sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tim pencari fakta sipil ungkap 12 temuan awal tragedi Kanjuruhan

Tim pencari fakta menduga timbulnya korban jiwa akibat dari efek gas air mata yang digunakan oleh aparat kepolisian.

Gempita Surya
Gempita Surya Senin, 10 Okt 2022 07:58 WIB
Tim pencari fakta sipil ungkap 12 temuan awal tragedi Kanjuruhan

Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil memaparkan temuan awal terkait tragedi Stadion Kanjuruhan hasil investigasi sekitar 7 hari pascainsiden. Tim ini terdiri dari LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+ Institute, dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Tim bertemu sejumlah saksi, korban, dan keluarga korban dengan berbagai kondisi saat melakukan investigasi. Ada yang mengalami gegar otak, luka memar bagian muka dan tubuhnya, ruam merah pada muka, hingga trauma yang berat akibat kekerasan yang terjadi.

"Kami mendapatkan temuan awal, bahwa peristiwa kekerasan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan merupakan dugaan kejahatan yang terjadi secara sistematis yang tidak hanya melibatkan pelaku lapangan," kata Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangannya, dikutip Senin (10/10).

Berdasarkan hasil investigasi, tim pencari fakta memperoleh 12 temuan awal dari tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim), yang terjadi pada 1 Oktober 2022. Pertama, terjadi mobilisasi pasukan yang membawa gas air mata pada pertengahan babak kedua, padahal saat itu tidak ada ancaman atau potensi gangguan keamanan.

Kedua, saat pertandingan antara Arema FC vs Persebaya selesai, terdapat sejumlah suporter yang masuk ke dalam lapangan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, mereka hendak memberikan dorongan motivasi dan dukungan kepada seluruh pemain.

"Namun, hal tersebut direspons secara berlebihan dengan mengerahkan aparat keamanan dan kemudian terjadi tindak kekerasan. Hal inilah yang kemudian [mendorong] para suporter lain ikut turun ke dalam lapangan bukan untuk melakukan penyerangan, tetapi untuk menolong suporter lain yang mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan," tuturnya.

Ketiga, tidak ada upaya dari aparat menggunakan kekuatan lain yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan, atau suara peringatan hingga kendali tangan kosong lunak sebelum penembakan gas air mata. "Padahal, berdasarkan Perkap (Peraturan Kapolri) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, polisi harus melalui tahap-tahap tertentu sebelum mengambil tahap penembakan gas air mata," papar mereka.

Berikutnya, kekerasan kepada para suporter juga dilakukan prajurit TNI dengan berbagai bentuk, seperti menyeret, memukul, dan menendang. Temuan kelima, penembakan gas air mata juga mengarah ke tribun sisi selatan, timur, dan utara sehingga menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi suporter di lokasi.

Sponsored

Keenam, terjadi penumpukan di sejumlah pintu yang terkunci saat para suporter hendak keluar lantaran akses evakuasi sempit. "Ruangan yang sangat terbatas tersebut diperparah dengan masifnya penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian dan hal ini berdampak sangat fatal yang mengakibatkan para korban sulit bernafas hingga menimbulkan korban jiwa," jelasnya.

Ketujuh, setelah mengalami rentetan peristiwa kekerasan, para suporter yang keluar dengan kondisi berdesak-desakan, minim pertolongan dengan segera dari kepolisian. Para korban pun terpaksa berusaha sendiri untuk keluar.

Berikutnya, kekerasan dan penderitaan juga terjadi di luar stadion. Bahkan, kepolisian kembali melakukan penembakan gas air mata kepada para suporter yang berada di luar stadion.

"Diduga kuat kondisi pasca-penembakan gas air mata di tribun adalah momen di mana banyak penonton yang merenggang nyawa. Di saat itu pula tidak didapat kondisi medik yang optimal untuk merespons kondisi kritis penonton yang terpapar asap gas air mata," ungkap tim.

Temuan kesembilan, ada pihak-pihak tertentu yang melakukan intimidasi, baik melalui sarana komunikasi maupun secara langsung, pascaperistiwa. Tim pencari fakta menduga, ini dilakukan agar menimbulkan ketakutan kepada para saksi dan korban sehingga tak memberikan kesaksian.

Lalu, pemerintah hingga kini tidak memberikan informasi secara detail tentang data korban jiwa dan luka yang dapat diakses publik. Pun demikian dengan informasi perkembangan penanganan kasus oleh Polri.

Poin ke-11, saat masih melakukan pendalaman fakta, tim pencari fakta sudah berkomunikasi dengan Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), lalu menyampaikan sejumlah laporan. "Kami belum melihat kerja riil dari tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) untuk menemui sejumlah saksi dan korban," ujar mereka.

Temuan terakhir, kepolisian berupa menyampaikan informasi yang menyesatkan dengan mengabarkan narasi temuan minuman alkohol dan penggunaan terminologi "kerusuhan". Bagi koalisi sipil, penggunaan terminologi kerusuhan adalah kekeliruan karena yang terjadi adalah serangan atau pembunuhan secara sistematis terhadap warga. 

Adanya minuman alkohol juga informasi yang dapat menyesatkan fokus penerangan kasus lantaran tak mungkin ada minuman alkohol di dalam stadion. Pangkalnya, para penonton dicek panitia pelaksana dan kepolisian saat hendak masuk ke dalam stadion.

"Berdasarkan berbagai temuan awal di atas, kami menilai, telah terjadi tindak kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis dilakukan oleh aparat keamanan dengan tidak hanya melibatkan aktor lapangan saja, yang saat ini telah ditetapkan tersangka oleh aparat kepolisian," papar tim.

Tim pencari fakta menyebut, aktor lain dengan posisi lebih tinggi seharusnya ikut bertanggung jawab dan perlu diproses hukum lebih lanjut.

Berita Lainnya
×
tekid