sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tersangka mafia hukum di MA masuk DPO, KPK dinilai berlebihan 

"Menurut hemat saya itu tindakan yang berlebihan. Tidak sepatutnya seperti itu."

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Jumat, 14 Feb 2020 15:13 WIB
Tersangka mafia hukum di MA masuk DPO, KPK dinilai berlebihan 

 

Kuasa hukum eks Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Maqdir Ismail, menilai pencantuman nama kliennya dalam daftar pencarian orang atau DP0 sebagai tindakan berlebihan. Baginya, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tak pantas melakukan hal tersebut.

"Terkait dengan penetapan Pak Nurhadi masuk dalam daftar DPO, menurut hemat saya itu tindakan yang berlebihan. Tidak sepatutnya seperti itu," ujar Maqdir saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Jumat (14/2).

Penetapan Nurhadi dalam DPO KPK dilakukan pada Kamis (13/2). Selain Nurhadi, KPK juga menetapkan status buronan pada dua tersangka lain yaitu Rezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto.

Langkah KPK dilakukan karena ketiganya tak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik.

Dari catatan Alinea.id, ketiganya sudah lima kali absen dari panggilan KPK. Saat dipanggil sebagai tersangka pada 9 dan 27 Januari mereka tidak datang ke Gedung KPK. Tiga kali panggilan pemeriksaan sebagai saksi pun diabaikan oleh ketiganya.

Meski demikian, Maqdir meminta KPK tidak gegabah dalam melakukan penetapan DPR terhadap kliennya. Sebab, dia meragukan kelima surat panggilan pemeriksaan itu telah diterima kliennya secara patut.

"Coba tolong pastikan dulu apakah surat panggilan telah diterima secara patut atau belum oleh para tersangka," kata Maqdir.

Sponsored

Karena itu, Maqdir meminta KPK untuk menghentikan proses penanganan perkara kasus tersebut. Apalagi, pihaknya tengah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan.

"Sebaiknya mereka tunda dulu pemanggilan, karena kami sedang mengajukan permohonan praperadilan. Permohonan penundaan pemanggilan ini kami sudah sampaikan kepada KPK," ucap Maqdir.

Untuk diketahui, Nurhadi, Rezky, dan Hiendra, merupakan tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung pada 2011-2016. 

Nurhadi diduga kuat telah menerima suap Rp33,1 miliar dari Hiendra melalui Rezky. Suap dimaksudkan untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT.

Selain itu, Nurhadi juga diduga menerima sembilan lembar cek dari Hiendra terkait Peninjauan Kembali (PK) perkara di MA.

Pada kasus gratifikasi, Nurhadi diduga mengantongi Rp12,9 miliar dalam kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Gratifikasi diduga terkait pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, jugan untuk Permohonan Perwalian.

Sebagai penerima, Nurhadi dan Resky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b, subsider Pasal 5 ayat (2), lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b, subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Berita Lainnya
×
tekid