sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sepak terjang FPI dan polemik perpanjangan izin ormas

Polemik perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT) Front Pembela Islam (FPI) di Kemendagri terus bergulir hingga kini.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 13 Jun 2019 17:04 WIB
Sepak terjang FPI dan polemik perpanjangan izin ormas

Masa berlaku perpanjangan izin organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI) menjadi sorotan publik. Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan disebut, ormas yang tak berbadan hukum perlu mengurus perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT).

Dilansir dari situs resmi Kementerian Dalam Negeri diketahui, FPI ditandai dengan nomor surat keterangan terdaftar (SKT) 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014. Masa berlaku surat keterangan terdaftar FPI dari 20 Juni 2014 hingga 20 Juni 2019.

Beragam tanggapan dari publik terkait perizinan ormas yang sudah berdiri nyaris 21 tahun itu pun mengemuka. Salah satunya petisi di Change.org yang dibuat seseorang bernama Ira Bisyir pada Mei 2019, yang menginginkan Kemendagri menolak perpanjangan izin FPI. Perkaranya, FPI punya banyak catatan “miring”.

Jejak hitam dan kekuasaan

Di dalam buku Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (2002) Khamami Zada menulis, FPI diresmikan pada 17 Agustus 1998 di Pondok Pesantren Al-Umm, Ciputat, Jakarta Selatan.

Menurut Ian Douglas Wilson dalam bukunya Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018), mulanya FPI dikenal sebagai bagian dari Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pamswakarsa)—sebuah milisi tak tetap yang diambil dari barisan kaum miskin kota dan berbagai kelompok pemuda Orde Baru. Mereka dikerahkan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Wiranto dan Kapolri Noegroho Djajoesman untuk melawan gerakan reformasi.

Khamami Zada menulis, FPI merespons rezim penguasa secara beraneka ragam, tergantung apakah bersikap akomodatif atau tidak. Bila bersikap akomodatif, tulis Khamami, mereka akan membalasnya. Sebaliknya, jika tak mengakomodasi, mereka akan bersikap keras sebagai oposisi.

Wilson mencatat aksi kekerasan pertama yang dilakukan FPI. Peristiwa itu terjadi pada November 1998 di Ketapang, Jakarta Pusat. Saat itu, tulis Wilson, FPI memimpin serangan ke pusat kekuatan preman-preman Ambon, dan membuat 15 orang tewas. Penyerangan itu, syahdan sebagai respons atas penyerangan masjid. Selain itu, FPI pun menghajar sarang perjudian mapan.

“FPI muncul sebagai kekuatan baru di jalanan, dengan citra berjuang bukan demi uang, wilayah kekuasaan, atau patronase politik, melainkan membela Islam,” tulis Ian Douglas Wilson dalam bukunya.

Wilson menyebut, misi FPI adalah menegakkan perintah Alquran, yakni amar makruf nahi mungkar—memerintahkan kebaikan mencegah keburukan. Di dalamnya termasuk memberi perlindungan kepada orang Islam dari bahaya tindak asusila dan maksiat.

Bila dijabarkan, akan banyak sekali tindakan FPI yang bekerja main hakim sendiri. Selain menggerebek warung-warung yang buka saat bulan Ramadan, merazia tempat pelacuran, perjudian, dan klub malam, FPI juga kerap bentrok dengan massa kelompok lainnya.

Layar menyiarkan video Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab saat kampanye akbar pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. /Antara Foto

Salah satu kasus yang paling mengemuka ialah penyerangan FPI terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di sekitar Monumen Nasional, saat perayaan hari kelahiran Pancasila, 1 Juni 2008. Saat itu, dilaporkan 27 aktivis AKKBB mengalami luka-luka usai dianiaya massa FPI.

“Pilihan sasaran razia FPI sungguh diperhitungkan, sedangkan klub, bar, atau tempat bordil yang dimiliki atau dilindungi militer, ormas, atau tokoh kuat lain mereka biarkan,” tulis Wilson.

Lebih lanjut, Wilson menyebut, meski selalu beroperasi melanggar hukum dan kepentingan negara, FPI juga menjadi unsur penting dari strategi makelar kekuasaan. Terkadang konflik terbuka dengan pihak berwenang, di sisi lain menjadi mitra menjaga tertib sosial tertentu.

“Termasuk dalam hal ini, misalnya kampanyenya agar pemerintahan Sutiyoso (Gubernur DKI Jakarta 1997-2007) memperketat jam buka hiburan malam selama bulan Ramadan, memengaruhi undang-undang antipornografi dan antiminuman keras, serta musik, seperti konser bintang pop AS Lady Gaga di Jakarta,” tulis Wilson.

FPI pun kerap bersinggungan, dalam arti yang negatif maupun positif, dengan penguasa. Wilson mencontohkan, Gubernur Jawa Barat (2008-2018) Ahmad Heryawan pernah menandatangani perjanjian dengan FPI selama kampanye 2012. Jika kembali menjabat, maka Ahmad akan melarang Ahmadiyah dan menjaga suasana Islami di provinsi tersebut.

