sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Siapa cocok pimpin lembaga pemberantas rasuah?

Dalam jajaran pimpinan KPK disebut perlu ada unsur kepolisian dan kejaksaan.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Sabtu, 20 Jul 2019 22:42 WIB
Siapa cocok pimpin lembaga pemberantas rasuah?

Presiden Joko Widodo resmi menandatangani susunan panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 17 Mei 2019. Ada 9 nama yang didaulat jadi panitia seleksi. Mereka terdiri atas Yenti Ganarsih, Indriyanto Seno Adji, Harkristuti Harkrisnowo, Hamdi Moeloek, Marcus Priyo, Hendardi, Al Araf, Diani Sadia, dan Mualimin Abdi.

Diketuai Yenti, pansel capim KPK berjanji akan bekerja secara serius dan objektif dalam mencari pimpinan KPK untuk periode 2019-2023. Hal tersebut sebagaimana terkandung dalam nilai-nilai yang tertuang pada Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

“Undang-undang mengatakan ada unsur pemerintah dan unsur masyarakat. Unsur pemerintah termasuk penegak hukum. Meskipun kita tidak mengharuskan polisi dan jaksa masuk ke dalam capim KPK. Pokoknya unsur pemerintah harus masuk,” kata Yenti saat ditemui di Jakarta.

Menurut Yenti, tahapan penyeleksian calon pimpinan KPK kali ini prosesnya lebih panjang ketimbang empat tahun silam. Karena punya banyak waktu, pansel capim KPK melibatkan lembaga lain seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BPNT) dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Bahkan pihaknya akan menggelar debat publik bagi para capim KPK terpilih. 

Yenti menjelaskan, isu radikalisme dan narkotika tidak luput dari penilaian para pansel capim KPK. Menurutnya isu radikalisme dan narkoba sudah menjadi isu global. Diharapkan para komisioner KPK bisa bekerja dengan serius dan bertanggung jawab dengan mengedepankan nasionalisme. 

“Itu bahaya sekali. Bisa saja dia bersih, tapi di belakangnya ternyata didukung sindika narkotika. Tentu ini akan berbahaya untuk pemerintah dan dirinya sendiri. Kita memilih dan memastikan tidak terlibat dalam dua hal yang menjadi concern BNN dan BPNT," ucapnya. 

Seperti diketahui, ada 192 capim KPK yang dinyatakan lolos administrasi. Dari jumlah itu, lima orang dinyatakan gugur. Rinciannya, satu orang mundur, tiga orang tak hadir tanpa keterangan, dan satu orang terlambat.

“Alhamdulillah dengan tahapan yang lebih panjang daripada empat tahun yang lalu, kita mempunyai agenda tanggal 30 Agustus 2019. Tanggal 2 September, Insya Allah diserahkan ke presiden,” tuturnya. 

Sponsored

Yenti mengatakan, saat ini pihaknya sedang melakukan uji kompetensi secara akademik. Dari tahapan ini, pansel akan menilai masing-masing capim KPK terkait pemahaman mereka soal pemberantasan korupsi. Ini sesuai dengan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. 

"Juga bagaimana visi besar mereka terhadap penindakan, pencegahan, dan pemberantasan korupsi. Koordinasi, supervisi, dan montioring. Juga soal kerja sama antarlembaga dan sebagainya," ucap Yenti. 

Selain itu, penilaian akan kredibilitas, kepemimpinan, dan independensi juga akan dikedepankan. Yenti menuturkan, setelah dilakukan uji kompetensi, capim KPK yang lolos akan dinilai berdasarkan rekam jejaknya. 

  "Kita lihat potensi-potensi itu berupa pemikiran-pemikiran yang hari ini diujikan, dengan pembuatan makalahnya. Dari psikotest, profil assestment dan bagiamana kemampuan manejerialnya," tuturnya. 

Setelah itu, baru diadakan debat publik yang akan berlangsung secara pararel dengan tes wawancara oleh pansel capim KPK. Jika semua sudah beres dan masuk kriteria para capim KPK, mereka pun akan menjalani tes kesehatan. Selanjutnya, nama-nama capim KPK yang lolos seleksi akan diserahkan ke Komisi III DPR RI untuk mengikuti uji kepatutan dan kelayakan.

"Jadi banyak hal yang kita pikirkan. Insya Allah dapet komisioner yang lebih baik dan KPK akan lebih kuat dalam memberantas dan mencegah korupsi. Bagaimana pun pencegahan itu harus dilakukan guna menyeimbangkan agar ekonomi dan sistem terbangun," tuturnya. 

Jaksa dan Polisi

Riuhnya seleksi pimpinan lembaga antirasuah turut mengundang mantan Ketua KPK Antasari Azhar angkat bicara. Ia mengingatkan pansel agar memilih pimpinan KPK yang bisa memenuhi unsur penyidikan dan penuntutan. Artinya, dalam jajaran pimpinan perlu ada unsur kepolisian dan kejaksaan. “Jadi, sesuai dengan amanah undang-undang KPK,” kata Antasari.

Menurut dia, jangan seperti formasi pimpinan KPK periode 2015-2019, yang terindikasi melanggar Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Sebab, dari lima pimpinan yang menjabat tidak memenuhi unsur penuntutan. 

