sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sistem zonasi PPDB, cita-cita muluk pemerataan pendidikan

Sistem zonasi yang tertuang di dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 menuai pro-kontra di masyarakat.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Rabu, 19 Jun 2019 21:40 WIB
Sistem zonasi PPDB, cita-cita muluk pemerataan pendidikan

Shabirin, seorang pegawai negeri sipil (PNS) asal Sidoarjo, Jawa Timur, menganggap sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) sudah mencerminkan keadilan. Sebelum pemberlakuan zonasi, kata dia, anak-anak warga setempat hanya bisa “memantau” sekolah negeri favorit yang ada di sekitar rumahnya.

“(Dengan sistem zonasi ini) yang dekat dengan sekolah favorit, tapi tidak bisa masuk karena mungkin otaknya pas-pasan jadi punya kesempatan,” ujar Shabirin saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (18/6).

Shabirin mengaku tak ada kesulitan dalam mendaftarkan anaknya. Namun, ia menyesalkan ketidaksabarannya menentukan pilihan sekolah negeri bagi anaknya, malah berimbas tak baik.

“Kalau mau sabar SMA Negeri 4 bisa masuk, tapi karena tidak sabar dan inginnya memang di SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 2. Dan pilihannya memang itu, jadinya tidak lolos. Akhirnya masuk SMA Muhammadiyah dekat sini,” tuturnya.

Akan tetapi, sistem ini mendapat penolakan pula dari sejumlah masyarakat. Muncul petisi di Change.org yang menolak sistem zonasi. Salah satunya petisi yang dibuat politikus PDIP Sonny T Danaparamita bertajuk “Segera Revisi Zonasi dalam Sistem PPDB”.

Petisi ini sudah ditandatangani lebih dari 1.000 warganet. Sonny menilai, sistem zonasi mengakibatkan banyak siswa berprestasi yang hilang pilihan mengenyam pendidikan di sekolah favorit.

“Obsesi para siswa untuk dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah favorit yang telah membuat mereka semua termotivasi belajar hingga mendapatkan nilai baik, tiba-tiba porak-poranda karena letak rumah yang jauh dari sekolah,” tulis Sonny di dalam petisinya.

Sejumlah siswa dan orang tua murid antre untuk mengikuti seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMP 1 Kudus, Jawa Tengah, Rabu (19/6). /Antara Foto.

Pemerataan

Sistem zonasi sekolah dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Aturan sistem ini tertera di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan.

Selain zonasi, disebutkan bahwa PPDB juga dilakukan melalui jalur prestasi dan perpindahan tugas orang tua. Jalur zonasi, sebagaimana yang diatur di dalam Permendikbud itu, paling sedikit 90% dari daya tampung sekolah. Sedangkan jalur prestasi dan perpindahan orang tua masing-masing 5%.

Singkatnya, sistem zonasi memberatkan pada prinsip wilayah lingkungan sekolah. Tujuannya, sekolah dapat menerima calon peserta didik yang tinggal di zonasi sekolah, yang didasarkan dari domisili yang ada di kartu keluarga.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berdalih, sistem zonasi tak hanya digunakan untuk PPDB, tetapi juga membenahi berbagai standar nasional pendidikan.

"Mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasarana. Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi," kata Muhadjir seperti rilis pers yang diterima Alinea.id, Selasa (18/6).

Muhadjir menuturkan, sistem zonasi dilakukan untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas. Dengan sistem ini, diharapkan bisa mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat.

Calon peserta didik baru menunjukkan lokasi tempat tinggalnya di peta daring saat proses verifikasi berkas dan pengambilan kode akun dalam pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk jalur zonasi di SMPN 10 Denpasar, Bali, Selasa (18/6). /Antara Foto.

Meski begitu, Muhadjir menyampaikan bahwa penetapan zona itu prinsipnya fleksibel dan melampaui batas-batas wilayah administratif. Misalnya, lanjut dia, karena kendala akses atau daya tampung sekolah, maka sangat dimungkinkan pelebaran zona sesuai situasi dan kondisi di lapangan.

"Jadi, kalau memang daerah ada kondisi tertentu, bisa disesuaikan. Cukup ada perjanjian kerja sama antarpemerintah daerah mengenai hal ini," ujarnya.

Menurut staf khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Publik Soeparto, alasan pemberlakuan sistem zonasi lantaran persebaran guru dan sekolah belum merata. Soeparto pun menyinggung masalah sarana dan prasarana sekolah yang perlu dibenahi.

