. Pasalnya, berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemilu di dunia dan praktik di Indonesia, ancaman keamanan siber merupakan sesuatu yang nyata. 

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Sigit Pamungkas menegaskan persoalan ancaman siber dalam pemilu bukan hanya sekadar persoalan hasil pemilu. Sebab di Indonesia, hasil Pemilu masih berbasis rekapitulasi manual. 

"Ancaman siber itu dapat mengganggu kepercayaan publik dan sistem demokrasi dan kehidupan berbangsa. Ini lebih substansif," katanya dalam diskusi 'Tantangan Keamanan Siber dalam Pemilu 2019' di Akmani Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (6/12).

Belanda, Amerika dan Prancis bisa dijadikan contoh negara yang pernah berhadapan dengan ancaman siber dalam penyelenggaraan Pemilu. 

"Di Indonesia setelah Pemilu 2014, Pilkada 2015 dan 2017, untuk pertama kalinya hasil Pilkada 2018 tidak berhasil ditampilkan dalam sistem informasi penghitungan suara (Situng)," katanya. 

Sehingga, masalah peretasan dan disinformasi masih menjadi ancaman serius dalam keamanan siber atas proses kepemiluan. 

Ancaman siber itu, tidak hanya mengancam kepada penyelenggara Pemilu saja, namun dapat juga menyerang semua pemangku kepentingan dalam Pemilu. Seperti, peserta pemilu bahkan publik sekalipun.

Maka itu, diperlukan adanya kerjasama oleh seluruh pemangku kepentingannya untuk keamanan siber dalam Pemilu 2019. 

Sponsored

"Penggabungan sumberdaya, keahlian dan intelijen siber yang dilakukan secara terbuka menjadi kunci keamanan siber dalam pemilu," katanya. 

Meskipun KPU sebagai lembaga yang mandiri, tetapi tidak bisa KPU bekerja sendiri dalam menghadapi ancaman keamanan siber, disebabkan adanya keterbatasan kemampuan, baik itu dari segi infrastruktur, sumberdaya bahkan keahlian. 

"Oleh karena itu, penyelenggara pemilu harus membangun kolaborasi dengan peserta pemilu, pemerintah, dan masyarakat sipil, bahkan jika diperlukan dunia intemasional untuk memastikan keamanan siber dalam penyelenggaraan pemilu," katanya. 

Tentunya, kolaborasi tersebut dilakukan secara terbuka dan terukur. KPU sebagai aktor utama yang mengkoordinir itu semua. 

Wakil Direktur IT Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Nur Imam menyebutkan ada tiga tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu saat ini.

"Tantangan pertama yaitu DPT (daftar pemilih tetap) bersih yang harus diselesaikan oleh penyelenggara Pemilu," katanya di Hotel Akmani, Menteng, Jakarta Pusat (6/12). 

Dia melihat, hingga saat ini DPT masih bermasalah. Meski KPU telah beberapa kali melakukan rilis DPT hingga hasil perbaikan ketiga, namun belum mendapatkan jumlah pemilih di Indonesia. 

Tantangan kedua yang harus dihadapi oleh KPU yaitu akurasi penghitungan suara. 

Meskipun Indonesia masih menggunakan sistem penghitungan secara manual, namun sistem IT yang menjadi penunjang informasi kepada masyarakat juga perlu diperkuat. 

Tantangan ketiga yaitu pentingnya KPU membuat keterbukaan dan kemudahan akses tentang Kepemiluan kepada masyarakat. 

"Kadang pada saat kami mau mengakses hasil KPU, tidak bisa buka," katanya. 

Maka itu, dia berpendapat untuk mengelola keterbukaan akses tersebut membutuhkan tim keamanan siber yang kuat, sehingga tidak mudah dihack.

Hal tersebut bertujuan agar masyarakat juga mudah mendapatkan informasi dan pendidikan politik.

"Mudah-mudahan ketiga tantangan tersebut bisa diselesaikan bersama-sama," harapnya. 

Berita Lainnya
×
tekid