close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mendikbud, Nadiem Makarim/Dokumentasi Kemendikbud
icon caption
Mendikbud, Nadiem Makarim/Dokumentasi Kemendikbud
Nasional
Senin, 25 Januari 2021 08:18

Kasus siswi nonmuslim wajib berjilbab, buntut pembiaran perda intoleran

P2G desak Nadiem Makarim membongkar persoalan intoleransi di lingkungan sekolah.
swipe

Kasus siswi non-muslim diwajibkan berjilbab di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang, Sumetera Barat, dianggap sebagai akumulasi pembiaran negara terhadap kebijakan intoleran di sekolah selama ini.

Kabid Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menyayangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim yang hanya merespons ketika kasus kebetulan sedang trending topic.

Semestinya, lanjut Iman, Nadiem Makarim membongkar persoalan intoleransi di lingkungan sekolah yang mengandung problematika dari aspek regulasi struktural, sistematik, dan birokratis.

Menurutnya, kasus intoleransi di sekolah secara terstruktur bukanlah hal baru. P2G, jelasnya, sudah mengingatkan bahwa pernah ada kasus seperti pelarangan jilbab di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari pada 2019. Bahkan, pada 2014 sempat pula terjadi pada sekolah-sekolah di Bali.

“Mas Menteri tidak mengakui secara terbuka, mengungkapkan ke publik jika fenomena intoleransi tersebut banyak dan sering terjadi dalam persekolahan di tanah air. Sedangkan kasus pemaksaan jilbab kami menduga lebih banyak lagi terjadi di berbagai daerah di Indonesia,” ujar Iman dalam keterangan tertulis, Senin (25/1).

Menurutnya, melarang dan mewajibkan siswi non-muslim menggunakan jilbab melanggar Pancasila, Konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud), berbagai UU (UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak) hingga menyalahi prinsip toleransi dan kebhinekaan.

Iman mengungkapkan, faktor utama penyebab munculnya persoalan tersebut adalah peraturan daerah yang bermuatan intoleransi.

“Peristiwa pemaksaan jilbab di SMKN 2 Padang merujuk pada Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005. Aturan yang sudah berjalan 15 tahun lebih, sebagaimana keterangan mantan Walikota Padang, Fauzi Bahar,” tutur Iman.

P2G menganggap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan pembiaran terhadap regulasi daerah bermuatan intoleransi di sekolah selama ini.

“Pemantauan Elsam tahun 2008 mencatat seperti instruksi Walikota Padang, Perda No. 6 Tahun 2003 tentang Pandai baca Al-Quran bagi peserta didik Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah menyimpan potensi intoleran di lingkungan sekolah,” ucapnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim meminta Kemendagri harus mengecek semua perda berpotensi intoleran. Tak terkecuali, perda intoleran yang diterapkan di lingkungan sekolah.

Satriwan kemudian mendesak Kemendikbud agar tidak lepas tangan begitu saja dengan alasan sekolah berada dalam kewenangan daerah. Juga mendesak agar mengoptimalisasi peran Inspektorat Jenderal (Itjend) Kemdikbud dalam mengawasi kebijakan Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah yang bernuansa intoleransi.

"Kemendagri bersama Kemendikbud segera berkoordinasi, lebih proaktif memeriksa aturan daerah dan sekolah yang berpotensi intoleran, tidak hanya dari aspek agama, tetapi juga kepercayaan, suku, budaya, ras, dan kelas sosial ekonomi siswa,” tutur Satriwan.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan