sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Standar ganda Polri dipertanyakan

KontraS menemukan banyak tersangka yang tidak mendapatkan bantuan hukum saat diperiksa.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Rabu, 12 Jun 2019 18:26 WIB
Standar ganda Polri dipertanyakan

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) menemukan adanya pembatasan akses terhadap saksi maupun tersangka kerusuhan 21-22 Mei. Wakil Koordinator KontraS, Feri Kusuma mengatakan, pembatasan akses tersebut diketahui dari aduan 7 keluarga para tersangka. 

"Orang-orang yang diamankan atau ditangkap, berdasarkan laporan (kepada KontraS), banyak yang kesulitan dalam bertemu dengan keluarganya," ucap Feri kepada wartawan di kantor KontraS, Jakarta, Rabu (12/6).

Kepolisian telah menetapkan lebih dari 400 tersangka dalam kasus kerusuhan yang menewaskan 9 orang pada 21 dan 22 Mei. Namun demikian, gerak cepat kepolisian dalam memadamkan kerusuhan diwarnai peristiwa salah tangkap dan kekerasan personel terhadap peserta aksi. 

Selain dibatasi aksesnya, KontraS juga menemukan banyak tersangka yang tidak mendapatkan bantuan hukum dalam pemeriksaan. Menurut Feri, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 60 KUHAP. "Di mana setiap tersangka berhak untuk menerima kunjungan dari keluarganya," imbuh dia. 

Senada, pengamat hukum pidana Chairul Huda memandang kepolisian memainkan standar ganda dalam menangani para tersangka kerusuhan 21 dan 22 Mei. Polisi, disebut Chairul, cenderung membingkai kerusuhan sebagai tindakan yang dimotori kepentingan politik. 

Namun demikian, kepolisian juga tampak berupaya meyakinkan masyarakat bahwa para perusuh merupakan pelaku kriminal biasa. "Kalau memang ini kasus kriminal biasa, perlakukanlah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Seperti yang dikatakan KontraS tadi. Beri akses orang untuk dikunjungi keluarganya, beri akses untuk dapat bantuan hukum," ujar Chairul.

Chairul juga mempersoalkan para korban tewas dalam kerusuhan 22 Mei yang diduga Polri sebagai bagian dari kelompok perusuh. Menurut dia, pernyataan kepolisian di depan publik terkait status korban harus dibuktikan. "Kalau perlu dibongkar, bongkarlah kuburannya. Itulah proses hukum. Agar semuanya jelas," imbuhnya. 

Tolak impunitas

Sponsored

Staf Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS, Rivanlee Anandar meminta kepolisian menjelaskan lebih detail peran dan keterlibatan oknum yang diduga sebagai perusuh. Apalagi, kepolisian menduga para korban tewas sebagai perusuh.

Untuk membuktikan dugaan tersebut, menurut Rivanlee, polisi harus merinci penyebab kematian para korban, hasil rekonstruksi TKP, dan menggelar uji balistik. "Tanpa penjelasan tersebut, sejatinya bisa memunculkan asumsi di publik terkait dengan pelaku penembakan," ucapnya. 

Menurut dia, langkah tersebut penting. Pasalnya, ada setidaknya tiga remaja di bawah umur yang turut menjadi korban tewas dalam kerusuhan tersebut, yakni Reyhan (16), Widianto Rizki Ramadan (17), Harun Al Rasyid (15).

"Temuan lain, Adam Nurian (19 tahun), salah seorang korban tewas terkena tembakan dalam perjalanan pulang setelah menolong seseorang yang terjatuh. Ini patut diinvestigasi dan dipublikasi kejelasannya," papar Rivanlee.

Polri, lanjut dia, seharusnya independen dan akuntabel dalam mengusut kerusuhan 21-22 Mei. Kepolisian juga harus transparan mengungkap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan para personelnya saat menangani kerusuhan. 

"Tidak boleh ada impunitas dalam penegakan hukum. Pasalnya, KontraS menemukan informasi memang ada video yang menunjukan pengeroyokan anggota polisi terhadap seseorang peserta aksi. Namun, sampai saat ini belum ada keterangan lebih lanjut mengenai proses hukum terhadap anggota kepolisian yang terlibat," ujar dia. 

Berita Lainnya
×
tekid