sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

SIKM, CLM, dan langkah semu pemerintah mengekang Covid-19

Pengawasan lemah membuat banyak orang kian berani keluar-masuk Jakarta tanpa persyaratan resmi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 25 Jul 2020 16:37 WIB
SIKM, CLM, dan langkah semu pemerintah mengekang Covid-19

Riccy Vauliandani merasa ada yang ganjil saat hendak memesan tiket di terminal Purwokerto, Jawa Tengah, pekan lalu. Perempuan asal Purbalingga itu mendapati banyak agen bus tujuan Jakarta menawarkan tiket tanpa mewajibkan penumpang membawa surat izin keluar masuk (SIKM). 

Riccy kian heran karena tiket-tiket murah tanpa SIKM itu bahkan ditawarkan secara terang-terangan. Padahal, setahu dia, SIKM masih menjadi syarat utama untuk penumpang bus dari luar kota yang mau masuk ke Jakarta. 

"Kata mereka sih, SIKM dan segala macem sudah enggak perlu. Tinggal naik aja karena enggak ketat lagi sekarang," tutur Riccy kepada Alinea.id, Senin (19/7).

Saat masih di terminal Purwokerto, Riccy menceritakan, ia juga mendengar bujuk rayu para agen bus kepada penumpang. Mereka, kata Riccy, menjanjikan jalur-jalur pemberhentian yang aman dari pengawasan petugas. 

"Mereka bilang, kalau enggak di terminal, nanti kami bisa turunkan di pinggir jalan yang aman. Terus kalau enggak di Terminal Kalideres, Terminal Lebak, Banten, Tanjung Priok, dan Rawamangun," ucap perempuan berusia 25 tahun itu.

Selain angkutan bus, Riccy menuturkan, agen-agen angkutan travel juga berlomba-lomba menawarkan tiket tanpa kewajiban membawa SIKM kepada penumpang. Janji membawa penumpang ke jalur-jalur aman juga diobral. "Enggak ada namanya atau identitas travelnya. Enggak jelas," kata Riccy. 

Longgarnya pengawasan mobilitas keluar-masuk Jakarta di tengah pandemi Covid-19 juga dirasakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Soemitro Samadikun. 

Berkendara sendiri ke Jakarta saat diundang audiensi dengan beberapa kementerian terkait untuk membahas kenaikan harga tebu belum lama ini, Soemitro mengatakan perjalanannya lancar meskipun tak mengantongi SIKM. 

Sponsored

"Enggak pakai syarat apa-apa. Saya pakai mobil aman-aman aja. Enggak ada pengawasan sama sekali," ujar Soemitro kepada Alinea.id, Minggu (19/7).

Awalnya, Soemitro mengaku sempat mencoba mengurus SIKM. Karena tak punya waktu, ia akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Jakarta tanpa persyaratan itu. "Jadi, enggak pakai syarat macem-macem," kata dia. 

Praktik penjualan tiket dengan iming-iming jalur aman juga ternyata marak di kawasan Terminal Kalideres, Jakarta Barat. Di terminal itu, terdapat sejumlah agen bus yang menawarkan tiket dengan harga tinggi untuk kota-kota tujuan Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

"Enggak usah pakai SIKM, Mas. Tenang aja," ucap Sukar, salah satu agen bus, saat berbincang dengan Alinea.id di kawasan Terminal Kalideres, Minggu (19/7).

Meski tiket ditawarkan di terminal, Sukar mengatakan, penumpang tidak diperbolehkan langsung naik bus. Para penumpang, kata dia, bakal dijemput di titik-titik yang telah ditetapkan perusahaan. "Naiknya di Cikokol (Tangerang) aja. Kalau di sini (terminal) belum boleh ngangkut penumpang. Cuma barang yang boleh," kata dia. 

Meski sudah longgar, Sukar mengatakan, terkadang ada pemeriksaan SIKM oleh petugas di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun demikian, ia menjanjikan, penumpang tak bakal kena masalah.

"Pokoknya yang nanggung perusahaan. Penumpang tinggal naik saja. Enggak perlu syarat-syarat SIKM atau tes-tes segala macam," cetus dia. 

Bagi penumpang yang tidak mengantongi SIKM, Sukar mengatakan, mereka harus mau diturunkan di titik-titik yang telah diatur perusahaan busnya di tempat tujuan. Itu dilakukan untuk mengecoh petugas. "Biar aman," imbuhnya.

Petugas gabungan mengarahkan kendaraan keluar Tol Cikarang Barat, di ruas Tol Cikampek, Jabar, Minggu (26/04/2020). Foto Antara/Saptono

Dishub DKI lempar handuk

Kepada Alinea.id, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengaku sudah "lempar handuk". Menurut dia, persyaratan SIKM tidak lagi efektif untuk membatasi mobilitas orang keluar masuk Jakarta.

"Awalnya, pelaksanaan pemeriksaan SIKM ketat di terminal dan di simpul-simpul transportasi. Begitu pun di ruas jalan. Kami melakukan pengawasan pada 15 ruas jalan arteri. Tapi, di luar 15 ruas jalan itu, banyak orang memilih menggunakan kendaraan pribadi dan banyak yang lolos," ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (22/7).

Menurut Syafrin, ketidakefektifan persyaratan SIKM bermula dari dicabutnya larangan mudik oleh pemerintah pusat. Kebijakan itu membuat instansi lainnya tak lagi memiliki kewajiban untuk mengawasi mobilitas orang keluar-masuk Jakarta. 

Kini, kata Syafrin, Pemprov DKI Jakarta harus berjibaku sendiri. "Setelah larangan mudik dicabut, otomatis yang melakukan pengawasan tinggal Provinsi DKI Jakarta sehingga keefektifannya menurun drastis," ucapnya.

Menurut Syafrin, ada 54 ruas jalan yang harus diawasi di kawasan perbatasan Jakarta. Namun, Dishub DKI hanya mampu mengawasi di simpul-simpul transportasi dan di 15 ruas jalan arteri karena keterbatasan personel.

"Yang kami lakukan pemeriksaan itu hanya di simpul transportasi seperti di terminal, di stasiun, bandara. Di jalan, kami terbatas pada 15 (ruas jalan). Tentu ini yang menyebabkan SIKM enggak efektif," kata dia.

Karena tidak lagi efektif, menurut Syafrin, persyaratan SIKM pun diganti per tanggal 14 Juli. Kini, penumpang hanya perlu menunjukkan Corona Likelihood Metric (CLM) yang bisa diisi sendiri oleh penumpang di aplikasi JAKI yang dapat diunduh di Appstore dan Playstore.

Namun demikian, Syafrin mengatakan, pengawasan terhadap kepatuhan persyaratan CLM sudah bukan menjadi tanggung jawab Dishub DKI Jakarta. "Tapi Dinas Kominfo atau Dinas Kesehatan," kata dia. 

Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Komunkasi Adita Irawati, mengatakan Kemenhub hanya berwenang mengatur protokol kesehatan Covid-19 di angkutan umum. Ia mengatakan, pengawasan terhadap orang tanpa SIKM atau CLM tetap merupakan tanggung jawab Dishub DKI Jakarta. 

"Di masa adaptasi kebiasaan baru ini, Kemenhub merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan No 41 tahun 2020 yang mengatur syarat bepergian bagi penumpang yang menggunakan angkutan umum dan kendaraan pribadi, dengan fokus pada pemenuhan protokol kesehatan di prasarana dan sarana transportasi," kata dia kepada Alinea.id, Rabu (22/7).

Permenhub 41/2020 isinya kurang lebih mengatur mengenai sanksi bagi perusahaan transportasi yang melanggar protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 dan menetapkan pembatasan jumlah penumpang pada beragam moda transportasi. 

Selain menyusun protokol, Adita mengatakan, Kemenhub juga secara berkala turun untuk mengawasi penerapannya. "Untuk syarat penumpang dan pengawasannya sesuai aturan itu merujuk pada Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 9," kata dia. 

Lebih jauh, Adita menegaskan pelanggaran terhadap protokol kesehatan Covid-19 bakal ditindak tegas. "Sanksinya berupa mulai dari sanksi teguran sampai denda. Tapi, kalau soal travel gelap itu sudah domain polisi bukan Kementerian Perhubungan," tuturnya. 

Calon penumpang yang akan berpergian menggunakan Bus AKAP (antar kota antar provinsi) mengantre untuk diperiksa dokumennya di Terminal Pulogebang, Jakarta, Minggu (10/5). /Foto Antara

Tanpa pengawasan, CLM tidak akan efektif

Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno membenarkan banyak angkutan bus yang enggan masuk terminal dan lebih memilih menurunkan penumpang di pinggir jalan untuk menghindari pemeriksaan. 

"Saya tanya orang pejabat eselon III (Kementerian) Perhubungan. Mereka ngomong sekarang kembali lagi bus itu enggak mau masuk terminal. Padahal, Permenhub Nomor 15 tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dalam Trayek itu bus wajib masuk terminal. Ini kan berarti lemah pengawasannya," ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (19/7).

Djoko juga menyoroti kesan melempar tanggung jawab pengawasan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub kepada BPTJ. Padahal, kuasa pencabutan izin operasi angkutan bus ada di tangan Dirjen Perhubungan Darat.

"Mereka menganggap BPTJ yang mesti bergerak. Padahal, BPTJ terbatas orangnya. Jadi, yang mesti menertibkan itu adalah Dirjen Perhubungan Darat. Jangan diserahkan ke BPTJ. BPTJ tidak punya kuasa itu karena izin ada di Perhubungan Darat," jelas dia. 

Terkait peralihan dari SIKM ke CLM, Djoko menduga langkah itu dilakukan pemerintah lantaran enggan mengeluarkan dana untuk memperkuat pengawasan. "Jadi, Kementerian Keuangan harus bantu pendanaan. Kalau enggak, ini (Covid-19) nyebar lagi," kata dia. 

Lebih jauh, ia menilai, pemberlakuan CLM sebagai syarat keluar-masuk Jakarta juga tidak bakal efektif. "Sekarang orang disuruh ngisi aplikasi CLM. Kalau dia paham sih, oke. Tapi, belum tentu tiap orang punya smartphone atau (aplikasi) android," imbuhnya. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Setali tiga uang, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai sejak awal syarat SIKM tidak efektif membatasi mobilitas orang karena tidak disertai pengawasan yang ketat terhadap angkutan umum. 

Menurut dia, pemerintah hanya fokus mengawasi jalan utama dan jalan tol. Pengawasan pun bolong di jalan-jalan tikus yang ada di perbatasan Jabodetabek. "Orang bisa keluar masuk Jakarta dengan gampangnya," kata dia.

Ia menilai SIKM juga kian tidak efektif setelah pemerintah merelaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB), beberapa waktu lalu. Kebijakan itu, kata dia, membuat orang berbondong-bondong dengan segala cara datang ke Jakarta.

Melihat masyarakat yang kian abai dengan protokol kesehatan, Trubus berpandangan, SIKM dan CLM tidak akan berpengaruh banyak dalam upaya pencegahan Covid-19. "Tetap saja dalam konteks epidemiologi kasus akan tetap tinggi," imbuh dia. 

Lebih jauh, Trubus menilai wajar bila Pemprov DKI angkat tangan dalam mengawasi mobilitas orang dan angkutan yang keluar-masuk Jakarta. Apalagi, pemerintah di daerah penyangga dan daerah asal penumpang juga tidak serius mencegah penularan Covid-19 dengan membatasi mobilitas warga mereka. 

"Lihat saja Tangerang Raya. Itu mereka enggak mengawasi. Daerah asal sendiri juga masa bodo. Jawa Tengah itu juga enggak menerapkan PSBB. Apalagi, Daerah Istimewa Yogyakarta," kata dia.

Menurunnya kualitas pengawasan, kata Trubus, bisa mudah dilihat secara kasat mata di titik-titik pengecekan. Di titik-titik itu, jumlah petugas berkurang. Keberadaan para petugas pun kerap hanya sekadar seremonial. 

"Ini pertanda pemerintah kelenger mengawasi ini sehingga peraturan yang sudah dibuat bahkan diubah-ubah. Itu menjadi tidak berarti. SIKM atau yang sekarang CLM itu enggak berpengaruh apa-apa," ujar Trubus.

Berita Lainnya
×
tekid