sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Si miskin dan si kaya dalam perebutan vaksin Covid-19

Meski vaksin ditemukan, pandemi Covid-19 bisa berlangsung lebih lama karena akses vaksin dikuasai negara-negara kaya.

Christian D Simbolon
Christian D Simbolon Kamis, 03 Des 2020 06:26 WIB
Si miskin dan si kaya dalam perebutan vaksin Covid-19

Drama perburuan vaksin Covid-19 hampir mencapai babak final. Tepat di penghujung November lalu, perusahaan farmasi Amerika Serikat Moderna Inc mengajukan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EAU) vaksin bikinannya ke Food and Drug Administration (FDA) AS di Washington DC. 

Kepala tim medis Moderna, Tal Zaks mengklaim vaksin bikinan mereka 94% efektif. Dari hasil uji klinis terhadap 30 ribu relawan--196 relawan di antaranya positif Covid-19--hanya satu relawan yang meninggal. Itu pun dari kelompok placebo atau kelompok relawan yang hanya diberikan obat tiruan. 

"Kami meyakini telah berhasil memproduksi vaksin yang sangat manjur. Kami punya datanya. Kami berharap bisa berkontribusi besar menghentikan pandemi ini," kata Zaks seperti dilansir Reuters, Senin (30/1) lalu. 

FDA bakal membahas izin EAU vaksin Moderna pada 17 Desember mendatang. Jika klaim Moderna valid, izin EAU hampir pasti dikeluarkan FDA. Pasalnya, FDA hanya menetapkan ambang batas efektivitas sebesar 50% untuk vaksin Covid-19. 

Usai mengantongi izin, Moderna bakal mengebut produksi vaksin. Pada akhir 2020, dua puluh juta dosis bakal siap untuk diterbangkan ke AS. Itu cukup untuk imunisasi 10 juta warga Negeri Paman Sam. 

"Pada tingkat efektivitas seperti ini, ketika hitung-hitungan dibuat berkaca pada seberapa buruk pandemi terjadi di sekeliling kita, ini luar biasa sekali," kata Zaks yang mengaku menangis saat mengetahui hasil uji klinis terakhir vaksin Moderna.  

Sebelum Moderna, perusahaan farmasi Pfizer Inc and BioNTech SE juga telah mengajukan izin EAU ke FDA. Pada pertengahan November lalu, perusahaan produsen Viagra itu mengumumkan vaksin bikinan mereka manjur hingga 95%. 

"Hasil uji klinis menandai langkah penting dalam perjalanan historis selama delapan bulan untuk menghadirkan vaksi yang mampu mengakhiri pandemi yang mematikan ini," ujar Chief Executive Officer (CEO) Pfizer seperti dikutip dari New York Times. 

Sponsored

Dalam uji klinis, Pfizer melibatkan 44 ribu relawan dari beragam jenis usia, ras, dan etnis. Sebagian disuntik vaksin, sedangkan sisanya disuntik placebo. Dari 170 kasus relawan positif Covid-19, sebanyak 162 berasal dari kelompok placebo. Sebanyak 8 relawan lainnya dari kelompok yang disuntik vaksin. Tidak ada relawan yang meninggal. 

Hasil uji klinis terakhir menunjukkan bahwa imunisasi efektif bagi semua golongan relawan. Efek samping yang paling parah--itu dilaporkan 3,7% relawan usai suntikan kedua--hanya kelelahan. Sebanyak 2% relawan lainnya melaporkan sakit kepala usai suntikan terakhir. 

"Ini cukup luar biasa. Hasil (uji klinis) untuk kelompok usia di atas 65 tahun terutama sangat menjanjikan. Kita tahu dari kasus vaksin influenza bahwa sangat sulit untuk memperoleh proteksi untuk kelompok usia ini," kata pakar imunologi dari Yale University, Akiko Iwasaki, yang turut mengkaji data hasil uji klinis vaksin Pfizer/Biontech. 

Jika EAU disetujui FDA, Pfizer mengatakan mampu menyiapkan 50 juta dosis vaksin pada akhir 2020 dan 1,3 miliar dosis pada akhir tahun depan. Seperti Moderna, sebagian besar vaksin Pfizer/Biontech bakal didistribusikan bagi warga AS terlebih dahulu. 

Ilustrasi vaksin Covid-19/Foto Pixabay

Diborong negara kaya 

Hingga kini, total ada 150 vaksin Covid-19 yang dikembangkan di seluruh dunia. Namun, World Health Organization (WHO) mencatat baru vaksin Pfizer/Biontech dan Moderna yang melaporkan efektivitas hingga di atas 90%. 

Pesaing terdekat keduanya ialah vaksin bikinan perusahaan farmasi Inggris AztraZeneca. Efektivitasnya sekitar 70%. Pabrikan vaksin lainnya melaporkan respons imun moderat dan tinggi dari hasil uji klinis. Akan tetapi, tidak ada angka persentase yang jelas yang dilaporkan ke WHO.

Meski efektivitasnya beragam--sebagian bahkan uji klinisnya belum tuntas--vaksin Covid-19 laris manis. Menurut hitung-hitungan Reuters, sudah ada sekitar 4,4 miliar dosis vaksin yang dipesan negara-negara di berbagai belahan dunia. 

Laporan Reuters menyebut AS bakal menjadi negara pengepul dosis vaksin terbesar. Per 24 November, AS dilaporkan telah mengamankan lebih dari 800 juta dosis. Untuk kebutuhan imunisasi Covid-19, AS bakal disuplai Pfizer, Moderna, AstraZeneca, Sanofi-GSK, Johnson & Johnson, dan Novavax.

Jepang ada di urutan kedua pengepul dosis vaksin terbesar dengan setelah memastikan suplai 540 juta vaksin. Suplai vaksin Negeri Matahari Terbit itu bakal didapat dari Novavax, AstraZeneca, Pfizer, dan Moderna. Inggris berada di urutan ketiga dengan "raupan" 320 juta dosis vaksin. 

Uni Eropa juga turut bergerak dalam perburuan dosis vaksin. Total lebih dari 1,4 miliar vaksin dari berbagai pabrikan yang diamankan Uni Eropa bagi negara-negara anggotanya. Mayoritas vaksin, masing-masing sebesar 300 juta dosis, diperoleh dari Sanofi-GSK, AstraZeneca, dan Pfizer.

 

Riset yang dirilis Global Health Innovation Center (GHIC) Duke University, North Carolina, AS pada November juga menemukan hal serupa. Dari hasil kajian terhadap beragam informasi publik serta wawancara dengan pakar dan pejabat kesehatan berbagai negara, GHIC mendapati negara-negara kaya mengijon vaksin bahkan sebelum terbukti efektivitasnya. 

Menurut GHIC, Uni Eropa telah mengamankan 400 juta dosis untuk negara-negara anggota dan potensial mengijon 1,6 miliar dosis lainnya. AS diperkirakan telah punya kerja sama untuk mengamankan 1,8 miliar dosis vaksin atau memastikan kebutuhan warga negaranya hingga 230%. 

"Negara-negara kaya membuat komitmen dengan perusahaan-perusahaan pembuat vaksin besar. Pada intinya, kerja sama itu memastikan bahwa dosis vaksin yang dibikin perusahaan-perusahaan tersebut dialokasikan untuk memenuhi komitmen dalam perjanjian," ujar Andrea Taylor, kepala tim peneliti dalam riset tersebut. 

Komitmen semacam itu, misalnya, tergambar dalam kerja sama pemerintah AS dan Moderna. AS menggelontorkan dana hingga US$483 juta untuk uji praklinis, tahap satu, dan tahap dua vaksin Moderna. Sebanyak US$472 juta lainnya kembali dikucurkan untuk biaya uji klinis tahap tiga. Utang itu dibayar Moderna dengan mengalokasikan sebagian besar dosis vaksin untuk AS. 

Selain negara-negara kaya, riset GHIC juga menemukan beberapa negara berpendapatan menengah juga mengijon dosis vaksin dalam jumlah besar. India dan Brasil, misalnya, disebut GHIC telah mengamankan dosis vaksin untuk imunisasi bagi setengah populasi penduduk mereka. 

Langkah AS dan negara-negara lain dalam mengamankan dosis vaksin kini ngetren dengan terminologi nasionalisme vaksin. Namun demikian, strategi semacam itu bukanlah hal baru. Pada era pandemi flu burung, negara-negara kaya juga mengijon vaksin dan menolak menjualnya sebelum kebutuhan dalam negeri terpenuhi. 

Indonesia, sebagai salah satu negara yang terparah dibekap pandemi flu burung pada 2004, bahkan harus mengantre lama sebelum mendapatkan vaksin. Ironisnya, pada 2006, perusahaan farmasi Australia sukses mengembangkan vaksin flu burung menggunakan sampel yang dikirim Indonesia ke WHO.

Warga di Distrik Sugamo, Tokyo, Jepang, beraktivitas memakai masker pada Rabu (15/4), setelah pemerintah mengumumkan status darurat bagi ibu kota dan beberapa prefektur menyusul penyebaran Covid-19. Foto Antara/Reuters/Issei Kato

Sengsara negara-negara miskin 

Lantas bagaimana nasib negara-negara miskin pada pandemi kali ini? Salah satu andalan mereka untuk mendapatkan vaksin ialah The COVID-19 Vaccines Global Access Facility atau Covax. Ini adalah kolaborasi global yang tujuannya mengakselerasi perkembangan vaksin dan memberikan akses bagi semua negara anggota Covax, baik yang kaya maupun miskin. 

Selain WHO, Covax juga ada di bawah koordinasi The Vaccine Alliance (Gavi) dan The Coalition For Epidemic Preparedness (CEPI). Total ada 184 negara anggota Covax. Selain negara-negara berpendapatan rendah, sejumlah negara tajir juga ikut serta menjadi bagian dari Covax. 

Saat ini, Covax diaporkan telah mengamankan jatah 250 juta dosis vaksin. Sebagian negara berpendapatan rendah telah menyatakan hanya akan mengandalkan Covax untuk memperoleh vaksin Covid-19. Mereka tak punya duit untuk berburu vaksin sendiri.

Meski begitu, Covax tak sepenuhnya efektif. Upaya-upaya Covax justru dikerdilkan oleh negara-negara kaya anggota Covax sendiri. Inggris, Kanada, Jerman, dan Prancis, misalnya, telah menegosiasikan jatah vaksin untuk warga negara mereka sendiri di luar kerangka Covax. 

"Semakin banyak negara berburu vaksin di luar Covax, maka semakin sulit bagi Covax untuk memenuhi janji-janjinya," kata Suerie Moon, Direktur Global Health Center Graduate Institute of International and Development Studies di Jenewa seperti dilansir dari Washington Post.

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo

Persoalan lainnya yang dihadapi Covax ialah menekan harga vaksin. Saat ini, Covax bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan farmasi dalam sistem paten tradisional. Hak paten pembuatan tetap ada di tangan perusahaan farmasi dan formulanya tidak bisa dibagi ke perusahaan-perusahaan farmasi di negara-negara lain. 

Ini membuat perusahaan obat lokal tidak bisa memproduksi sendiri vaksin untuk kebutuhan dalam negeri. Dengan skema semacam itu, perusahaan farmasi "bebas" menjual vaksin sesuai dengan harga pasar yang mereka tetapkan. 

Pfizer, misalnya, membanderol harga vaksinnya sebesar US$19,5 per dosis atau US$39 per orang karena setiap orang butuh dua suntikan. Moderna berencana membanderol vaksin yang mereka produksi di kisaran US$32-37 per dosis. Untuk negara-negara miskin di Afrika, harga vaksin sebesar itu sulit dijangkau. 

Persoalan lainnya ialah terkait distribusi dan transportasi vaksin. Mayoritas vaksin harus disimpan di lemari pendingin sepanjang waktu. Vaksin Pfizer/Biontech, misalnya, harus disimpan pada suhu di bawah 70 derajat Celcius. Tempat penyimpanan super dingin seperti itu langka di negara-negara miskin. 

Jika tidak ada inisiatif global untuk memastikan keterbukaan akses vaksin, menurut profesor geografi Newcastle University, Alison Copeland, vaksin Covid-19 kemungkinan baru "mendarat" di sejumlah negara termiskin dunia pada 2024. 

"Dalam upaya mengontrol virus, kita butuh imunitas kelompok (herd imunity). Jadi, sebanyak 60-72% populasi dunia harus diimunisasi. Kondisi itu, saya harap, cukup jadi insentif bagi negara-negara kaya untuk membantu (membagi akses vaksin)," kata Copeland. 

 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid