sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sengsara atlet selama pandemi: Dari jual mobil hingga jadi tukang sayur

Kompetisi olahraga kontak fisik mati suri sepanjang pandemi. Banyak atlet banting setir.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 12 Jan 2021 17:32 WIB
Sengsara atlet selama pandemi: Dari jual mobil hingga jadi tukang sayur

Kehidupan gelandang Persatu Tuban, Wahyu Army, berubah total sejak pandemi Covid-19 membekap Indonesia. Tak lagi "diperbolehkan" merumput, pemuda berusia 26 tahun itu kini harus beralih profesi menjadi tukang sayur keliling. 

Profesi dadakan itu dilakoni Wahyu sejak lima bulan terakhir. Ia memutuskan jadi tukang sayur keliling setelah bosan menunggu kepastian dari penyelenggara dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

"Ya, akhirnya supaya tetap ada pemasukan, saya jualan sayur. Saya enggak ngira akhir kompetisi 2019 itu bakal ada (pandemi) begini. Sampai kompetisi enggak berputar sama sekali," ujar Wahyu kepada ujar Wahyu kepada Alinea.id, Jumat (8/1).

Liga sepak bola di Indonesia, baik itu Liga 1, 2, dan 3, ditangguhkan sejak awal Maret 2020, tak lama Presiden Jokowi mengumumkan kasus Covid-19 perdana. Wacana untuk melanjutkan kompetisi sempat tercetus pada September 2020. Namun, wacana itu langsung redup setelah Polri menolak keras. 

Hingga tahun berganti, liga mati suri. Bagi Wahyu, tak ada kompetisi berarti tak ada pemasukan. Dari hasil riset kecil-kecilan di Youtube, Wahyu kemudian terinspirasi untuk mencoba peruntungan jadi tukang sayur. 

"Saya sempat trial bersama Putra Sinar Giri (PSG), soalnya awal 2020 itu ada rencana Liga 2 mau diputar, tapi tidak ada kabar jelasnya sampai sekarang. Saya cari-cari di YouTube. Nah, saya lihat yang cocok buat saya, ya, dagang sayur karena waktunya fleksibel," ujar dia. 

Setiap pagi, Wahyu berburu sayur di Pasar Slogohimo, Wonogiri, Jawa Tengah. Sorenya, Wahyu tetap berlatih. Meski tak punya klub, ia masih berharap meniti karier sebagai pesepak bola. "Jualan sayur ini untuk sementara saja," ujar pemuda asli Wonogiri itu. 

Gelandang Persatu Tuban Wahyu Army (kiri) saat sedang berjualan sayur. Foto dok pribadi.

Sponsored

Bagi Wahyu, pandemi bukan hanya berdampak pada situasi ekonomi saja. Sebagai seorang gelandang, usia Wahyu tergolong usia emas. Ia khawatir kemampuannya mengolah si kulit bundar luntur lantaran tak pernah berlaga di liga kompetitif. 

"Yang muda-muda kaya kita ini lagi semangat-semangatnya. Enggak ada liga kan kasian. Liga lain juga sudah diputar semua. Cuma liga Indonesia ini aja yang enggak. Di beberapa (negara), bisa kok (liga berlanjut) dengan protokol kesehatan," kata dia. 

Nasib serupa juga dialami Naya Sahid, eks pemain Persitara Jakarta Utara. Menurut Naya, manajemen Persitara tidak merekrut dan mengontrak pemain lagi setelah kompetisi Liga 3 mati total dihantam pandemi. 

"Jadi, setelah itu (Liga 3 berakhir pada 2019) enggak ada ikatan lagi. Pemain jalan masing-masing. Soal seleksi juga belum ada kabar. Benar-benar enggak ada pemasukan saya," ucap Naya. 

Supaya dapur bisa tetap ngebul, Naya menjual jasa sebagai pemain "cabutan" pada kompetisi antarkampung alias tarkam. Sekali bertanding, Naya mengaku dibayar sekitar Rp500 ribu. 

"Saya biasa tarkam di Serang sama di Indramayu. Itu pun sebulan sekali atau dua kali. Selain itu, kadang-kadang suka diminta bantu orang. Bantu saudara, lalu kadang diupahin," ujar Naya. 

Seperti Wahyu, ia berharap liga sepak bola di Indonesia bisa kembali dilanjutkan seperti liga-liga sepak bola profesional di Eropa. "Biar Indonesia bolanya jalan lagi. Biar kami bisa cari nafkah lagi," kata dia.

Ilustrasi atlet tinju. /Foto unsplash

Jual mobil pribadi 

Tak hanya sepak bola, pandemi juga mematikan kompetisi tinju. Sejak pandemi bergulir, tak ada lagi baku hantam di ring. Mayoritas sasana pun sepi. 

Mati surinya kompetisi bikin sebagian besar petinju tak punya penghasilan. Salah satunya ialah Stevi Ferdinandus, atlet tinju asal Ambon, Maluku. 

"Tinju benar-benar tiarap. Para petinju dalam kondisi tidak baik saat ini karena tidak ada ada pertandingan," kata pria yang akrab disapa Ongen itu kepada Alinea.id, Jumat (8/1) lalu. 

Supaya bisa bertahan hidup, Ongen bahkan terpaksa menjual mobil pribadinya. Duit hasil jual mobil dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan modal usaha. "Selain itu, uangnya juga saya kasih ke teman-teman petinju yang sedang kesulitan karena enggak memiliki pekerjaan," kata Ongen. 

Setelah pekerjaan utamanya hilang, Ongen kini membuka jasa latihan tinju secara privat. Bersama sang istri, ia juga berjualan daging rica-rica. "Supaya bisa menutupi kebutuhan," imbuh pria berusia 38 tahun itu. 

Menurut Ongen, kehidupan para petinju langsung ambruk lantaran dunia tinju selama ini tidak dikelola secara profesional dan minim promotor. Ia mencontohkan tak adanya kewajiban membayar tiket masuk gelangang tinju bagi penonton. 

Di Singapura, kata Ongen, duit tiket biasanya ikut mengalir ke kantong petinju. "Mereka ajarkan itu supaya dari uang pembayaran tiket itu keberlangsungan kompetisi dan (kesejahteraan) petinju juga lebih terjamin," ujar mantan juara PABA Australia 2012 itu. 

Selama pandemi, menurut Ongen, ia dan rekan-rekannya belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Ia juga tak berharap banyak. Ongen hanya ingin ring tinju kembali dibuka sebagaimana yang dilakukan negara-negara tetangga, seperti Thailand, Singapura, dan Filipina. 

"Kami ingin izin pertandingan dibuka dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Buatlah izin untuk petinju bertanding, beri kesempatan petinju untuk bertanding biar mengurangi kemiskinan dalam keadaan seperti ini. Kalau kami terpojok terus, apa yang mau kami lakukan," kata dia. 

Berita Lainnya
×
tekid