“Pemerataan guru agar tidak mengelompok di daerah tertentu saja, sementara di daerah lain justru kekurangan. Ini ketahuannya jika ada zonasi. Terpetakan pula daerah-daerah mana saja yang membutuhkan perhatian khusus, baik pengadaan jumlah sekolah atau peningkatan kualitasnya,” ujar Soeparto saat dihubungi, Selasa (18/6).

Soeparto menganggap, sistem zonasi bukan sekadar kebijakan, melainkan revolusi cara berpikir. Ia mengatakan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, Kemendikbud berusaha menghadirkan keadilan sosial.

Positif dan negatif

Pengamat pendidikan Doni Kusuma Albertus menilai, sistem zonasi berupaya memutus rantai kemiskinan. Menurut Doni, zonasi yang mempertimbangkan jarak, bukan nilai, akan membuat peserta didik dari keluarga menengah ke bawah punya kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah negeri terdekat.

Selain terbantu beban biaya transportasi, peluang meningkatkan kemampuan peserta didik dari keluarga menengah ke bawah pun kian terbuka.

“Akses peserta didik dari keluarga miskin yang biasanya kurang terdidik karena kemiskinannya, bisa masuk sekolah yang bagus. Kalau anak-anak orang kaya dan pintar sudah umum. Karena memang pemerintah ingin meratakan akses pendidikan terlebih dahulu,” kata Doni saat dihubungi, Selasa (18/6).

Doni menuturkan, sistem zonasi diberi jatah 90% demi memastikan semua peserta didik yang tinggal di sekitar sekolah negeri itu sudah terpenuhi haknya.

“Jatah zonasi sudah sesuai dan sangat berkeadilan sosial karena mempertimbangkan jarak sekolah ketimbang nilai akademik,” ucapnya.

Senada dengan Doni, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengungkapkan sistem zonasi sejalan dengan kepentingan terbaik bagi siswa. Misalnya, menghemat beban biaya transportasi, serta anak tak terlalu lelah dan cukup beristirahat.

Di samping itu, peserta didik terhindar dari kenakalan, seperti tawuran karena dekat rumah. Zonasi, kata Retno, juga bisa menambah jumlah sekolah.

“Sistem zonasi juga mampu merangsang pemerintah kota menambah jumlah sekolah negeri di wilayahnya, seperti pemerintah Kota Bekasi yang membangun 7 SMPN baru,” kata Retno diskusi bertajuk “Kebijakan PPDB Sistem Zonasi dan Rotasi Guru dalam Perspektif Kepentingan Terbaik Peserta Didik” di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (19/6).

Di dalam diskusi yang sama, anggota Badan Akreditasi Nasional Itje Chodidjah menuturkan, pemberlakuan zonasi sudah melunturkan sekat-sekat kasta yang disematkan pada sekolah dan peserta didik.

Warga menunjukkan bukti pendaftaran SMP jalur zonasi saat berunjukrasa di Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/6). /Antara Foto.

Menurutnya, sebelum sistem zonasi diberlakukan, sekat-sekat itu memengaruhi kualitas dan psikologis anak. "Anak tidak boleh bersekolah jauh karena risikonya cukup tinggi. Yang berani pasti punya fasilitas, punya mobil dan bisa berangkat jam 5 pagi dari Bekasi ke Jakarta Selatan, misalnya," tutur Itje.

Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Generasi, Ena Nurjanah memandang, pemberlakuan zonasi mengabaikan pencapaian nilai ujian nasional peserta didik dalam seleksi PPDB.

Selain itu, kata Ena, sistem zonasi mengingkari fakta di lapangan bahwa sekolah negeri masih kurang dan persebarannya belum merata di seluruh Indonesia.

“PPDB sistem zonasi memasuki tahun ketiga, tetapi kekhawatiran siswa didik dan orang tua dengan sistem ini masih terus terjadi karena minimnya antisipasi persoalan yang muncul dalam penerapan PPDB sistem zonasi ini,” tutur Ena dalam keterangan pers yang diterima Alinea.id, Selasa (18/6).

Ena mengatakan, terbatasnya jumlah sekolah negeri otomatis akan melebarkan kemungkinan banyaknya anak yang tak tertampung. Terlebih, peserta didik yang tempat tinggalnya jauh dari zona sekolah atau tak ada sekolah negeri di zona wilayah domisili.

“Mencari sekolah bagi keluarga dengan keterbatasan ekonomi tidaklah semudah yang dikatakan Kemendikbud,” ujar Ena.

Ena khawatir, ketidakmampuan orang tua mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah swasta akan menimbulkan kemungkinan anak-anak putus sekolah. Oleh karenanya, Ena menyarankan Kemendikbud mengkaji ulang penerapan sistem zonasi.

“Belum lagi waktu pendaftaran yang pendek dengan dimulainya tahun ajaran baru. Persoalan di atas hanya sebagian kecil dari persoalan PPDB sistem zonasi,” tutur Ena.

Pekerjaan rumah

Nyatanya, zonasi masih meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah yang harus diatasi pemerintah. Komisioner KPAI Retno Listyarti menilai, pelaksanaan PPDB sistem zonasi yang menciptakan antrean panjang hingga menginap di sekolah disebabkan minimnya sosialisasi.

Selain itu, kesiapan pendaftaran daring, transparansi kuota zonasi, dan petunjuk teknik yang kurang jelas, ikut membingungkan calon peserta didik dan wali murid. Antrean panjang itu, kata dia, merupakan bukti masyarakat belum paham prinsip zonasi dan PPDB daring.

Kemudian, berdasarkan temuan KPAI, orang tua bersiasat dengan pindah kartu keluarga (KK). Retno mengaku telah melaporkannya kepada Inspektorat Jenderal Kemendikbud, agar potensi kecurangan PPDB tahun 2018 tak terulang.

“Nanti, ke depan dampaknya rumah dekat sekolah menjadi lebih mahal. Kami juga dapat beberapa laporan jual beli atau pungli. Harganya untuk SMP Rp5-Rp7 juta, sedangkan SMA lebih mahal, tepatnya di atas Rp10 juta," ujar Retno.

Sementara anggota badan Akreditasi Nasional Itje Chodidjah mengungkap, kegaduhan sistem zonasi PPDB dipicu pihak yang tak diuntungkan. Menurutnya, sekolah negeri merupakan fasilitas publik yang tak boleh dimonopoli peserta didik yang nilai ujian nasionalnya tinggi.

"Sekolah tidak ditentukan kompetisi. Kalau mau ikut lomba, ikut lomba saja, sekolah untuk peningkatan kualitas," ujar Itje.

Pendapat lain dikemukakan pengamat pendidikan Ina Liem. Menurut dia, keberhasilan zonasi bakal terhambat oleh permasalahan lapangan yang belum tuntas. Misalnya, persebaran guru yang belum merata, penerimaan masuk perguruan tinggi negeri yang menciptakan sekolah favorit.

Warga berunjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/6). /Antara Foto.

“Orang tua tetap saja maunya anaknya masuk ke sekolah-sekolah favorit supaya nantinya bisa punya peluang besar masuk PTN bergengsi, sehingga menghalalkan segala cara,” ujar Ina saat dihubungi, Selasa (18/6).

Di sisi lain, Ina Liem melihat, di Finlandia zonasi bisa diterapkan karena kualitas semua sekolah sudah teruji. Bahkan, di Amerika Serikat sudah ada kebijakan zonasi untuk perguruan tinggi.

“Sistem zonasi (di Indonesia) agak sulit diterapkan. Di Finlandia, sistem zonasi bisa diterapkan karena bisa dipastikan mau sekolah negeri manapun di wilayahnya, gurunya memang sudah top semua,” tutur Ina.

Staf khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Publik Soeparto menjelaskan, dengan adanya sistem zonasi ini, mestinya sebelum pendaftaran siswa baru, sekolah sudah memetakan jumlah anak-anak di sekitar daerahnya berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK).

Namun, kata dia, pada praktiknya jarang ada sekolah yang melakukannya. Meski, ia mengakui, pembangunan banyak sekolah negeri pada periode sebelumnya tidak berdasarkan zonasi. Maka, berbagai isu mengemuka. Pemantiknya, sebut Soeparto, masih banyak orang tua yang mendambakan anaknya yang pintar tertampung di sekolah favorit.

“Selama ini peserta didik masuk di sekolah favorit karena impian wali murid. Nanti, idealnya tidak ada lagi sekolah favorit dan jalur undangan karena semua sekolah sudah dianggap sama. Zonasi memang tujuannya pemerataan. Jadi, fokusnya pemerataan yang selama ini belum menjadi perhatian serius,” ucapnya.

Perlu perbaikan

Doni Kusuma Albertus menganggap, polemik orang tua peserta didik terhadap kebijakan zonasi belum punya alasan kuat. Selama tiga tahun kebijakan zonasi dilakukan, kata dia, pemerintah sudah mengadakan koordinasi, konsolidasi, dan sosialisasi dari tingkat pemerintah daerah, kepala dinas, bahkan sekolah-sekolah.

Namun, persoalan komunikasi dan teknis masih tetap jadi masalah.

“Keberatan orang tua misalnya nih, kok anak pintar enggak bisa ditampung di sekolah negeri. Padahal, itu tidak benar, sebab anak pintar tetap bisa masuk sekolah negeri dengan kuota yang 5%,” ujar Doni.

Anggota Ombudsman Ahmad Suaedy, dalam keterangan pers yang diterima Alinea.id, Rabu (19/6) menyayangkan persiapan dan sosialisasi pelaksanaan PPDB selama enam bulan yang belum optimal.

Menurutnya, Kemendikbud kurang berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam penerapan sistem zonasi. Beberapa kepala daerah, kata Suaedy, perlu memodifikasi dan mengantisipasi penyimpangan sistem zonasi.

"Kemendikbud seharusnya tegas dalam menegakkan aturan tentang sistem zonasi, tetapi juga komunikatif dengan masyarakat dan Kementrian Dalam Negeri serta pemerintahan daerah. Sehingga tujuan yang baik dalam penerapan zonasi tersebut akan dipahami oleh masyarakat dan pemerintah daerah," ujar Suaedy dalam keterangan persnya, Rabu (19/6).

Sejumlah siswa dan orang tua murid antre saat akan mengikuti seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMAN 1 Depok, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (18/6). /Antara Foto.

Dihubungi terpisah, peneliti bidang pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anggi Afriansyah menuturkan, aturan PPDB tahun ini sudah ada sejumlah perbaikan.

Menurut dia, tahun ini pemerintah daerah lebih leluasa untuk membuat petunjuk teknis merujuk aturan nasional.

“Sehingga, mereka (pemda) mampu menyesuaikan dengan kondisi lokal yang mempertimbangkan jarak sekolah, kondisi geografis, dan sosiol-budaya,” kata Anggi saat dihubungi, Rabu (19/6).

Selanjutnya, aturan terkait tinggal di domisili yang tahun lalu (Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018) hanya enam bulan, saat ini sudah satu tahun. Kemudian, sebut Anggi, PPDB daring juga memangkas kecurangan.

“Karena transparan dan akuntabel, dapat diawasi oleh masyarakat,” ujarnya.

Terakhir, kata Anggi, asas PPDB yang transparan, akuntabel, nondiskriminatif, objektif, dan berkeadilan sangat penting untuk memberikan ruang seluas-luasnya bagi upaya pemerataan pendidikan.

Akan tetapi, Anggi mencatat beberapa hal yang perlu diperbaiki. Pertama, kata dia, persoalan PPDB seolah menjadi ritual tahunan dan menunjukkan betapa rumitnya persoalan pendidikan di Indonesia.

“Disparitas pendidikan di Indonesia masih menganga, soal desa-kota, perkotaan-pedalaman, secara faktual masih terlihat. Sekolah mengelompok di perkotaan,” tutur Anggi.

Kemudian, imajinasi sekolah favorit masih tertancap kuat, baik di benak orang tua maupun pemangku kepentingan pendidikan. Akibatnya, orang masih berlomba menuju sekolah favorit.

Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru menimbulkan kegaduhan.

“Dan faktualnya jelas. Di benak orang tua, sekolah favorit berarti pintu masuk ke perguruan tinggi favorit, dan menjadi jalan lurus menuju kesuksesan. Padahal tidak demikian. Apalagi perguruan tinggi masih tetap melihat asal sekolah (unggulan atau tidak),” ujarnya.

Selanjutnya, Anggi menyoroti pemetaan sekolah dan jumlah penduduk usia sekolah yang harus dilakukan setiap pemerintah daerah. Tujuannya, kata dia, agar tak ada anak didik yang terbatasi dan mendapatkan di wilayah rumahnya sangat sedikit jumlah sekolah, bila dibandingkan jumlah anak usia sekolah.

“Dan, dalam jangka panjang ini perlu diperhatikan pemerintah. Jangan sampai sekolah kosong karena sudah minimnya anak usia sekolah,” kata Anggi.

Di samping itu, menurut Anggi, mekanisme sosialisasi aturan PPDB harus lebih gencar dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. “Pemanfaatan beragam jejaring, baik offline maupun online, perlu dilakukan lebih intens agar PPDB tidak jadi problem tahunan,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid