sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Siapa salah dalam sengkarut data vaksinasi Kemenkes?

Data milik Kementerian Kesehatan tidak bisa dijadikan basis data untuk penyaluran vaksin Covid-19.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 05 Feb 2021 16:59 WIB
Siapa salah dalam sengkarut data vaksinasi Kemenkes?

Mengenakan celana hitam dan kemeja putih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendatangi Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (5/2) siang. Didampingi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Jokowi berniat memantau proses vaksinasi Covid-19 untuk tenaga kesehatan alias nakes. 

Menurut Jokowi, sudah ada sebanyak 700.266 nakes memperoleh suntikan vaksin Covid-19. Angka itu sekitar 45% dari target vaksinasi tahap pertama terhadap para nakes dan mereka yang bekerja di garda terdepan, yakni sebesar 1,3 juta orang. 

"Inilah yang ingin kita kejar sehingga kita bisa segera memulai yang di luar tenaga kesehatan. Kita harapkan vaksinasi bisa dipercepat," kata Jokowi sebagaimana dikutip Alinea.id dari video yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden. 

Pemerintah sudah menetapkan sebanyak 181.554.465 orang yang bakal jadi target vaksinasi. Pada gelombang pertama yang berlangsung pada periode Januari-April 2021, vaksin bakal diberikan kepada nakes, petugas pelayanan publik (17,4 juta orang) dan warga lanjut usia (21,5 juta).

Pada gelombang kedua, yakni periode April 2021-Maret 2022, vaksin bakal dibagikan untuk warga yang rentan terpapar karena tinggal di daerah dengan risiko penularan tinggi sebanyak 63,9 juta orang dan masyarakat umum lainnya sebanyak 77,4 juta orang.

Meski begitu, target percepatan vaksinasi itu tidak mudah dicapai. Sebelumnya, Menkes Budi mengungkapkan tak semua daerah punya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai untuk menggelar vaksinasi secara massal.

"Bandung penuh, rumah sakit sama puskesmas nyuntik bisa. Begitu dia (di) Puncak Jaya (Papua), Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, 3.000 hari baru selesai atau 8 tahun baru selesai karena, ya, fasilitasnya enggak ada," ujar Budi Gunadi sebagaimana dikutip Alinea.id dari video yang tayang di akun Youtube Beritasatu.

Persoalan lainnya soal data penerima vaksin yang valid. Menurut Budi, Kemenkes tidak punya data akurat yang bisa dipakai sebagai basis data untuk mendistribusikan vaksin ke seluruh Indonesia. 

Sponsored

"Aku ambil datanya KPU (Komisi Pemilihan Umum). KPU udahlah (bisa dipakai datanya). KPU manual, itu kemarin baru pemilihan (di) Jawa Barat. Kayaknya itu yang paling current (terbaru). Jadi, aku ngambil data KPU, base-nya rakyat di atas 17 tahun," kata Budi. 

Menteri Kesehatan RI Budi Gunawan Sadikin. /Foto dokumentasi Kemenkes

Data kependudukan semrawut

Anggota Ombudsman Republik Indonesia (RI) Alvin Lie mengatakan persoalan data vaksinasi tak lepas dari semrawutnya data kependudukan di Indonesia. Menurut dia, Kemenkes bakal kerepotan mengintegrasikan data yang dimiliki setiap instansi karena jenis datanya yang berbeda. 

"Data KPU kan beda. Targetnya beda. Bagaimana dengan orang yang belum punya hak pilih? Kemudian orang yang punya hak pilih tapi tidak menggunakan haknya?" ujar Alvin saat dihubungi Alinea.id melalui sambungan telepon, Kamis (4/1).

Selain data KPU, Kemenkes bakal menggunakan data milik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai basis data penyaluran vaksin pada tahap awal. Sedangkan untuk proses vaksinasi pada masyarakat umum, data yang bakal digunakan berasal dari Telkom, Kementerian Kominfo, BPJS, Kemenkes, dan Kemenko Perekonomian. 

Selain sumber data itu, Alvin mengusulkan agar pemerintah juga menggunakan data dari instansi lain, semisal milik Polri, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan pemerintah daerah.

"Nah, ini bagaimana memadukan data yang di berbagai sumber ini diintegrasikan dan menghasilkan informasi yang bermanfaat. Jadi, bukan sekadar hanya (tumpukan) data (saja)," jelas Alvin.

Pakar kebijakan publik Trubus Rahardiyansah menilai sengkarut data vaksinasi terjadi karena pembaharuan tidak rutin. Menurut dia, banyak data penerima vaksin tidak cocok dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang didata Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Data itu juga karut-marut dengan data bansos (bantuan sosial Covid-19). Enggak sinkron. Sehingga masalah data vaksin bisa tumpang tindih. Ada orang yang harusnya divaksin tapi, udah meninggal atau orangnya udah pindah tempat. Kan bisa seperti itu karena enggak di-update," kata Trubus kepada Alinea.id, Selasa (2/2).

Menurut Trubus, penggunaan data KPU juga bukan tanpa risiko. Ia mencontohkan kasus-kasus ditemukannya pemilih ganda yang kerap terjadi saat pemilu, baik itu pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, dan pemilihan anggota legislatif.

"Di KPU juga banyak tumpang tindih karena bisa saja terjadi permainan partai atau oknum kan. Tapi, saya anggap data Dukcapil itu 90% sudah valid karena di-update berkali-kali. Harusnya merujuk ke data itu saja," kata Trubus. 

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto disuntik vaksin. /Foto dokumentasi TNI

Pembenahan data wajib dikebut

Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo mengatakan sengakrut data penerima vaksin harus segera dituntaskan. Jika diperlukan, menurut dia, tak jadi soal seandainya Kemenkes menggunakan data di luar institusi sebagai basis data untuk menyalurkan vaksin. 

"Saya kira, kita harus pahami bahwa data dari Kemenkes masih tidak valid. Intinya, ya, semuanya demi penyempurnaan. Kalau toh datanya didapat dari KPU yang datanya dalam rangka database, saya rasa, enggak masalah," ujar Rahmad kepada Alinea.id, Rabu (3/2).

Meski menggunakan data dari eksternal, Rahmad meminta agar Kemenkes membenahi data internalnya. Ia tak ingin ada warga yang tidak mendapatkan vaksin karena kekeliruan dalam pendataan yang dilakukan pemerintah. 

"Jangan sampai data di Kemenkes itu tidak ada, tapi di data KPU ada. Jangan sampai nanti ada (warga) yang bilang belum didata. Intinya, siapa pun yang mendapat hak vaksin, terdata dan terdaftar di data pemerintah," ujar politikus PDI-Perjuangan itu. 

Infografik Alinea.id/Raenaldy

Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) KPU RI Sumariyandono mengatakan pihaknya sudah mengirimkan nota kesepahaman (memorandum of understanding) kepada Sekjen Kemenkes, Selasa (2/2) lalu. Dono menyebut, KPU menyiapkan data pemilih dari usia 18-59 tahun. 

"Sesuai dengan permintaan, (data pemilih berusia) 18 tahun ke atas. Enggak transfer data sih, tapi akses data (saja)," ujar Dono saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Kamis (4/2).

Menurut dia, data KPU yang dipakai Kemenkes berasal dari dua sumber yakni dari daftar pemilih pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020. Data itu sebelumnya didapat dengan metode pencocokan dan penelitian (coklit) di lapangan.

"Baik terhadap pemilih tetap maupun pemilih tambahan yang menggunakan kartu tanda penduduk. Di 2020, ada pilkada (dan) ada 309 kabupaten dan kota yang terlibat. Di 2019, ada 205 kabupaten dan kota (yang menyelenggarakan pilkada)," jelas Dono.

Berita Lainnya
×
tekid