"Itu artinya formasi pimpinan KPK harus ada unsur polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut,"ucap Antasari. 

Formasi pimpinan KPK periode 2015-2019 terdiri atas Agus Raharjo yang merupakan ahli pengadaan barang dan jasa, Alexender Marwata hakim tipikor, Saut Situmorang dari staf ahli BIN, Laode Muhammad Syarif yang seorang akademisi, dan Basaria Panjaitan dari kepolisian. 

Nah, yang sekarang saya mau tanya, unsur Jaksa siapa? ada ga yang berlima itu, berarti kan sudah melanggar undang-undang. Ini pesan saya untuk Ibu Yenti jangan sampai terjadi lagi," tuturnya. 

Berdasarkan Pasal 21 disebutkan bahwa pimpinan KPK adalah pejabat negara, penyidik, dan penuntut umum. “Bagaimana jaksa KPK bisa bersidang jika tidak ada delegasi wewenang dari pimpinan yang punya latar belakang jaksa. Karena untuk melakukan persidangan, seorang jaksa harus mempunyai legalitas,” ujar Antasari. 

Menurut Antasari, pimpinan KPK harus memahami teori hukum acara. Selain itu, juga harus mengetahui perbedaan unsur melawan hukum dan menyalahgunakan weweneng. Selanjutnya yang tak kalah penting, kata Antasari, agar dalam mewawancarai capim KPK, pansel bertanya mengenai pemahaman para pimpinan KPK tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT). 

"Sebetulnya OTT ini tak ada di undang-undang. Yang ada adalah tertangkap tangan,” ucap Antasari. 

Senada dengan Antasari, pakar pidana dari Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting, mengatakan penyidik dan penutut umum harus ada di dalam formasi pimpinan KPK. Menurutnya, lima pimpinan KPK untuk periode empat tahun mendatang harus ada yang mengerti penyidikan dan penuntutan. 

Juga soal pencegahan tidak pidana korupsi harus menjadi perhatian pimpinan KPK ke depan. Mereka harus memiliki konsep pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk jangka panjang, tidak hanya untuk lima tahun mendatang, tapi 15 sampai 20 tahun ke depan. 

"Kita tidak bisa memilih anggota komisioner itu hanya untuk bekerja lima tahun, kalau untuk mencegah tidak bisa. Jadi  saya berharap kepada pansel, tolong pilih orang yang bisa membuat grand design pencegahan korupsi untuk jangka waktu 15 sampai 20 tahun mendatang," ujar Jamin. 

Dengan adanya desain baru pencegahan dan pemberantasan korupsi, maka pola itu diharap bisa dipakai oleh siapa pun yang terpilih sebagai pimpinan KPK selanjutnya. Salah satu program jangka panjang yang bisa menjadi rujukan, kata Ginting, agar program antikorupsi bisa diperkenalkan dari tingkat pendidikan PAUD dan TK. 

“Nilai-nilai anti korupsi harus dimasukkan. Inilah yang saya harapkan, sifatnya nasional. Saya kira yang namanya anti dan pemberantasan korupsi itu sistemnya harus seperti ini,” ucapnya. 

Sementara Koordinator Divisi Korupsi Politik Inondesia Corruption Watch, Donal Fariz, menilai beberapa anggota pansel capim KPK menganakemaskan salah satu lembaga penegak hukum dalam menyeleksi pimpinan KPK. 

Menurut Donal, tidak ada satu pun pasal dalam UU KPK yang menyebut unsur pimpinan harus berasal dari Kepolisian atau Kejaksaan. "Cara pandang anggota pansel seperti itu kemudian membuat ada referensi khusus kepada lembaga hukum tertentu di anggota pansel, dan menurut saya itu tidak sehat," ujar Donal. 

Cara pandang beberapa anggota pansel yang menganakemaskan lembaga penegak hukum itu yang menurut Donal akan membuat seleksi tidak berjalan objektif dan independen. Donal mengingatkan belum terlambat utuk mengoreksi cara kerja pansel. 

“Penting untuk menyentil sejumlah anggota pansel. Karena saya tahu ada yang sangat bagus dan objektif di pansel. Tapi ada juga cara berpikirnya sebagian yang sangat menganakemaskan penegak hukum tertentu dalam seleksi,” ujar Donal. 

Donal tidak begitu berharap banyak kepada DPR meski memiliki kewenangan melakukan uji kelayakan dan kepatutan capim KPK. Pasalnya, dalam proses uji kelayakan anggota DPR menggunakan logika politik yang semesetinya tidak diberlakukan dalam proses penilaian capim KPK. 

"Di penilaian DPR kita akan sulit mendapatkan penilaian objektif, karena yang diukur preferensi politik. Ini deket ke siapa, ini jaringannya siapa. Ini Muhammadiyah atau NU. Golongan darah yang akan dicari di DPR," tutur Donal. 

Oleh karena itu, Donal mengatakan, penilaian objektif itu harus datang dari pansel KPK. Ia berharap beberapa anggota pansel capim KPK tidak menganakemaskan lembaga penegak hukum dalam proses seleksi.

Berita Lainnya
×
tekid