Sementara itu, Khamami Zada di dalam bukunya menulis, FPI bersikap oposan terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Presiden RI 1999-2001) lantaran menjalin persahatan dengan Israel.

Ketika masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri (Presiden RI 2001-2004), Khamami menilai, sikap FPI setengah hati. Sebab, Megawati tertutup dan berhati-hati dalam melontarkan komentar.

“FPI berkoar-koar hanya saat menolak pencalonan Megawati dan peristiwa penyerangan Amerika Serikat ke Afghanistan,” tulis Khamami.

Sikap penguasa terhadap FPI lagi-lagi tak bisa ditebak. Wilson menulis, pada 2013 Menteri Dalam Negeri (2009-2014) Gamawan Fauzi, yang kurang dari setahun sebelumnya mengancam membubarkan paksa FPI karena bertindak anarkistis, malah menyebut ormas ini sebagai aset bangsa yang harus dirangkul pemerintah.

“Prabowo juga mengulurkan tangan dan sebagai akibatnya menerima dukungan FPI bagi pencalonan presiden 2014,” tulis Wilson.

Selain petisi tolak perpanjangan izin FPI, di situs Change.org juga muncul petisi “Cabut Status WNI Rizieq Shihab”. Petisi ini dibuat seseorang dengan nama samaran 7inta Putih, dan dilayangkan sebulan lalu. Hingga Kamis (13/6), petisi itu sudah mendapat dukungan nyaris 110.000 warganet.

Sang pembuat petisi menuding Rizieq sebagai dalang di balik ancaman people power, yang digadang-gadang kubu Prabowo-Sandi. Bahkan, 7inta Putih menyebut, Rizieq berbahaya karena berhubungan dengan kelompok ISIS.

Menurut Ahmad Najib Burhani dalam tulisannya "Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan" di Jurnal Maarif edisi Desember 2016, sebelum peristiwa Aksi Bela Islam pada 2016, Rizieq hanya ulama pinggiran. Meski ia sudah menguasai ilmu agama jauh ketimbang para dai selebritas.

Namun, aksi beberapa jilid yang akhirnya sanggup secara tak langsung menjebloskan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama itu ke penjara karena dianggap menista agama, membuat FPI dan Rizieq punya kekuatan.

“Rizieq Shihab menjadi khatib dalam salat Jumat yang berpusat di Monas yang secara tak terencana, namun terjadi, dihadiri oleh Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Polhukam Wiranto, Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kapolri Tito Karnavian, dan pimpinan negara yang lain. Pada hari itu, ia seperti menjadi pimpinan dari jutaan umat Islam Indonesia. Aksi Bela Islam III (2 Desember 2016) sepertinya telah menyulapnya menjadi tokoh nasional yang tak bisa dikecilkan atau diabaikan,” tulis Ahmad Najib.

Menimbang perizinan FPI

Meski muncul petisi daring, namun pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf memandang, petisi itu tak bisa dijadikan landasan hukum untuk menolak perpanjangan izin FPI.

“Keputusan pertimbangan perpanjangan izin FPI seharusnya berdasarkan fakta otentik, data valid, dan informasi akurat,” kata Asep saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (12/6).

Segala pertimbangan tersebut, menurut Asep, seyogyanya juga harus objektif. Asep mengatakan, keputusan perpanjangan izin seharusnya juga berdasarkan hasil kajian agar tak terkesan diskriminatif.

Asep mengingatkan, polemik terkait izin FPI tetap harus selaras dengan peraturan yang berlaku. Sebab, ketuk palu izin ormas rentan melanggar hak asasi manusia, dalam hubungannya berserikat dan berkumpul, seperti yang ada dalam UUD 1945 Pasal 28 maupun Pasal 28e ayat 3.

"Misalnya, FPI tidak bisa diperpanjang alasannya apa? Apa karena banyak kegiatan FPI yang menyimpang?” ujarnya.

Apa pun keputusannya kelak, kata Asep, bisa fatal bila tak ada alasan yang kuat. Bila perlu, Asep menyarankan untuk membuat kajian, lalu membuktikan dan menjelaskannya kepada publik.

“Jadi, siapa yang keberatan? Mengapa? Apa buktinya? Dan seterusnya. Jika tidak ada, itu sewenang-wenang namanya,” ujar Asep.

Selain itu, keputusan perpanjangan izin FPI perlu mempertimbangkan kepentingan publik, yang sudah terakomodir di dalamnya. Sehingga bersih dari alasan-alasan subjektif.

Sementara itu, peneliti senior Populi Center Afrimadona mengingatkan, dalam masa sengketa hasil pilpres sekarang ini, keputusan perpanjangan izin FPI tergolong rawan ditafsirkan secara politis. Sama seperti Asep, Afrimadona menyarankan pemerintah menimbang perpanjangan izin FPI secara objektif.

“Pemerintah harus memiliki bukti-bukti yang cukup kuat dan logis sebagai bahan pertimbangannya. Pemerintah pun perlu mengkalkulasi segala dampak keberadaan FPI,” tutur Afrimadona ketika dihubungi, Rabu (12/6).

Seandainya ingin membubarkan FPI, Afrimadona mengatakan, pemerintah harus punya basis hukum yang kuat. Menurutnya, di beberapa negara, petisi memang bisa memengaruhi keputusan politik. Namun, ia menerangkan, persoalan pencabutan izin ormas adalah keputusan legal, bukan politik.

“Idealnya harus terdapat basis hukum untuk membuat keputusan legal,” ucapnya.

Gambar foto diri Habib Rizieq Shihab dalam sebuah aksi demonstrasi. /Antara Foto.

Peluang perpanjangan izin

Menanggapi polemik perpanjangan izin FPI, Direktur Organisasi Kemasyarakatan, Politik, dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Lutfi T.M.A mengonfirmasi, sejauh ini pihak FPI belum ada yang mengajukan perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT). Sehingga, pihaknya belum bisa mengambil sikap atas beredarnya petisi di Change.org.

"Petisi yang menolak maupun yang mendukung akan kami dengar. Nanti kami kaji," tutur Lutfi saat dihubungi, Kamis (13/6).

Mengenai pengajuan perpanjangan SKT, Lutfi mengatakan, prosedurnya sama persis dengan pendaftaran pertama kali, seperti mengajukan nomor pokok wajib pajak (NPWP), domisili, program kerja, sekretariat, kepengurusan, dan surat pernyataan masing-masing bersedia didapuk jadi pengurus.

Lutfi mengatakan, persyaratan pembentukan ormas pun ketat dan selektif. Akan tetapi, sepanjang memenuhi persyaratan, izin FPI akan tetap diperpanjang. Tata cara pendaftaran ormas sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2017.

Ada sejumlah persyaratan yang tak kalah penting. Lutfi mengungkapkan, ormas dilarang menggunakan lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan instansi pemerintah. Selain itu, ormas juga tak boleh saling bermusuhan dengan menggoreng isu suku, agama, ras, dan antargolongan.

Di samping itu, ormas pun tak boleh menyalahgunakan, menistakan, dan menodai agama. Kemudian, tidak melakukan aksi kekerasan, tidak melanggar ketertiban umum, serta tidak merusak fasilitas umum.

Tak hanya itu. Menurut Lutfi, sesuai ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang diteken Presiden Jokowi pada 10 Juli 2017, Pasal 59 ayat 3 huruf d, ormas tak boleh menjalankan tugas dan wewenang penegak hukum, seperti menangkap, menahan, atau investigasi.

"Jika melanggar, nanti langsung kami berikan sanksi. Tapi sebelumnya akan kami beri peringatan terlebih dahulu," ujar Lutfi.

Yang paling fatal, kata Lutfi, bila ormas sudah melanggar asas Pancasila dan UUD 1945. Maka, pengajuan izin otomatis ditolak.

"Sudah sekian puluh tahun bangsa Indonesia sepakat terhadap asas Pancasila. Kok tiba-tiba diubah, kan enggak bisa. Enak saja mau mengubahnya," kata Lutfi.

Penolakan perpanjangan izin dialami Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Gafatar pernah mengajukan SKT sebanyak tiga kali. Pertama kali, ormas ini mendaftar pada November 2011. Lantas, pada April dan November 2012, ormas ini kembali mengajukan SKT. Namun, semuanya ditolak. Ormas ini dianggap pemerintah berhalauan radikal dan dinyatakan terlarang.

Pemerintah pun membubarkan HTI pada 19 Juli 2017, dengan mencabut status badan hukum ormas tersebut. HTI dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, karena mendakwahkan doktrin khilafah.

Di sisi lain, Asep Warlan Yusuf menuturkan, jika ormas hanya melanggar ketertiban umum kemudian dibubarkan, riskan terjebak opini subjektif. Jika ormas membuat kerusuhan atau keributan, sebut Asep, solusinya bukan dibubarkan, tetapi sanksi pidana atau pembekuan.

Asep menilai, seiring dengan usianya yang hampir 21 tahun, FPI sudah memenuhi persyaratan dan prosedur SKT di Kemendagri. Menurutnya, FPI punya kebermanfaatan dalam membina kesadaran bernegara, andil dalam mencerdaskan bangsa, dan memupuk bibit persaudaraan.

“Kalau punya manfaat berarti punya peluang untuk diperpanjang kan? Beda bila merugikan masyarakat dan melanggar asas Pancasila dan UUD 1945, pasti cenderung dipertimbangkan kembali untuk tidak diperpanjang,” ujar Asep.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid