sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sengsara warga tatkala banjir jadi tradisi di Bekasi 

Hingga kini, Bekasi belum punya sistem pengendalian aliran air sungai yang mumpuni.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 23 Mar 2023 06:19 WIB
Sengsara warga tatkala banjir jadi tradisi di Bekasi 

Menyaksikan langit yang kian gelap, Sarmili, 57 tahun, buru-buru membereskan perkakas yang berserakkan di depan gudangnya di Gang Cue, RT 06, RW 01, Duren Jaya, Bekasi, Jawa Barat, Senin (20/3). Meskipun pekerjaannya belum rampung, Sarmili tak mau ambil risiko. 

"Soalnya, kayaknya bentar lagi mau hujan. Bisa tinggi air di sini. (Tinggi air) bisa sepinggang biarpun hujan enggak gede. Gimana enggak pusing?" kata Sarmili saat berbincang dengan Alinea.id di Gang Cue. 

Sore itu, Sarmili mendapat pesanan pekerjaan memperbaiki meja dagang milik seorang penjual sayur di Pasar Baru Bekasi. Berbasis pengalamannya selama dua tahun terakhir, ia paham harus segera "mengungsi" saat hujan melanda Gang Cue. 

Terletak di cekungan dan dikepung dataran tinggi Pasar Baru Bekasi, Gang Cue mudah terendam air. Menurut Sarmili, jika hujan deras melanda hingga lebih tiga jam, semua rumah di Gang Cue bahkan tidak bisa ditempati. 

"Pada ditinggal sementara rumah kalau air sepinggang. Kata orang Kecamatan Duren Jaya, gorong-gorong air buat di kali (Bekasi) ini bermasalah. Makanya, air enggak ketahan di sini. Lama-kelamaan banjir," ujar Sarmili.

Sarmili sudah tinggal hampir 17 tahun di Gang Cue. Beberapa tahun lalu, ia pindah ke kontrakan baru yang jaraknya sekitar 30 meter dari kontrakan lama. Sarmili terpaksa pindah karena rumah sewanya yang lama terendam air yang tak kunjung surut. 

Kala itu, Sarmili bahkan harus merelakan sejumlah perabotan yang rusak terendam air. "Berlumpur rumah saya. Gimana tidurnya. Seperti kulkas, rak piring dan macam-macam. Masih ada di sana enggak bisa diselamatin," imbuh dia. 

Menurut Sarmili, banjir kian parah sejak 2020. Tak lagi surut sendiri, air bah bahkan perlu disedot supaya rumah warga tak terendam. Itu pun tak pernah cukup untuk sepenuhnya menghilangkan genangan. "Kalau cuma disedot, hujan dikit, kerendam lagi," kata Sarmili. 

Sponsored

Bangunan-bangunan Gang Cue terdiri dari rumah petak dan rumah kontrakan. Setidaknya ada sekitar 30 rumah di gang itu yang tergenang. Rumah-rumah itu terlihat lusuh dan lembab. Di depan sejumlah rumah, perabotan seperti kasur, meja, dan kursi dibiarkan berserakan tak terurus. 

Air juga menggenangi jalanan di Gang Cue. Pada sejumlah titik, lumpur menumpuk hingga 15 centimeter. Lumpur yang bercampur dengan air membuat kondisi permukiman di Gang Cue tampak kumuh dan tak layak ditinggali.

Sarmili (kanan), 57 tahun, tengah mereparasi meja dagangan di Gang Cue, Duren Jaya, Bekasi, Jawa Barat, Senin (20/3). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Meskipun kondisinya memprihatinkan, Azimar, 67 tahun, memilih bertahan. Tinggal di Gang Cue sejak 1986, ia berharap situasi bakal membaik. Rumah Azimar tergolong lebih tinggi ketimbang mayoritas rumah di gang tersebut. 

"Sekarang, (kalau banjir) air bisa masuk ke rumah. Tingginya nyaris sepaha. Padahal, dulu enggak pernah ada cerita air masuk ke rumah. Ini ada apa?" ucap Azimar kepada Alinea.id

Meski pasrah, Azimar selalu dihantui cemas saat hujan tiba. Ia takut rumahnya bakal bernasib serupa seperti rumah-rumah tetangganya yang telah tergenang air yang tak kunjung surut. Azimar sudah mengungsikan sebagian besar perabotan rumah ke lantai dua. 

"Kulkas saya taruh (lantai) atas. Beberapa peralatan elektronik juga saya bawa ke atas. Soalnya, air masuk terus. Kalau begini terus, ya, mau bagaimana," ujar perantau asal Padang, Sumatera Barat, itu.

Tak hanya di gang-gang, banjir juga rutin menyapa warga perumahan di Duren Jaya, Bekasi. Daeng Saadi, 50 tahun, salah seorang warga setempat, menuturkan perumahan-perumahan di kawasan Duren Jaya langganan banjir posisinya yang lebih rendah ketimbang Kali Bekasi. 

"Tapi, dulu enggak lama kayak sekarang. Paling beberapa jam udah surut. Sekarang, banjir bisa berhari-hari semenjak banyak perumahan dibangun di daerah sini," kata Daeng saat ditemui Alinea.id di tepi Kali Bekasi, Senin (20/3).

Daeng tinggal di Bekasi sejak awal 1990-an. Ketika itu, menurut dia, kebanyakan area di Duren Jaya masih berupa rawa. Perumahan warga masih minim. Pusat perdagangan dan industri juga belum banyak dibangun di kawasan yang masuk area Bekasi timur itu. 

"Baru berasa sekarang. Apalagi daerah sini banyak cekungan. Dulu mungkin kantong air daerah sini. Makanya, jangan heran kalau di sini banyak perumahan yang letaknya lebih rendah dari kali. Di sini banyak empang dulu," ucap perantau asal Sulawesi Selatan itu. 

Di Bekasi selatan, banjir juga jadi persoalan klasik yang dihadapi warga perumahan Pondok Surya Mandala. Aditya, 29 tahun, warga Pondok Surya Mandala, menyalahkan sistem pembuangan air yang buruk sebagai penyebab rutinnya banjir melanda permukiman. 

"Paling parah terjadi pada 2020 dan 2021. Jadi, surutnya pun lama. Terakhir, pas awal tahun ini, hujan terus. Airnya surut bisa dua sampai tiga hari," ujar Aditya kepada Alinea.id, Rabu (22/3).

Aditya lahir dan besar di Bekasi. Ia bercerita banjir semakin rutin melanda sejumlah kawasan di Bekasi selatan sejak awal 2000. Menurut Aditya, kawasan Bekasi selatan memang rawan banjir karena bukan daerah kantong air.

"Tercatat, banjir yang pernah parah itu pada tahun 2007 atau dulu disebut banjir lima tahunan itu. Kemudian, setelah 2017 sampe sekarang, kalau hujan deres, pasti banjir," jelas dia. 

Air menggenang di depan pintu rumah warga di Gang Cue, Duren Jaya, Bekasi, Jawa Barat, Senin (20/3). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Puluhan titik 

Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Kasie RR) Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi, Idham Chalid membenarkan bencana banjir semakin rutin melanda Bekasi dalam beberapa tahun terakhir. Ia memperkirakan frekuensi dan intensitas banjir meningkat sejak tahun 2000. 

"Semakin sering terjadi banjir karena terlalu masif pembangunan di Bekasi... Memang Kota Bekasi ini termasuk sedang membangun. Jadi, pembangunan menyebabkan banyak menghilangnya kantong air dan resapan," ujar Idham kepada Alinea.id, Selasa (21/3).

Idham mencatat banjir terparah di Kota Bekasi terjadi pada awal 2020. Kala itu, banyak tanggul di Bekasi yang jebol karena tidak mampu menahan debit air dari hujan yang berlangsung selama lebih dari 6 jam. Gang Cue dan perumahan dosen IKIP di Pondok Gede termasuk jadi kawasan yang terendam. 

"Bahkan, daerah itu sering banjir bila memang hujannya itu lebat dan lama. Lebih dari tiga jam, (tinggi air) bisa sampai 80 centimeter. Walaupun di sana sudah disediakan pompa, percuma juga. Jadi, kalau Kali Buaran (salah satu sungai di Bekasi) airnya tinggi, kan sulit juga," ujar dia. 

Idham mengungkapkan ada sekitar 94 titik banjir di Kota Bekasi yang berdekatan daerah aliran sungai (DAS). Titik-titik itu tersebar di 6 kecamatan di Bekasi. Jika hujan deras, area yang berada di titik tersebut biasanya terendam air. 

"Yang paling kami khawatirkan bila ada pertemuan Kali Cikeas dan Kali Cileungsi. Jadi, bahaya bila hujan besar di Bogor di Sungai Cikeas dan Cileungsi. Ada juga 6 Kecamatan yang dilalui Kali Bekasi. Walaupun tidak hujan, tapi kalau ngomong (air limpahan dari) wilayah Bogor, (bisa saja terjadi banjir)," kata Idham.

Menurut Idham, aliran air dari Kali Cileungsi dan Kali Cikeas yang mengalir ke Kali Bekasi semestinya bisa diurai ke kantong-kantong air, seperti embung dan waduk. Dengan begitu, tidak semua aliran air dari kawasan atas mengarah ke Kota Bekasi yang letaknya lebih rendah.

Sayangnya, hingga kini Kota Bekasi belum memiliki sistem pengendalian air sungai yang memadai. Limpahan air dari sejumlah sungai saat hujan deras, kata Idham, terkadang hanya bisa dikendalikan dengan imbauan bahaya banjir.

"Air itu akan segera ke Jatiasih. Kemudian ada Bantargebang yang dilalui Kali Bekasi. Walaupun hujan di sana, tapi nanti di hilirnya seperti Teluk Pucung di Bekasi Utara itu, yang memang lokasinya di bawah, itu akan terjadi genangan air sampai 110 centimeter," ucap Idham.

Kawasan paling menderita, kata Idham, ialah kawasan permukiman warga di utara Bekasi jika air dari Kali Cikeas dan Cileungsi tidak dikendalikan. Selain karena hujan deras, kawasan utara juga rentan mengalami banjir karena luapan air dari Kali Bekasi karena berada di posisi terendah. 

"Juga banyak ditemui di Bekasi utara itu yang datarannya sama seperti bibir kali. Jadi, kalau (ketinggian air di) kali sudah melebihi batas normal dan naik jadi otomatis itu sudah sampai 1 meter lebih. Itu artinya air meluap dari pertemuan Cileungsi-Cikeas di wilayah Kali Bekasi ," kata Idham.

Idham mengatakan BPBD Bekasi sebenarnya sudah merekomendasikan pembangunan banyak embung dan waduk di Bekasi. Usul itu sempat disampaikan dalam rapat gabungan antara Pemkot Bekasi dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sejauh ini, Pemkot dan Kemen PUPR baru menggelar pemetaan. 

"Jadi, memang terjadi kemajuan sangat pesat Kota Bekasi ini. Tentunya, ini harus diimbangi. Misalnya, bila perumahan membangun, harus diimbangi saluran yang besar. Jadi, nanti bisa menampung. Jika air hujan itu banyak, bisa dibuang ke waduk buatan dari perumahan," ujar Idham.

Selain di Kota Bekasi, banjir juga kian rutin menimpa Kabupaten Bekasi. Februari lalu, banjir yang menerjang di sejumlah titik di Kabupaten Bekasi bahkan sempat memaksa 101.568 warga mengungsi dan menyebabkan sekitar 6.000 hektare sawah terendam.

Ilustrasi banjir karena luapan sungai di Bekasi. /Foto Antara

Menata aliran sungai

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga memandang banjir rutin menerjang Bekasi lantaran masifnya pembangunan tidak dibarengi penataan aliran sungai. Apalagi, Bekasi berada di kawasan yang dulunya rawa yang sebenarnya secara alami merupakan tempat parkir air.

"Badan sungai itu juga harus ditata agar terhubung dengan danau, embung, waduk sebagai pengendali banjir dan sumber air baku warga. Pembangunan di Bekasi tidak diimbangi dengan pembenahan," kata Nirwono kepada Alinea.id, Rabu (23/3).

Jika dibandingkan dengan daerah penyangga ibu kota lainnya semisal Bogor, Tangerang, dan Depok, menurut Nirwono, gerak pembangunan di Bekasi merupakan yang paling masif. Sayangnya, progres itu tidak disertai upaya-upaya serius untuk memitigasi bencana, khususnya banjir. 

"Tangerang karena tidak terlalu masif perkembangan industrinya, lebih banyak ke properti, sehingga dampak kerusakan lingkungannya tidak terlalu parah. Meskipun penanganan banjirnya juga tidak terlalu bagus jika berkaca pada kasus banjir di Tangsel dan kota Tangerang setiap kali musim hujan," ucap Nirwono.

Sebagai solusi mengantisipasi banjir, Nirwono menyarankan agar Pemkot Bekasi membenahi badan sungai, mulai dari melancarkan aliran sungai hingga mencegah pendangkalan. Tak kalah penting ialah membangun danau, embung, dan waduk untuk mengurai limpahan air saat hujan.

"Selain itu, pemerintah perlu mengendalikan pembangunan infrastruktur masif yang menghabisi daerah-daerah resapan air, serta memperbanyak RTH (ruang terbuka hijau) baru sebagai daerah resapan air," ujar Nirwono.
 

Berita Lainnya
×
tekid