Stunting tak sekadar masalah tumbuh anak
Berdasarkan hasil riset kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2018, jumlah penderita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 30,8%.
Mengatasi stunting
Para ibu yang berada di kalangan ekonomi menengah ke bawah, menurut Rita, biasanya punya pikiran bila harga makanan bergizi mahal.
“Kalau kita berbicara tentang makanan bergizi mahal, sebenarnya tidak juga. Kalau beras mahal, bisa diganti dengan singkong atau ubi, agar kebutuhan karbohidrat tercukupi,” kata Rita, yang mulai melakukan sosialisasi stunting sejak 2016.
Rita melanjutkan, untuk kebutuhan protein, jika orang tua tak mampu membeli daging sapi atau ayam, bisa menggantinya dengan daging ikan yang harganya jauh lebih murah daripada sapi atau ayam.
“Saya juga sarankan makan tempe kalau tak mampu beli daging sapi. Karena, kandungan gizinya tak jauh berbeda dari daging sapi,” ujar Rita.
Rita juga menyarankan agar masyarakat yang masih memiliki sedikit lahan, untuk menanam buah dan sayur sendiri untuk memenuhi kebutuhan gizi.
“Kalau makan tidak seimbang dalam waktu lama, itu bisa terjadi defisiensi zat gizi yang bisa menyebabkan stunting,” kata Rita.
Yuli miris melihat posyandu yang ada di beberapa desa, belum bekerja secara maksimal menghadapi stunting. Kader-kader posyandu yang ada di desa, sebut Yuli, masih hanya sekadar seremonial.
“Mereka belum begitu paham tentang stunting. Mereka menimbang berat badan anak, ya hanya sekadar menimbang saja,” kata Yuli.
Yuli juga menemukan jika sosialisasi mengenai “1.000 hari pertama kehidupan” yang fokus untuk penanganan masalah gizi, belum maksimal di pedesaan.
“Selama ini masih berputar di kalangan elite dan orang-orang perkotaan saja. Orang-orang perkotaan pun tidak semuanya tahu tentang ‘1.000 hari pertama kehidupan ini,” kata Yuli.
Yuli melihat, Indonesia masih harus melalui jalan yang panjang untuk mencapai zero stunting. Dia menilai, masih banyak halangan untuk mencapai target tersebut.
Banyak orang yang belum peduli tentang stunting, lanjut Yuli, termasuk dirinya sendiri. Dahulu, Yuli berpikir biar stunting itu menjadi masalah pemerintah. Dia melanjutkan, banyak orang tua yang tak mampu memberi ASI beralih ke kental manis, karena murah dan mudah didapat.
“Tapi, ketika saya turun ke desa dan melakukan sosialisasi bahaya susu kental manis baru saya sadar, stunting punya keterkaitan erat dengan kondisi kualitas kehidupan anak,” kata Yuli.