sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Senyap di balik layar pembahasan RKUHP dan gertak protes jilid 2

Mahasiswa berencana turun ke jalan menggelar aksi lagi jika RKUHP disahkan DPR pada Juli nanti.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 24 Jun 2022 06:38 WIB
Senyap di balik layar pembahasan RKUHP dan gertak protes jilid 2

Beberapa aktivis dan praktisi hukum menemui Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej di Kantor Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Jakarta, Selasa (14/6) sore. Pertemuan itu bertujuan membicarakan wacana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Juli nanti.

Persamuhan yang berlangsung nyaris dua jam itu menghangat begitu 15 aktivis dari berbagai organisasi yang menamakan diri mereka Aliansi Nasional Reformasi RKUHP menanyakan perihal pasal-pasal kontroversial yang tertunda sejak 2019.

“Tidak ada jawaban pasti dari Prof Eddy (Edward Omar Sharif Hiariej),” ujar pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Citra Referandum yang ikut pertemuan itu kepada Alinea.id, Minggu (19/6).

Sore itu, para aktivis menyerahkan daftar 24 pasal yang mesti dikaji ulang bersama publik, sesuai anjuran Presiden Jokowi ketika menunda pengesahan RKUHP pada 2019, akibat gelombang protes yang masif.

Pasal-pasal yang perlu ditinjau

Citra, yang menjadi perwakilan Aliansi Nasional Reformasi RKUHP tersebut mengatakan, pembahasan soal RKUHP cenderung tak transparan, sejak aksi penolakan pada 2019 lalu.

“Sampai hari ini, kami tidak tahu draf (RKUHP) baru hasil pembahasan yang dilakukan DPR. Kami tidak tahu, pasal-pasal yang dulu dikritik mahasiswa nasibnya seperti apa,” tutur Citra.

Sekelompok warga dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Demoklasi melakukan aksi saat berlangsung car free day di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (15/9/2019)./Foto Antara/Aprillio Akbar.

Sponsored

Seperti diketahui, pada September 2019, mahasiswa bergerak menuntut pembatalan revisi UU KPK dan meminta DPR menunda pengesahan RKUHP. Tak hanya di Jakarta, demonstrasi yang dikenal dengan aksi Reformasi di Korupsi itu menjalar ke berbagai kota besar. Beberapa pasal “bermasalah” yang menjadi sorotan mahasiswa adalah terkait penghinaan presiden dan wakil presiden, serta perzinaan.

“Pada 2019, presiden menunda RKUHP karena menginstruksikan ke Kemenkumham supaya melibatkan penuh masyarakat,” ujar Citra.

“Tapi ternyata, (RKUHP) ini mau langsung ketok palu. Artinya, Presiden Jokowi ingkar janji dan tidak menghormati prinsip-prinsip pembentukan perundang-undangan.”

Citra curiga, pembahasan RKUHP secara senyap dilakukan agar DPR dan pemerintah bisa meloloskan pasal-pasal bermasalah. Ia melanjutkan, bila publik tak dilibatkan, imbasnya bakal menambah daftar undang-undang kontroversial yang disahkan DPR, selain UU KPK dan UU Cipta Kerja.

“Bagaimana kita bisa partisipasi kalau draf juga sulit diakses?” ujar Citra.

Beberapa pasal yang menjadi sorotan Aliansi Nasional Reformasi RKUHP, di antaranya pasal 273 terkait penyelenggaraan aksi tanpa pemberitahuan, serta pasal 240 dan 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah yang sah.

Aliansi Nasional Reformasi RKUHP menyatakan, tak ada alasan untuk tak menghapus pasal-pasal tersebut. Sebab, ketentuan tadi dianggap dapat mengancam kebebasan sipil dan tak relevan di negara demokratis. Kejelasan mengenai delik materil pun masih bermasalah.

Suasana Rapat Paripurna DPR RI soal penetapan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (22/1)/Foto Antara/Puspa Perwitasari.

Kemudian pasal 353 dan 354 terkait penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Dalam laporannya, Aliansi Nasional Reformasi RKUHP menjelaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) menekankan soal persamaan kedudukan antara pejabat dan warga negara. Dengan demikian, seharusnya cukup hanya mengatur penghinaan dalam konteks perlindungan reputasi orang, bukan institusinya.

Lalu, pasal 439 tentang pencemaran nama baik. Menurut Aliansi Nasional Reformasi RKUHP, sesuai dengan komentar umum International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) nomor 34 tentang kebebasan berekspresi, seharusnya negara-negara peserta ICCPR, temasuk Indonesia, mempertimbangkan untuk melakukan dekriminalisasi penghinaan dalam setiap kasus, penerapan hukum pidana harus hanya dalam kasus yang sangat serius, dan pidana penjara tak pernah menjadi hukuman yang tepat.

“Harusnya pasal ini dikembalikan menjadi aspek perdata, kalaupun pidana, ancaman pidahanya hanya denda,” tulis Aliansi Nasional Reformasi RKUHP dalam laporannya.

Di luar itu, Citra mengatakan, masih ada pasal-pasal lain di dalam draf RKUHP 2019 yang perlu ditinjau dan dibahas bersama secara substansial. Misalnya pasal-pasal soal perzinaan, pidana mati, dan penodaan agama.

"Kami juga minta pasal-pasal tersebut dihapus dari RKUHP," kata Citra.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengaku, saat pertemuan dengan pemerintah—diwakili Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej—belum ada jaminan RKUHP bakal ditunda pengesahannya dan melibatkan publik dalam pembahasannya.

“Wamenkumham hanya berterima kasih atas masukan Aliansi Nasional Reformasi RKUHP,” kata Isnur, Selasa (21/6).

Namun, Isnur menerangkan, Edward mengakui masih ada beberapa masukan dari aliansi yang sangat penting dan patut dipertimbangkan untuk merevisi RKUHP. Meski begitu, Isnur enggan menyebut pasal apa saja yang penting untuk direvisi.

“Ada beberapa substansi yang ia setujui, tetapi memerlukan juga persetujuan DPR," kata Isnur.

Bakal mengundang protes

Terpisah, anggota Komisi III DPR dari fraksi PKS Muhammad Nasir Djamil mengatakan, tak ada pembahasan substansi lagi setelah RKUHP diprotes mahasiswa pada 2019. Ia mengaku, rapat mengenai pembahasan RKUHP hanya dilakukan sekali dengan Wamenkumham, sebelum nantinya disahkan.

“Waktu itu, Komisi III (DPR) mengundang pihak pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM untuk mempertanyakan atau coba melihat,” ujar Nasir saat dihubungi, Selasa (21/6).

Ia berujar, pada pertemuan tersebut, pemerintah tak mempersoalkan substansi RKUHP. Dari sana timbul kesepakatan untuk mengesahkan RKUHP.

Nasir sempat menanyakan terkait pasal-pasal yang masih dipermasalahkan koalisi masyarakat sipil. Berkaca dari gelombang protes besar-besaran pada 2019, ia menyarankan agar koalisi masyarakat sipil tetap harus diberi ruang partisipasi untuk membedah RKUHP.

“Dari pemerintah sepertinya tidak punya masalah,” tuturnya.

 Mahasiswa yang melakukan unjuk rasa pada Selasa (24/9) di depan Gedung DPR-MPR makin membludak.Alinea/Akbar Ridwan

"Kami berharap agar pemerintah dan DPR bisa memberi ruang kepada elemen masyarakat sipil yang ingin memberikan masukan atau mendengar bagaimana nasib pasal-pasal yang kontroversial itu."

Nasir melihat indikasi penolakan mulai terjadi, usai rapat dengar pendapat Komisi III dan Wamenkumham pada 25 Mei lalu. “Kami ini lembaga politik. Sehingga pengesahan itu juga perlu melihat situasi politik,” ucapnya.

Walau ia mengakui tak ada perubahan substansi RKUHP, tetapi tetap ada draf baru. Karena setiap perubahan sedikit di dalam RKUHP akan ada draf baru.

"Soal pembahasan yang menjadi debatable atau perlu dibahas kembali atau tinggal diputuskan ke tahap kedua, itu perlu," katanya.

Lebih lanjut, Nasir mengemukakan, sebenarnya bola saat ini ada di pemerintah, apakah ingin melibatkan partisipasi publik terlebih dahulu atau tidak, sebelum mengesahkan RKUHP.

“Pemerintah dan DPR perlu merespons suara dari masyarakat sipil, yang menginginkan adanya pembahasan terkait pasal-pasal kontroversial,” tutur dia. “Seperti pasal penghinaan presiden.”

Di sisi lain, Koordinator Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI) Kerakyatan Abdul Kholiq mengatakan, bakal turun ke jalan jika pasal-pasal yang bermasalah tetap tak digubris pemerintah dan DPR.

“Kami akan meneruskan perjuangan di 2019,” katanya, Senin (20/6).

Abdul mengatakan, tengah melakukan konsolidasi di seluruh daerah dengan koalisi masyarakat sipil untuk merancang aksi penolakan pengesahan RKUHP. Dirinya khawatir, RKUHP bakal lolos begitu saja dengan pasal-pasal kontroversial, bila tak segera disikapi.

Infografik RKUHP. Alinea.id/Debbie Alyuwandira

“RKUHP merupakan agenda yang bakal cepat dilakukan DPR untuk pengesahan dan seringkali senyap,” tutur dia.

“Ini selalu yang kita pertanyakan sebenarnya.”

Menurut Abdul, pemerintah dan DPR sudah ingkar dengan komitmennya yang akan melibatkan parisipasi publik dalam pembahasan RKUHP. Sebab pada kenyataannya, RKUHP akan disahkan tanpa menimbang masukan publik dan tak ada akses draf baru.

“Kami akan selalu mengingatkan bahwa dentuman (demonstrasi) besar itu terjadi sama dengan 2019,” ucap Abdul.

Abdul mengatakan, beberapa aliansi BEM SI di sejumlah daerah sudah menggalang massa untuk mempersiapkan aksi. “BEM SI ada 12 wilayah seluruh Indonesia. Kami akan besar-besaran melakukan aksi di setiap titik,” ujarnya.

Dihubungi pada Senin (20/6), Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Muhammad Abid pun mengaku mulai melakukan konsolidasi, jika RKUHP dipaksa disahkan pada Juli nanti. Abid sudah mendengar kabar beberapa elemen mahasiswa menggalang massa untuk demonstrasi.

“Tapi kami akan rapat terlebih dahulu, apa sikap yang akan diambil,” ujar Abid.

Berita Lainnya
×
tekid