sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Target penurunan perokok anak belum terwujud

Sebanyak 7,8 juta anak usia 10-18 tahun (9,1%) menjadi perokok aktif pada 2018.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Senin, 01 Jun 2020 19:38 WIB
Target penurunan perokok anak belum terwujud

Ketua Lentara Anak, Lisda Sundari, menyatakan, jumlah perokok anak di Indonesia terus meningkat. Pada 2018, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan (Riskesdas Kemenkes), jumlah perokok usia 10-18 tahun mencapai 7,8 juta anak (9,1%).

Hal itu, terangnya, dipengaruhi dua faktor. Iklan rokok leluasa menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya dan harga terjangkau sehingga mudah dibeli.

"Praktik diskon rokok akan memperburuk upaya-upaya pencegahan perokok anak karena harga rokok akan semakin murah dan anak-anak semakin mudah menjangkaunya," ucapnya dalam Alinea Forum berjudul "Melindungi Anak dengan Menghapus Diskon Rokok", digelar secara daring, Senin (1/6).

Tingginya angka perokok anak tidak sesuai target pemerintah. Dalam rancangan pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), prevalensinya sebesar 5,4% pada 2019.

Ini, bagi Lisda, menunjukkan pemerintah gagal mengendalikan konsumsi rokok. Sementara itu, industri berhasil merekrut perokok baru.

Karenanya, Lentera Anak mendesak pemerintah meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual lebih murah. Ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap perlindungan anak dan masa depan bangsa.

Pada kesempatan sama, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Abdillah Ahsan, mengungkapkan, harga merupakan salah satu unsur penting dalam pengendalian rokok. Semakin mahal akan kian baik dan sebaliknya.

"Untuk mengembalikan semangat pengendalian konsumsi rokok, aturan yang membolehkan diskon rokok itu perlu direvisi," usulnya.

Sponsored

Dirinya melanjutkan, kebijakan diskon rokok dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Kemenkeu (Kemenkeu) Nomor Per-37/BC/2017 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012, khususnya Pasal 35. Di dalamnya menyebutkan, pemerintah melakukan pengendalian promosi produk tembakau dengan tak memberikan secara gratis, potongan harga, hadiah produk tembakau, atau produk lainnya yang dikaitkan dengan produk tembakau.

Sementara, pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Tubagus Haryo Karbyanto, berpendapat, kebijakan diskon rokok bertentangan dengan visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pengutamaan kualitas sumber daya manusia (SDM). Ini kembali dipertegas dalam pidoto kenegaraan menyambut HUT ke-74 Indonesia.

Kala itu, Jokowi menegaskan, Indonesia tidak gentar menghadapi persaingan global. Apalagi, memiliki visi strategis, yakni SDM yang unggul berkreativitas, berinovasi, dan kecepatan unuk bersaing secara global. Sehingga, mampu melompati bangsa-bangsa lain di dunia.

Visi tersebut sesuai perkiraan limpahan bonus demografi pada 2030, di mana angka dependency ratio mencapai titik terendah di 46,9%. Artinya, kelompok usia produktif mencapai dua kali lipat dibandingkan yang tidak produktif.

Kebijakan diskon rokok, tambah Haryo, juga bertentangan dengan tujuan negara, tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDG's), dan filosofi pengendalian tembakau khususnya pengenaan cukai rokok. Pun memperparah kemudahan akses barang adiktif di masyarakat dan akhirnya mengancam bonus demografi.

"Makanya, perlu segera diambil langkah-langkah hukum untuk mencabut kebijakan diskon rokok, baik itu melalui government review, amendemen, hingga judicial review," katanya.

Sedangkan Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan, pemerintah berdiri seimbang dalam mengatur rokok. Menaikkan tarif cukai, sebagai salah satu instrumen pengendalian tembakau, setiap tahun.

"Tujuan kenaikan cukai sendiri, adalah membuat harga rokok tidak terjangkau, utamanya untuk anak. Dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memantau harga rokok secara berkala di pasar sesuai dengan ketentuan peraturan menteri keuangan," paparnya.

Dia berpendapat, terjadi perbedaan pemahaman mengenai istilah yang disebut sebagai diskon rokok. Apa yang disebut sebagai diskon rokok sebenarnya merupakan potongan harga di tingkat penjualan.

"Harga jual eceran (HJE) itu di tingkat retailer, sedangkan pengawasan Bea Cukai enggak mungkin melakukan pengawasan di retail. Makanya, kami lakukan itu di perusahaan. Cuma masalahnya, harga dari pabrik kalau sudah 100%, nanti menjadi sama antara HJE dan harga transaksi pasar (HTP). Terus, nanti yang mengongkosin distribusi siapa? Itulah yang disebut teman-teman penggiat antitembakau tadi sebagai diskon," bebernya.

HJE, urai Nirwala, merupakan harga patokan banderol untuk kepentingan fiskal. Adapun HTP diserahkan kepada pasar dan minimal 85% dari HJE, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019. Kebijakan diklaim guna melindungi industri kecil.

Ditjen Bea Cukai, imbuhnya, mengawasi penerapan HTP melalui 98 kantor, terdiri dari 97 Kantor Pelayanan Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) dan satu Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai (KPUBC). Pemantauan dilakukan berkala sebanyak empat kali dalam setahun.

"Jadi, sebenarnya enggak masalah kalau pemerintah mencabut aturan itu karena bagi pemerintah, penerimaan kita dasarnya adalah HJE," tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid