sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tujuh catatan ICW terkait 100 hari Firli pimpin KPK

Ada dua faktor kinerja komisi antirasuah melempem. Akarnya, komitmen Jokowi dan DPR.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Selasa, 24 Mar 2020 09:46 WIB
Tujuh catatan ICW terkait 100 hari Firli pimpin KPK

Indonesian Corruption Watch (ICW) mengkritisi 100 hari pertama kepemimpinan Firli Bahuri dan rekan-rekan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pangkalnya, banyak kebijakannya yang menimbulkan kontroversi publik.

"Alih-alih menunjukkan kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya, justru yang dihasilkan adalah berbagai kontroversi. Karena itu pula, kepercayaan publik terhadap KPK turun drastis," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, via keterangan tertulis kepada Alinea.id, Selasa (23/3).

Firli dan keempat pimpinan KPK lainnya dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana, 20 Desember 2019. Mereka merupakan komisioner kelima usai Taufiqurachman Ruki, Antasari Azhar, Abraham Samad, dan Agus Rahardjo.

Terdapat tujuh catatan ICW untuk Firli dan empat komisioner lainnya. Pertama, gagal menangkap empat terduga koruptor yang kini masuk daftar pencarian orang (DPO).

Salah satu buron tersebut, adalah bekas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Harun Masiku. Dia terlibat dalam kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR.

Ketiga lainnya, para tersangka dugaan suap dan gratifikasi mafia kasus di Mahkamah Agung (MA). Direktur PT Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto; serta eks Sekretaris MA, Nurhadi; dan menantunya, Rezky Herbiyono.

"Padahal, rekam jejak lembaga antirasuah selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri. Sebagai contoh, mantan Bendahara Partai Demokrat, M. Nazarudin. Dalam waktu 77 hari, dapat ditangkap KPK di Kolombia," tutur Kurnia.

Kedua, informasi penanganan perkara yang disampaikan komisioner taktransparan. Seperti kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) kala mengejar Harun Masiku.

Sponsored

"Tidak ada satu pun komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut. Bahkan, saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Ketua KPK menolak memberikan jawaban ketika ditanya tentang kejadian di PTIK," paparnya.

Berikutnya, komisioner tampak bertindak sewenang-wenang terhadap para pegawainya. Macam pengembalian sepihak penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti ke Polri, instansi asalnya.

ICW menyesalkan kebijakan tersebut. Pangkalnya, Rossa tengah menangani kasus Harun Masiku. Apalagi, masa tugasnya baru berakhir September 2020.

Keempat, dianggap menutupi kelemahan dengan mencari buronan Harun Masiku dengan mendorong persidangan in absentia. Dia adalah penyuap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. 

Secara yuridis, Kurnia mengakui, proses persidangan in absentia dapat dilakukan. Sebagaimana bunyi Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Tipikor. Namun, niat komisioner KPK dianggap keliru.

Dirinya menerangkan, menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa dimungkinkan kala terkait langsung dengan kerugian negara. "Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku, merupakan tindak pidana suap," ujarnya.

Selanjutnya, jumlah penindakan menurun drastis. Merujuk data internal KPK, Deputi Penindakan melakukan 87 operasi tangkap tangan (OTT) selama 2016-2019. Sukses menyeret 327 tersangka.

Pada rezim Firli cs, KPK baru melakukan dua OTT. Terkait Wahyu Setiawan-Harun Masiku dan Bupati nonaktif Sidoarjo, Saiful Ilah.

Kendati begitu, tambah Kurnia, kedua kasus tersebut tak dimulai pada era baru. Mengingat surat perintah penyelidikan (sprinlidik) diteken masa kepemimpinan Agus Rahardjo cs.

Keenam, terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis independesi dan etik pejabat KPK. Hingga kini, Firli dkk telah mendatangi 17 instansi negara. Tiga di antaranya, ke DPR.

"Ini jelas menggambarkan, bahwa para komisioner KPK tidak memahami pentingnya menjaga independensi kelembagaan. Dalih sosialisasi pencegahan tidak dapat diterima dengan akal sehat. Karena strategi pencegahan sudah jelas alur, pendekatan, dan kebijakan-kebijakan teknisnya," urainya.

Terakhir, ketaklaziman mempublikasikan penghentian 36 kasus dugaan korupsi di tingkat penyelidikan. Pangkalnya, masih dapat dilanjutkan ke penyidikan. Jika menemukan bukti tambahan.

"Dalam UU (Undang-Undang) KPK, UU Tipikor, bahkan KUHAP sekalipun, memang tidak pernah mengenal istilah publikasi penghentian di tingkat penyelidikan," kata dia.

Menurut Kurnia, buruknya kebijakan Firli tak lepas dari buruknya proses seleksi. Kegiatan dianggap, dilaksanakan dengan ceroboh dan mengabaikan rekam jejak.

Revisi UU KPK. Faktor berikutnya. Memperburuk ritme kerja institusi.

"Pada akhirnya, akar persoalan pemberantasan korupsi saat ini ada pada komitmen Presiden Joko Widodo dan segenap anggota DPR RI. Sebab, bagaimanapun persoalan stagnasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi, adalah produk politik eksekutif dan legislatif," tutupnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid