sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sekjen: NU tak bisa didikte, termasuk oleh China

NU membantah mendapat fasilitas dari pemerintah China agar tak memberi komentar negatif ihwal kondisi muslim Uighur.

Gema Trisna Yudha
Gema Trisna Yudha Selasa, 17 Des 2019 16:10 WIB
Sekjen: NU tak bisa didikte, termasuk oleh China

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmy Faishal Zaini membantah tudingan Wall Street Journal ihwal sikap NU terhadap kondisi muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, China. Media asal Amerika Serikat itu menyebut NU mendapat fasilitas untuk mempengaruhi sikap mereka terhadap muslim Uighur.

"Pemberitaan itu sama sekali tidak benar. Tidak ada aliran dana apapun bentuknya terkait dengan isu Muslim Uighur," kata Helmy kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/12).

Dia mengatakan, NU tidak dapat didikte siapapun, termasuk China. Menurutnya, NU sejak awal telah memiliki sikap yang jelas terhadap persoalan kemanusiaan etnis Uighur di Xinjiang. 

Pada prinsipnya, kata dia, NU menolak segala bentuk kekerasan dan perlakuan yang mencederai kemanusiaan.

"Nahdlatul Ulama merupakan organisasi sosial keagamaan yang independen, tidak terikat, dan tidak bisa didikte oleh pihak manapun," katanya.

Tak hanya NU, Majelis Ulama Indonesia dan Muhammadiyah juga disebut Wall Street Journal menerima suap lewat bantuan dan donasi dari pemerintah China, agar tak memberi komentar negatif tentang kondisi Uighur. 

Tuduhan tersebut berawal dari adanya kunjungan 15 orang delegasi ormas Islam dan tiga wartawan Indonesia ke kawasan Xinjiang. Kunjungan dilakukan agar mereka melihat kehidupan etnis Uighur dalam mengekspresikan keagamaannya.

Pihak Wall Street Journal menduga rombongan delegasi mendapat bermacam fasilitas yang masuk dalam kategori gratifikasi. Pemberian tersebut merupakan upaya pihak China untuk membungkam ormas Islam Indonesia, agar tak memberi komentar negatif ihwal Uighur.

Sponsored

Ketua Hubungan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah Muhyiddin Junaidi, yang menjadi bagian dalam delegasi tersebut, menilai pemerintah China telah mengatur kunjungan tersebut agar etnis Uighur tampak dapat menjalankan aktivitas keagamaannya dengan baik. Padahal terjadi banyak pembatasan kehidupan Uighur termasuk spionase dan tindakan represif China terhadap etnis minoritas di kawasan itu.

Politis

Anggota Komisi I DPR Willy Aditya menilai ada kepentingan politik dalam artikel yang dipublikasikan Wall Street Journal. Bagi Willy, NU dan Muhammadiyah merupakan representasi muslim Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Dia menjelaskan, dua ormas Islam terbesar di Indonesia itu pernah melakukan observasi dengan mengumpulkan data dan fakta langsung ihwal persoalan Uighur. Desakan dua ormas itu, kata dia, juga berhasil membuka akses kunjungan ke fasilitas yang oleh media barat disebut kamp konsentrasi, karena tertutup dari orang luar.

"Kedua ormas terbesar itu justru menunjukkan kelasnya sebagai aktor yang menjaga perdamaian dunia. Mereka sangat berhati-hati dalam bersikap dan mengesampingkan tendensi dan kepentingan pragmatis. Justru dengan tingginya interaksi dengan pemerintah China, Indonesia bisa mengajak China menemukan solusi-solusi damai," kata Willy menjelaskan.

Dia menegaskan, sikap Indonesia terhadap kasus Uighur tidak boleh didasarkan pada sentimen-sentimen yang justru dapat merugikan semua pihak. Membela hak asasi manusia warga Uighur harus ditandaskan pada prinsip kemanusiaan dan imparsialitas.

"Kita bisa belajar dari perubahan sikap Turki menanggapi kasus Uighur ini. Dari sebelumnya mendukung suara Amerika dan memojokkan China, berubah total. Setelah tahun 2017 ini, justru mendukung suara China karena ada kepentingan politik-ekonominya. Kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pragmatis semacam itu," ucapnya. (Ant)

Berita Lainnya
×
tekid